Mohon tunggu...
hanif sofyan jr
hanif sofyan jr Mohon Tunggu... Freelancer - pegiat literasi

penyuka fotografi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Demokrasi?

16 Februari 2024   16:11 Diperbarui: 20 Juli 2024   00:02 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilsutrasi politik indonesia sumber gambar chartapilitica

Tak seperti tahun-tahun pemilu sebelumnya, tahun ini ada perasaan sedih saat ikut pemilu. Waktu masuk ke TPS, terlihat ramai orang sekampung di lapangan  depan kantor kelurahan yang di jadikan arena. Setelah memarkir motor, dengan gontai saya berpikir, apa masih ada gunanya memilih?.

Setelah menyerahkan undangan, saya masuk di dalam daftar antrian menunggu panggilan. Tiba-tiba seseorang tak dikenal datang, "nanti pilih partai XXX aja, kalau bingung milih siapa", katanya setengah berbisik. 'Jangan pilih yang X ini, dibayar Rp.10 juta pun saya tolak", lanjutnya. Saya cuma tersenyum, setidaknya untuk menghargainya, meskipun dalam hati merasa galau.

Lantas saya bangun, menuju dinding TPS yang ditempeli daftar para caleg. Beberapa partai lokal terlihat kosong untuk kategori caleg DPRK. Di ujung dinding ada tiga pasang capres-cawapres yang selama ini memenuhi layar kaca. 

Melihat ketiganya, teringat bagaimana mereka berdebat di tivi sejak awal. Teringat bagaimana visi misi, gimmick yang dimainkan, medsos yang "mengolah" berita menjadi kampanye.

Baca juga: Invicible Hand

Sebagai penonton saya tak bisa lagi membedakan mana realitas politik dan mana yang politik semu. Semuanya bercampur  tak bisa memberi kejelasan,

suasana TPS di kampung saya, meski mendung tapi semuanya lancar sumber gambar (dokpri hans)
suasana TPS di kampung saya, meski mendung tapi semuanya lancar sumber gambar (dokpri hans)

Apalagi ketika ada selentingan bahwa pemilu memang telah dikondisikan sedemikian rupa, apa persisnya saya tidak tahu. Apakah benar bahwa semuanya telah diatur atau semuanya hanya hoaks.

Barangkali karena itulah maka saya sebagai pemilih hanya bisa merasa pasrah. Jika pilihan kita benar maka negeri kita akan dijalankan paling tidak dengan warna baru. Sebuah Indonesia "baru" seperti ketika kita berharap pada Jokowi, saat terpilih pada 2014 silam.

Tapi jika orang yang terpilih adalah orang yang salah, maka kita harus menghadapinya sebagai ujian. Bahwa negara kita akan dipimpin oleh pemimpin yang "dipilih" oleh rakyat sendiri, jadi harus "diterima" sebagai sebuah realitas.

Meski dipenuhi perasaan galau, saya tetap berharap presiden yang terpilih adalah yang terbaik bagi negeri ini.

"Pak!, silahkan masuk", ujar seorang petugas membangunkan saya dari lamunan, sambil menyebut nama saya. Saya bergegas masuk, menerima lima lembar surat suara yang terlipat, dan langsung duduk di antrian lain di dalam tenda menunggu giliran ke kotak suara.

Lembaran pertama DPRK, meski beberapa orang telah datang ke rumah menitip "pesan", saya memilih calon di nomor paling bawah, setelah melihat partai tapi tak lagi melihat siapa orangnya, meski fotonya tertera.

Berikutnya lembaran DPRD, sekali lagi juga memilih yang bukan "nama pesanan", begitu dicoblos, langsung saya lipat kembali. Begitu seterusnya untuk DPD I, DPR, MPR dan Presiden wakil presiden.

Saya tak membutuhkan waktu lama karena semua terang dan jelas.

Begitu keluar dari bilik, seorang petugas mengantar ke tempat tinta jari. "kena kukunya sedikit ya Pak" biar tak semuanya hilang tanda pemilihnya" ujarnya ramah. Entah bercanda atau memang begitu prosedurnya. Bisa jadi ada "orang nakal" yang memanfaatkan situasi itu untuk memilih lebih dari satu kali, entahlah.

Saya mengambil beberapa foto TPS, pengunjung yang berjubel dan langit yang mulai menggelap di sisi selatan. Sementara kami di utara masih dibakar terik yang luar biasa.

Penjual pop ice diserbu tak hanya anak-anak, tapi juga remaja, ibu dan para bapak yang kehausan.

'Semuanya sudah diatur Pak", kata seorang mahasiswa yang belakangan saya tau dari fakultas hukum. "Tinggal dijalani saja" lanjutnya, entah apa persisnya maksud kata-katanya, karena saya sedang tidak tertarik untuk mengobrol, jadi saya hanya mengangguk.

Demokrasi 2024

Tahun ini memang benar-benar beda, terutama berita simpang siur soal pilpres yang membuat saya, meski selalu memilih dan memilah berita tetap saja merasa simpang siur dengan semua informasi. 

Apalagi berita-berita tentang debat capres-cawapres yang dibolak-balik sedemikian rupa di medsos yang membuat banyak orang termasuk saya berharap agar demokrasi bisa berjalan baik.

Tapi bagaimana persisnya demokrasi itu akan dijalankan itu yang membuat banyak orang merasa tidak berdaya.

Setelah semua proses di TPS, kini saatnya kita tinggal menunggu. Bahkan melihat survey dan "quick count" saja rasanya jadi malas. Benarkah semua data itu benar adanya atau benarkan ada hoaks yang membuat situasi dan kondisi kita menjadi serba tidak menentu.

Rasanya tidak sabar menunggu besok, karena menurut kabar petugas keamanan di kampung saya, bahwa semua proses tidak bisa selesai sehari dengan begitu banyak rekaps dan aplikasi yang digunakan untuk meng-input semua hasil proses pemilu itu. Paling tidak baru besok bisa ada kabar, siapa pemenang awal.

Apakah akan berlangsung dalam 1 putaran?, seperti banyak diberitakan dimedia, padahal persaingan 3 paslon terlihat berjalan ketat sekali?.

Seusai memilih saya langsung pulang, tak mengobrol dengan teman-teman di kampung karena merasa tak ada yang penting bisa dibicarakan. Paling-paling hanya soal politik yang juga belum jelas sampai besok akan menjadi seperti apa.

Apakah nanti Mahkamah Konstitusi (MK) akan kewalahan menghadapi banyak gugatan, atau justru sama sekali tidak bekerja karena tak ada yang krusial di jadikan bahan gugatan. Bahkan ada orang yang apatis melihat MK tidak lagi punya taji menghadapi situasi dan kondisi paska pemilu nanti.

Tahun ini memang tahun politik paling beda, dari pengalaman saya mengikuti beberapa pemilu tahun ini menjadi tahun paling penuh dinamika. Meskipun banyak dari kita bertambah cerdas politik, tapi kenyataannya ternyata juga tak sepenuhnya penting untuk bisa membangun demokrasi kita menjadi lebih baik.

Jika para pemimpin kita tak memberi contoh baik, dan tidak punya "niat baik" semua akan menjadi sebuah keniscayaan demokrasi yang tak bisa dibangun menjadi lebih baik.

Tapi sudahlah, kita tunggu saja besok, akan dipimpin siapa Indonesia lima tahun ke depan!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun