Sedangkan soal membaca, menurutnya jika anak baru bisa membaca di kelas 2 sekalipun, tidak akan menjadi persoalan yang dianggap genting dan gawat seperti yang ada di sekolah-sekolah kita.Â
Dalam kasus seperti itu, sebenarnya peran orang tua bisa menjadi perantara untuk meluruskan kesalahpahaman antara anak dan sekolah. Peran orang tua dapat menjadi jembatan menyambung kendala komunikasi, antara masalah yang dihadapi anak-anak, para orang tua dan guru mereka. Termasuk dalam mengatasi kesalahpahaman, maupun perbedaan pola pikir antara pihak sekolah dan para orang tua.
Sebaliknya yang justru sering terjadi, orang tua menjadi kompor yang bisa menyebabkan masalah kecil menjadi besar. Termasuk untuk urusan membantu belajar anak. Padahal dukungan orang tua berupa partisipasi yang lebih persuasif, bisa mengatasi berbagai masalah yang timbul.Â
Bahkan bisa mengoptimalkan kemampuan akademis anak, membangun mental, hingga membentuk karakter interpersonal anak dalam bersikap dengan orang lain. Bahkan dukungan pendidikan dari orangtua bisa mencegah terjadinya perundungan.
Sebaliknya, sikap yang tidak kooperatif, menabrak aturan, norma etika, menjadi biang timbulnya masalah. Dalam kasus ketika seorang anak mengalami bullying--kemudian mengadu kepada orang tuanya, selanjutnya orang tuanya datang kesekolah dan langsung melabrak para guru di depan anaknya dan teman-teman sekolah lainnya.
Dampak yang ditimbulkannya buruk sekalipun akan ditemukan solusinya. Sikap arogansi orang tua tersebut bisa menjadi bibit buruk yang dapat menular secara psikologis kepada anak-anak. Bahwa guru bisa diperlakukan dengan buruk, bahwa guru tidak sepenuhnya harus dihormati karena kesalahan yang pernah dilakukan. Apalagi jika terbukti seorang guru melakukan kesalahan.
Dalam momentum Hari Guru kita coba merefleksikan kembali, untuk merayakan peran pendidik dalam membentuk masa depan anak didiknya. Ketika merayakan prestasi guru, seringkali kita melupakan bahwa pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga melibatkan peran penting orangtua.Â
SEBAIKNYA KALIAN TAU!
Sejarah Hari Guru Nasional berawal pada tahun 1945. Pada waktu itu, terbentuklah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) setelah sebelumnya Persatuan Guru Indonesia (PGI) menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia perdana di Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 24-25 November 1945.Â
Kemudian tanggal 25 November secara resmi ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1994. Pemilihan tanggal 25 November tidaklah sembarangan; itu dipilih untuk menghormati lahirnya Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia yang dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi rakyat.
Kolaborasi antara orangtua dan guru dalam membentuk perkembangan anak-anak, tidak hanya secara akademis, tetapi juga dalam membangun mental dan karakter interpersonal menjadi tanggungjawab bersama.
Pertama;Â Optimalkan Kemampuan Akademis--bagaimana kolaborasi antara orangtua dan guru bisa menjadi kunci sukses dalam mengoptimalkan kemampuan akademis anak. Jadi keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak tidak hanya terbatas pada membantu anak dengan pekerjaan rumah, tetapi juga menciptakan lingkungan belajar yang positif di rumah. Terutama melalui komunikasi secara terbuka.Â
Para guru bisa membantunya dengan strategi pembelajaran yang efektif, sedangkan orangtua bisa membantunya dengan informasi tambahan mengenai kebutuhan dan kecenderungan anak. Sehingga seimbang antara apa yang dipahami guru disekolah (kelemahan dan kelebihan siswa) dengan solusi yang bisa diberikan para orang tua di rumah sebagai bentuk dukungannya.
Kedua;Â Pentingnya Pemberian Dukungan Mental, sebagian kita mungkin merasa bahwa pendidikan yang diterima anak-anak adalah untuk membuatnya pintar dan cerdas, dan hal itu tidak jauh dari bertambahnya kepintaran mereka dalam urusan angka dan fakta. Padahal ilmu yang harus menjadi bekal anak-anak juga tentang bagaimana membangun mental yang kuat pada anak-anak.
Nah, tantangannya adalah bagaimana kolaborasi antara orangtua dan guru bisa menciptakan dukungan yang kuat untuk mendukung perkembangan emosional dan psikologis anak. Orangtua, sebagai sosok yang lebih dekat dengan anak di rumah, bisa menjadi pengamat yang baik terhadap perubahan perilaku atau masalah emosional yang mungkin muncul. Dengan berbagi informasi ini, guru bisa memberikan bantuan yang lebih efektif di lingkungan sekolah.
Kolaborasi ini kadang-kadang tidak disadari dan tidak dipahami--bahkan oleh sebagian guru. Sehingga saat timbul masalah, seorang guru bisa melupakan sisi psikologis yang akar masalahnya bisa berasal dari rumah. Bukan sepenuhnya sikap nakal anak-anak semata sebagai sifat bawaan.
Ketiga; Membentuk Karakter Interpersonal. Bahwa selain keterampilan akademis dan dukungan mental, kolaborasi orangtua dan guru juga memainkan peran penting dalam membentuk karakter interpersonal anak.Â
Berusaha menciptakan komunikasi yang terbuka, dan terus-menerus antara orangtua dan guru agar bisa membantu mengidentifikasi perkembangan sosial anak, serta memberikan pandangan yang lebih luas tentang karakter mereka. Ini tidak hanya memberikan gambaran lebih jelas kepada guru, tetapi juga memungkinkan orangtua untuk membimbing anak dalam bersikap dengan orang lain di berbagai situasi.