Penghasilan dari melaut masih menjadi pemenuh kebutuhan harian, bukan pada tahap komersial apalagi ekspor.
Meskipun Pemerintah telah menyiapkan pendanaan dan menargetkan peningkatan kapasitas nelayan agar lebih berdaya, namun dalam prakteknya upaya nelayan mengakses bantuan pemerintah juga sering buntu.Â
Salah satu kendalanya, seperti distribusi bantuan. Saat pandemi misalnya, untuk menyalurkan bantuan di masa pandemi, pemerintah menggunakan data kartu nelayan "Kusuka".Â
Namun, menurut temuan survei Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia diprediksi masih banyak nelayan, terutama nelayan kecil, yang tidak terdaftar di kartu nelayan tersebut.
Sehingga program dan pemanfaatannya menjadi kontradiktif, dana bantuan tersedia namun para nelayan calon penerima bantuan justru tidak termasuk dalam daftar tersebut.
Kesulitan lain yang paling umum dialami nelayan adalah dalam memperoleh BBM bersubsidi. Diperkirakan, 7 dari 10 nelayan memberikan informasi tentang sulitnya mendapat surat rekomendasi BBM bersubsidi dan mengakses kuota BBM bersubsidi.Â
Akibatnya, para nelayan kecil terpaksa membeli BBM eceran yang harganya lebih mahal.Â
Dan dalam keseharian yang selalu terjadi adalah kasus seperti ini. Sekalipun BBM subsidi tersedia, tapai bagaimana nelayan tak memiliki surat rekomendasi untuk mendapatkannya.
Tumpang Tindih Kebijakan
Tumpang tindih kebijakan seperti inilah yang membuat nasib nelayan kita selalu serba selah. Ada bantuan namun tak dapat mengaksesnya.