Mohon tunggu...
hans
hans Mohon Tunggu... Penulis - ghost writer

booklover, penulis diary of the dark years

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Crooks, Trumps dan Insiden Butler

19 Juli 2024   12:01 Diperbarui: 19 Juli 2024   17:06 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trumps setelah insiden sumber gambar news.detik.com

"Siapa menanam angin, akan menuai badai!" 

Thomas Matthew Crooks, telah menimbulkan lubang besar keamanan setelah upaya pembunuhan eks Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump gagal. Peluang sang penembak mampu mengambil posisi yang tepat di sebuah atap sekitar 130 meter jauhnya dari lokasi Trump berkampanye menjadi sebuah titik lemah yang luar biasa bagi upaya pengamanan seorang eks presiden sebuah negara adidaya.

Crooks-sumber gambar video kgnow-kompas.id
Crooks-sumber gambar video kgnow-kompas.id

Tapi yang lebih menarik untuk terus digali tentu saja apa motif remaja usia 20 tahunan tersebut memutuskan untuk bertindak ekstrim.

Ini mengingatkan kita pada ketidakpuasan masyarakat terhadap para pemimpinnya. Akumulasi ketidakpuasan itu karena sistem perpolitikan dan demokrasi kita meskipun terlihat lebih baik, namun dalam tata laksana dan prosesnya sangat bertolak belakang dengan azas keadilan.

Bahwa sekarang ini para pemimpin kita tetap mengakomodir hak kita untuk bisa memilih dan berdemokrasi , seperti halnya kebebasan ikut serta dalam pemilu. Namun fakta buruknya adalah bahwa proses di balik pemilu itu dilakukan dengan cara-cara yang buruk dan tidak demokratis.

Ini menyebabkan ketimpangan muncul, ketidakpuasan timbul sebagai bibit-bibit buruk. Bagaimanapun sulit bagi masyarakat bisa menolak hasil sebuah demokrasi sekalipun buruk, sehingga mau tidak mau harus menerimanya sebagai realitas.

Begitu juga terkait dengan kepribadian para pemimpin kita. Disatu sisi mereka terus mendorong agar masyarakat dibekali dengan nilai-nilai nasionalisme, pendidikan moral Pancasila, tata nilai religius, bahkan dalam dunia pendidikan para siswa melalui kurikulum Merdeka di bekali dengan Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Lalu dimana masalahnya?.

Baca juga: Invicible Hand

Sebagai pemegang mandat, para pemimpin justru mempraktikan praktik buruk demokrasi, mobokrasi, kakistokrasi--menyodorkan pemimpin yang jelas-jelas bertabiat buruk sebagai pilihan dan sekaligus mendorongnya menjadi pemenang. Akibatnya apa?.

Pembelajaran Demokrasi yang Buruk

Pendidikan politik dan proses demokrasi yang buruk adalah pelajaran penting yang menjadi materi utama yang kita terima dalam pemilu tahun ini. Masyarakat tahu bahwa ada ketidakberesan dalam sistem perpolitikan kita, namun sebagai masyarakata kita sulit menolaknya.

Baca juga: Demokrasi?

Bahkan di Amerika Serikat sendiri yang merupakan negara terkuat dengan demokrasi yang telah berusia ratusan tahun ternyata juga tidak bisa konsisten menjalankan demokrasi secara prosedural, apalagi konstitusional. 

Ini membuat orang berpikir ulang tentang demokrasi. Sehingga seorang penulis kritis dari negeri Paman Sam itu justru menulis buku ang menarik sebagai bentuk pemikiran kritisnya--matinya demokrasi.

Tentu saja karena nilai-nilai demokrasinya itu sendiri yang telah "dibunuh" oleh para pengguna dan pelaksananya dilapangan. Namun dalam situasi dunia penuh pertarungan kepentingan seperti sekarang ini, dibagian mana dunia demokrasi masih berjalan dengan baik-baik saja?

Padahal melalui "mata kuliah kerja lapangan" dengan SKS padat selama masa pemilu , menjadi kesempatan masyarakat mengikuti sebuah pembelajaran, sebuah studi tentang bagaimana politik dan demokrasi ideal sejatinya bisa dijalankan.

Tapi politik memang sulit ditebak dan diduga. Mungkin seperti sebuah bola bundar yang tidak pernah tetap kemana akan memantul.

Suasana panik usai penembakan Trumps-sumber gambar AFP via suara.com
Suasana panik usai penembakan Trumps-sumber gambar AFP via suara.com

Belajar dari Kisah Butler

Butler, Pennsylvania, pada Sabtu (13/7/2024) atau Minggu (14/7/2024) waktu Indonesia menjadi tanggal penanda peristiwa penting politik yang tidak biasa.

Eks presiden Trump kembali berhadapan dengan petahana Presiden Joe Biden dalam Pemilihan Presiden AS 2024. Namun sebuah insiden tingkat tinggi mengacaukan kampanyenya. Trump tertembak di telinga kanannya saat sedang berkampanye. 

Kronologi yang dilansir New York Times, menyebutkan bahwa lapangan Butler Farm Show di Pennsylvania pada Sabtu (/13/7/2024) siang waktu setempat dipilih Trump sebagai tempat kampanye yang dimulai pada pukul 13.00 dan dihadiri puluhan ribu partisipan pendukungnya.

Berdiri di podium menghadap ke arah utara, ke arah bangku-bangku pendukungnya, dengan latar belakang sekelompok bangunan yang berjarak kurang lebih 400 meter dari panggung. Trump mulai berorasi membahas kebijakan saingannya Presiden AS Joe Biden dan situasi negara saat ini. 

Menariknya adalah selama proses kampanye tersebut, peserta kampanye sempat melihat seorang pria dengan senapan di atap salah satu gedung, mungkin ia mengira petugas keamanan yang disiapkan untuk berjaga. Sebelum kemudian terdengar suara tembakan, yang menghentikan orasi Trumps yang membahana itu. 

Pidatonya terputus, dan Trump memegangi telinga kanannya yang terlihat berdarah, saat dua tembakan lainnya dilepaskan, ia menunduk di belakang podium, dan langsung dikawal ketat pengawalnya.

Ketika seorang agen Secret Service AS terdengar berkata, "Penembak dilumpuhkan"., Trumps kembali berdiri, mengepalkan tangan dan mengacungkannya ke udara yang memicu sorak-sorai pendukungnya. 

suasana panik kala usai insiden penembakan Trumps sumber gambar wbur.org
suasana panik kala usai insiden penembakan Trumps sumber gambar wbur.org

Tapi seorang mantan petugas pemadam kebakaran berusia 50 tahun, Corey Comperatore tertembak saat melindungi istri dan dua anak perempuannya. Dua lainnya  mengalami luka-luka, David Dutch (57) dari New Kensington, Pennsylvania, dan James Copenhaver (74) dari Moon Township, Pennsylvania.

Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa insiden ini adalah ancaman untuk demokrasi. Sebuah statemen yang sebenarnya sangat disadari oleh siapapun para elit di Amerika. Terutama karena kebijakan mereka sendiri yang melegalkan kepemilikan senjata. Sehingga peluang kejadian serupa bisa terjadi lebih sering.

Fakta menariknya, bahwa  identitas pelaku penembakan Trump ternyata pria berusia 20 tahun bernama Thomas Matthew Crooks berasal dari Bethel Park di Pennsylvania, sekitar 70 km dari lokasi percobaan pembunuhan. Ia bekerja sebagai juru masak di panti jompo setempat. Dan ia terdaftar sebagai anggota Partai Republik. 

Fakta ini bisa menunjukkan banyak hal. Pertama bahwa jika benar Crooks adalah seorang republikan, tenyata seorang pembelot pun bisa datang dari internal pendukung partainya sendiri. Kedua, mungkin Crooks memanfaatkan kepesertaannya dalam partai Republik sebagai cara mengelabui rencana ekstrimnya.

Atau justru ketika ia masuk lebih dalam sebagai seorang Republikan, ia menemukan banyak fakta buruk tentang Partai dan kebijakan tokoh-tokohnya, seperti halnya Trumps yang penuh kontroversi.

Meskipun keputusannya bisa jadi muncul tiba-tiba, tanpa direncanakan bahkan bisa jadi insidental saat melihat momentum, kejadian ini memberi pelajaran bahwa cara orang melampiaskan kekecewaan pada para pemimpinnya bisa dengan banyak cara termasuk cara-cara yang sangat tidak masuk akal seperti dilakukan Crooks.

Namun hal ini juga sangat erat kaitannya dengan kebebasan kepemilikan senjata di negeri Paman Sam yang sangat legal dan sangat mudah dilakukan setiap warganya asal memenuhi persyaratan standar untuk menjaga keamanan.

Sebuah survei di tahun 2017, menyebut sekitar 40% warga AS mengaku memiliki senjata api atau tinggal di rumah yang menyimpan senpi. Dan kasus penyerangan penembakan masal juga menjadi kasus tertinggi di Amerika dibandingkan negara lain. Sejak 1982, terdapat lebih dari 90 penembakan massal di Amerika Serikat, yang setiap insidennya menewaskan empat orang atau lebih. Dan berdasarkan perkiraan, penduduk di AS mempunyai sekitar 270 juta pucuk senpi, jumlah terbanyak di seluruh dunia.

Bahkan meurut kajian yang dimuat American Journal of Public Health pada 2016 menyebutkan adanya keterkaitan kuat antara tingkat kepemilikan senpi yang tinggi di sebuah negara bagian dan taraf bunuh diri menggunakan senpi yang tinggi baik korban pria maupun perempuan.

Menurut temuan dalam salah satu kasus yang menghebohkan seperti penembakan di klab malam di Orlando dan Sekolah Sandy Hook di Connecticut, bahwa senpi relatif murah di AS. Pistol, milik pelaku penembakan yang ditemukan di kamar hotel yang diinapi Stephen Paddock di Las Vegas, harganya berkisar Rp2,6 juta dan bisa dibeli di toko senjata. Dan senapan serbunya harganya sekitar Rp20,2 juta.

Lantaran ada 23 senpi yang ditemukan di kamar hotel dan 19 pucuk lainnya di rumah Paddock, pria itu kemungkinan telah menghabiskan lebih dari Rp943 juta untuk membeli senjata dan beragam aksesorisnya, termasuk tripod, teropong, amunisi, dan magazin!.

Fakta itu menunjukkan bahwa kepemilikan senjata yang terlalu bebas menjadi salah satu pemicu kemunculan berbagai kasus dan tindakan yang berbahaya. Sehingga menjadi jamak rasanya jika kemungkinan timbulnya kekerasan atau tindakan yang melibatkan senjata akan lebih massif terjadi di negara yang melegalkan senjata api.

Banyak pelajaran yang bisa kita petik hikmahnya, termasuk soal kebijakan, sikap para tokoh politik, dan lainnya. Tak terbayang rasanya jika sampai kebijakan itu dijalankan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun