Apa yang bisa kita petik dari kisah  Jenderal Simon Bolivar dalam novel Gabriel Garcia Marquez yang dianggap paling politis, adalah perjalanan terakhirnya. Marquez menyusun alur narasinya dalam The General In His Labyrinth dengan sangat dramatis.
Namun disisi lain korektif, penulis dan kritikus terkenal Marie Arana yang juga menulis biografi baru tentang Bolivar: American Liberator (Simon & Schuster), Ms. Arana justru menyajikan potret yang mencolok dari banyaknya kontradiksi dan kelemahan Sang Pembebas Besar – sebuah wujud semangat pencerahan namun kecanduan kemuliaan, judi dan wanita.
Didorong oleh cita-cita Revolusi Amerika dan Perancis, konsep kebebasan dan keadilan, pada akhirnya Bolivar sang jenderal menjadi tidak kenal ampun, dan berubah dari sang negarawan, dan diplomat menjadi otoriter yang tidak efektif dalam urusan pemerintahan.
Tiba-tiba semuanya mengingatkan saya dengan perilaku para elite politik yang makin luar biasa saat ini. Sikap apatis atau permisif kita membuat perilaku elite membuat politik makin terpuruk.
Mengambil HikmahÂ
Saat ini bukan rahasia lagi jika banyak elite berdiri dengan dua kaki yang berbeda--menjadi penguasa pemerintahan, tapi juga menjadi pemain dalam perpolitikan.Â
Pada akhirnya politik menguatkan kaki para elite yang dulunya merasa berjalan sendirian, dan harus ditopang, setelah berdikari dalam politik, Â kini meninggalkan semua saingan politiknya. Politik telah mendewasakan (dalam arti sebenarnya) menjadi seorang politikus sejati-bukan lagi sekedar seorang pendobrak yang dielu-elukan sebagai representasi orang kecil.
Namun dalam politik hal itu dianggap jamak. Seseorang bisa bermetamorfosa-dari tokoh pendobrak, menjadi politikus sejati. Seorang idealis pimpinan demo mahasiswa berubah menjadi tokoh elitis yang tidak bersedia lagi hidup susah.Â
Dalam novel Garcia dikisahkan tentang Bolivar yang melakukan perjalanan terakhirnya pada tahun 1830 dari Sungai Magdalena menuju laut, menapaktilasi tempat-tempat dia pernah memperoleh kejayaan, sambil meratapi impiannya yang pupus tentang negeri-negeri Amerika bersatu.
Mungkin ada saatnya para elite akan mengalami peristiwa serupa, menyadari semua yang telah dilakukannya seperti  menjalani napak tilas Bolivar dan merenungi kesalahannya. Mungkin saat menyepi dari hiruk pikuk politik  hidup sebagai manusia normal.
Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai semacam sindrom Bolivar?.
SEBAIKNYA KALIAN TAU!
Gabriel Jos de la Concordia Garca Mrquez adalah seorang novelis, jurnalis, penerbit, dan aktivis politik Kolombia. Karyanya yang terkenal adalah Cien Anos de Soledad (1967) atau One Hundred Years of Solitude. Karyanya lainnya El amor en los tiempos del clera (1985) atau Cinta di Tengah Wabah Kolera juga menarik khalayak global. Termasuk El general en su laberinto (1989) dan Del amor y otros demonios (1994). Di tahun-tahun terakhirnya, Garcia mengeksplor kehidupan pribadinya dalam Vivir para contarla (2002), atau Living to Tell the Tale.
Bolivar, sebagaimana dikisahkan Marques, setelah memperoleh sekian banyak kemenangan di medan tempur dan menaklukkan hati banyak wanita, menjelang akhir hayatnya, berkelana di dalam labirin kenangan masa lalu yang masih  kuat melekat di benaknya, di antara puing kekuasaannya.
Disana ia menemukan dirinya, menemukan kesadaran, menemukan kembali nuraninya yang hilang. Satu-satunya kegagalan Bolivar adalah melakukan kebaikan menyatukan negeri-negeri Amerika. Sementara keberhasilan-keberhasilannya justru berbentuk kemenangan-kemenangan perang dengan segala cara dan kekuatan yang dimilikinya.
Bolivar hanyalah sebuah analogi--untuk menggambarkan bagaimana para elit sejak lama bersedia hidup dengan perbedaan politik dan ideologi yang mereka pertahankan. Meskipun pada akhirnya bisa runtuh.Â
Kita bisa melihat faktanya saat Pilpres 2019--betapa hebatnya pertarungan dua koaliasi pimpinan elite Prabowo dan Jokowi. Tapi pada akhirnya Prabowo dan Jokowi berpikir pragmatis, dan melalui romantisme kesepakatan politk di gerbong kereta api, mereka berdamai.
Cepat atau lambat ada waktunya orang akan merenungi apa yang telah dicapainya, apa yang telah dilakukannya, karena pada dasarnya-sekecil apapun kebaikan dan kejahatan akan dibayar dengan imbalan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H