Pembalasan seorang ayah dalam film Edge of Darkness, (2010) dan Law Abiding Citizen (2009) adalah sesuatu yang mestinya bisa menjelaskan bahwa keadilan selama ini memang selalu belum mendapatkan tempat yang baik. Dua film yang dirilis dalam kurun waktu yang berdekatan tersebut mengapa memilih "main hakim sendiri", mungkin agar bisa mengingatkan kita agar menjalankan keadilan dengan lebih baik.Â
Namun juga menjadi pertanyaan menarik, apakah selama periode tersebut memang banyak kasus yang berakhir seperti itu, ataukah ini adalah akumulasi dari ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam mengurus masalah keadilan?. Yang sering dalam penegakan hukum tumpul ke atas, tajam kebawah dalam mengatasi masalah.
Terlepas dari sekedar sebuah tontonan dengan kekerasan. Â Sejatinya, main hakim sendiri sangat dilarang dan bukan solusi yang diperbolehkan.
Secara keseluruhan, kekerasan mewarnai adegan dalam film ini, bahkan cenderung vulgar. Namun, sang sutradara tentu telah memikirkan konsekuensi ini. Maksudnya adalah, ia dengan sengaja mengekspos beberapa kekerasan yang menimpa para "orang jahat atau penjahat"Â yang dianakemaskan oleh oknum pemerintah, dalam hal ini institusi hukum yang menangani kasus-kasus tersebut.
Sehingga, menghasilkan keputusan yang tidak adil bagi keluarga korban. Seperti dalam kasus film Law Abiding Citizen (2009) dan, Edge of Darkness, sang ayah adalah keluarga korban yang tidak hanya kehilangan istri dan anak, tetapi juga menyaksikan sendiri bagaimana kekejaman para pelaku kejahatan terhadap keluarganya tersebut. Akibatnya, bukan hanya trauma yang terus menguasai pikirannya, tetapi juga perasaan dendam yang tak ada habisnya.
Persoalan Laten
Dalam kenyataannya, banyak kasus dalam kehidupan sehari-hari kita yang kurang lebih sama dengan dua film tersebut. Apalagi jika para pelakunya adalah para pejabat tinggi, orang berpangkat besar, atau bagian dari dinasti kekuasaan yang hegemoniannya kuat.
Beberapa kasus terkini, seperti kekerasan yang dilakukan oleh anak seorang anggota DPR, meskipun telah ada bukti yang memberatkan serta saksi yang berada di tempat kejadian, namun pada akhirnya hakim bisa memutuskan kasus tersebut dengan membebaskan pelaku dari jerat hukum.
Ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus lain yang melibatkan kekuasaan dan membuat rasa keadilan kita merasa tertekan dan tidak diakomodasi dengan baik oleh pejabat pembuat kebijakan.Â
Termasuk kasus yang masih terus bergulir hingga saat ini, pembunuhan Vina dan Eky yang membuat publik terus merasa penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi, mengapa forum yang dibangun oleh para penyidik kasus ini berputar terus pada perdebatan antara pembunuhan dan kecelakaan.
Apakah memang benar institusi hukum kita memang tak memiliki kredibilitas mengatasi sebuah kasus termasuk dalam kaitannya dengan delik hukumnya atau ada sesuatu yang disembunyikan sehingga membuat masalah yang menurut banyak pengamat hukum termasuk dari kepolisian sebenarnya bukan sebuah kasus yang rumit.
Mengapa kepolisian yang telah menjalankan Program Polri presisi dengan dilengkapi sisitem dan kecanggailan alat, hingga saat ini belum bisa menyimpulkan dengan tepat apakah pebunuhan atau kecelakaan.
Mengapa bukti terkiat digital forensik seperti percakapan telepon tidak digunakan secara maksimal untuk menyelesaikan kasus ini. Dan mengapa bukti terkiat kemungkinan adanya kekerasan seksual terhadap korban tidak bisa dideteksi dari bukti yang ada. Sehingga kasusnya seolah menjadi sangat rumit dan bertele-tele solusinya.
Selama ini kita sebagai masyarakat merasa aneh. Misalnya jika memang kepolisian meyakini adanya kemungkinan kekerasan, mengapa justru yang dijadikan alat bukti adalah foto yang menunjukkan kondisi korban saat ditemukan dan dijadikan alasan apakah telah mengalami kekerasan seksual atau tidak.