Nasib nelayan memang dilematis, diantara berkah negeri bahari dengan pantai terpanjang di dunia, namun kekuatannya justru masih lemah untuk bisa membuatnya bertahan di lautnya sendiri.
Bahkan ketika haknya ditambah dengan penguasaan jangkauan wilayah laut untuk menambah pendapatan, tetap saja lemah posisinya.
Sehingga perubahan nasib ekonominya harus berjalan lebih lambat. Termasuk harus realistis dengan memanfaatkan potensi sesuai kekuatan sumber dayanya dan kemampuan untuk menjangkaunya.
Potensi pesisir, berupa tradisi dan budaya pesisir, dan aktifitas sehari-harinya menjadi alternatif tambahan mata pencahariannya, seperti halnya sektor pariwisata dalam label pariwisata biru.
Selama ini kita barangkali lebih mengenal ekonomi biru daripada pariwisata biru. Pariwisata biru merujuk pada konsep pengembangan ekonomi pada pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya laut dan pesisir untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mempromosikan keberlanjutan lingkungan.
Elemennya meliputi, nelayan sebagai agen pariwisata, dimana ide dasar di balik konsep ini adalah mengubah nelayan dari hanya pelaku produksi (penangkap ikan) menjadi agen pariwisata.
Melalui pengembangan pariwisata biru, nelayan tidak hanya dapat menjual hasil tangkapan mereka tetapi juga menyediakan pengalaman unik kepada wisatawan.
Ruang besarnya adalah Ekonomi biru. Sebenarnya gagasan Ekonomi biru ini sudah lawas, tapi masih relevan menjadi solusi pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan sebagai mesin pemacu pertumbuhan dan pengelolaan laut yang ramah lingkungan untuk ketahanan pangan dan perikanan yang berkelanjutan, termasuk pariwisata.
Ide ekonomi biru diadopsi dari pemikiran ekonom Belgia, Gunter Pauli yang menjadi rujukan banyak negara untuk mendorong pertumbuhan dan optimalisasi menggali potensi kelautan sebagai kekuatan baru mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nelayan tradisional.
Dilema Ekonomi Biru, Berkah dan Ancaman
Jika merujuk pada UU Nomor 27 Tahun 2007 Mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, arti dari ekonomi biru adalah kegiatan ekonomi di wilayah pesisir pantai atau pulau-pulau kecil.
Sedangkan menurut Bank Dunia, ekonomi biru adalah pemanfaatan sumber daya laut berwawasan lingkungan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan mata pencaharian sekaligus pelestarian ekosistem laut. Ekonomi biru bahkan juga mencakup sektor perikanan, energi terbarukan, pariwisata, transportasi air, pengelolaan limbah, dan mitigasi perubahan iklim.
Apalagi dengan adanya kebijakan Dekonsentrasi dimana para nelayan bisa meningkatkan pendapatannya dan mendapatkan hak-haknya lebih luas. Dekonsentrasi dipahami sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah.
Salah satunya adalah adanya izin kewenangan izin tangkap ikan di atas 12 mil dan izin ekplorasi serta ekploitasi migas lepas pantai . Keuntungan tersebut sekaligus bisa menjadi bumerang dan ancaman, meskipun ini sebuah peluang besar untuk membuat para nelayan lebih maju.
Namun masalahnya justru berada pada kondisi para nelayan yang daya saingnya lemah, sumber daya minim atas kedaulatan penguasaan wilayah perairan mereka. Sehingga mereka kesulitan untuk bisa merebut peluang jika tidak ada dukungan tambahan fasilitas untuk melawan para pesaingnya.
Harus ada kemampuan mengolah hasil laut yang lebih baik, tidak hanya mengandalkan komoditi ikan segar sebagai mata jualan utama, tapi juga proses pengolahan produksi, termasuk nirlimbah (zero waste) alias minim atau tanpa sampah.
Sehingga akan butuh pelatihan pengolahan ikan, akses modal lebih mudah untuk perikanan tangkap, dan penguatan aturan atau regulasi ekspor-impor agar pelaku usaha perikanan bisa menjadi "tuan" di negerinya sendiri.
Prioritas harus diberikan untuk penguatan konsumsi domestik, penguatan sistem logistik, agar ongkos produksi lebih murah dan daya saing perikanan meningkat.
Masih banyak pekerjaan rumah dengan titik lemah disana-sini yang butuh penanganan lebih baik dan berkelanjutan.
Utamanya penguatan industrialisasi perikanan pengelolaan hulu-hilir perikanan secara berkelanjutan, mulai dari proses produksi, pengolahan, distribusi hingga pemasaran. Ini untuk mendorong perikanan rakyat lebih berdaya saing dan berdaulat.
Jika kebijakan itu tidak diikuti dengan penguatan para nelayan, maka sebagaimana dikuatirkan Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGI), Riza Damanik, "ekonomi biru secara konseptual hanya dimaksudkan merombak pengelolaan ikan menjadi lebih efisien dan efektif, tetapai tidak mengoreksi tata penguasaan pengelolaan perikanan kita."
Titik lemah masih berkutat pada besarnya angka kemiskinan nelayan dan pembudidaya, dimana 95 persen dari 2,7 juta keluarga nelayan merupakan nelayan kecil dan tradisional, yang menggantungkan mata pencahariannya hanya dari hasil tangkapan tradisional, karena tidak memiliki daya saing dan kedaulatan sebagai "pengelola" lautan.
Kondisi ketidaksiapan sumber daya para nelayan menyebabkan mereka tidak mampu menjangkau laut lepas, sekalipun punya kewenangan mengelola 12 mil-200 mil lepas pantai. Bagaimana menjangkau laut luas dengan kapal bertonase kecil.
Situasi itu justru dimanfaatkan para "penjarah", yaitu para pemilik kapal besar dari negara tetangga. Pada akhirnya justru menimbulkan konflik, kecemburuan sekaligus ketidakadilan jika pemerintah tidak memberikan dukungan bagi para nelayan agar mampu bersaing dengan nelayan besar yang memiliki modal dan armada kapal penangkap ikan yang besar.
SEBAIKNYA KALIAN TAU!
Green Economy dan Blue Economy; Perbedaan keduanya terletak pada fokus pembangunan ekonomi. Jika ekonomi hijau fokus pada pembangunan berkelanjutan dan penurunan risiko lingkungan, ekonomi biru berfokus pada pembangunan ekonomi berkelanjutan di sektor kelautan.
Center for the Blue Economy menambahkan, “istilah ini sekarang digunakan secara luas di seluruh dunia dengan tiga arti yang terkait namun berbeda – kontribusi keseluruhan laut terhadap perekonomian, kebutuhan untuk mengatasi kelestarian lingkungan dan ekologi lautan, dan laut. Dan ekonomi sebagai peluang pertumbuhan bagi negara maju dan berkembang”.
Potensi besar kelautan yang masih dapat diolah dapat membantu mengikis kemiskinan dan membagi kesejahteraan pada 2,7 juta keluarga nelayan yang tinggal di pesisir yang menggantungkan pencahariannya sepenuhnya dari laut.
Hanya saja kita lupa pada substansi masalah soal kemiskinan dan belum optimalnya pemanfaatan hasil olahan laut bagi peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional yang hanya bertumpu pada hasil tangkapan dan olahan ikan berorientasi tradisional.
Dan prioritas yang harus didorong adalah tidak saja berpatokan pada efisiensi dan efektifitas pengelolaan perikanan dan kelautan, namun juga harus menjawab tantangan kedaulatan perikanan dan kelautan serta memperkuat industri perikanan.
Aktifis lingkungan BM Lukita Grahadyarini menyebut, "sebuah terobosan lebih mendasar dinantikan, lebih dari sekadar wacana ekonomi biru. Perubahan yang mendukung keadilan perikanan, kedaulatan pangan, dan kesejahteraan nelayan." Ada kalanya sebuah kebijakan memang baik, namun dalam implementasinya jika tidak memahami substansi masalah justru menjadi blunder-timbulnya masalah baru.
Sesungguhnya bukan konsepnya yang salah, namun prosesnya memang tidak instan---butuh waktu, tapi harus dicoba jika memang itu menjadi solusi baik bagi para nelayan kita.
Pariwisata Biru dan Masa Depan Nelayan
Barangkali yang lebih menarik dan dapat ditindaklanjuti sebagai bentuk adaptasi menyesuaikan dengan kondisi nelayan kita adalah pemanfaatan potensi laut biru melalui pariwisata biru. Faktanya pariwisata laut global diperkirakan bernilai 390 miliar dolar AS, sehingga bisa memberi manfaat bagi jutaan nelayan serta memberi dukungan cukup signifikan terhadap PDB negara.
Inti dari pariwisata biru adalah pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk menciptakan peluang ekonomi.untuk tujuan pariwisata yang diintegrasikan dengan prinsip-prinsip ekonomi biru, yang menekankan keberlanjutan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Termasuk pelestarian lingkungan, pengelolaan sumber daya laut yang bijak, dan manfaat ekonomi yang adil bagi komunitas nelayan.
Melalui pariwisata biru dalam kerangka blue economy, nelayan diharapkan mendapatkan manfaat lebih dari sekadar hasil tangkapan mereka. Mereka dapat menjadi pelaku utama dalam industri pariwisata, memandu wisatawan, menyediakan penginapan, dan terlibat dalam berbagai kegiatan terkait pariwisata.
SEBAIKNYA KALIAN TAU!
Blue Tourism Initiative adalah proyek penelitian dan inovasi jangka panjang yang berfokus pada pengelolaan lingkungan, tata kelola, dan perencanaan pariwisata pesisir dan maritim di sekitar Laut Regional utama. Hal ini terdiri dari tinjauan kebijakan , serta inisiatif multi-pemangku kepentingan untuk memperkuat pariwisata biru berkelanjutan di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional.
Inisiatif Pariwisata Biru bertujuan untuk memahami dan mengevaluasi dampak lingkungan dari pariwisata pesisir dan laut, di tingkat internasional untuk mengidentifikasi kondisi yang memungkinkan bagi integrasi perencanaan lingkungan dan pengelolaan berkelanjutan. Fokus tematiknya, Pariwisata berkelanjutan, Kapal Pesiar, Hotel dan Resor Pesisir, Ekowisata, dan Kawasan Konservasi Perairan.
Setiap daerah pesisir memiliki karakteristik atau ciri khas yang dapat dijual dalam wujud paket pariwisata. Baik berkaitan dengan kondisi geografisnya, maupun potensi ekonomi dari perikanan, kuliner dan keragaman budaya berkaitan dengan lautnya.
Beberapa daerah kini telah mengembangkan desa pariwisata, menggabungkan kehidupan nelayan dengan pengalaman wisata yang unik.
Wisatawan dapat berpartisipasi dalam kegiatan nelayan, seperti menangkap ikan, menjala, atau mengelola tambak. Daerah pesisir bahkan bisa menjual aktifitas menarik pukat dengan langsung melibatkan pengunjung yang datang.
Pengalaman aktifitas laut tersebut secara tidak langsung menjadi bagian dari paket wisata yang dapat dijual. Termasuk aktivitas seperti snorkeling, diving, perburuan kepiting, atau menyelam bersama nelayan lokal. Ini memberikan wisatawan kesempatan untuk merasakan kehidupan laut sehari-hari.
Bahkan nelayan dapat mendorong pembangunan homestay yang dimiliki oleh nelayan lokal. Ini tidak hanya menciptakan peluang penginapan yang lebih terjangkau bagi wisatawan, tetapi juga memberdayakan nelayan untuk berpartisipasi dalam industri pariwisata.
Dan daya tarik yang paling ditunggu adalah penyelenggaraan festival tahunan yang menonjolkan budaya, seni, dan kehidupan laut sebagai potensi yang dapat diagendakan menjadi bagian dari even tahunan daerah.
Festival ini dapat menjadi daya tarik wisatawan dan memberikan pendapatan tambahan kepada nelayan, termasuk dari pasar pengrajin lokal berupa souvenir dan dekorasi koleksi.
Beberapa daerah memiliki even spesialnya seperti; Festival Pesisir Kalimantan Timur, Festival Pasar Bandeng Gresik rutin digelar di akhir Ramadhan, Ritual Larung Sembonyo yang menjadi acara unggulan dalam rangkaian kegiatan Festival Pantai Prigi atau Prigi Beach Festival, Sabang Marine Festival, Festival Sampea Liya, dan Festival Barata Kahedupa di Wakatobi dan banyak lainnya
Optimalisasi dapat dilakukan dengan menjadikan daerah pesisir sebagai ekowisata bahari dan semacam pusat pendidikan laut. Mengenalkan pada para wisatawan dan masyarakat lokal tentang keberagaman hayati laut, pelestarian, dan praktik nelayan yang berkelanjutan.
Dengan cara membangun kemitraan dengan komunitas lokal dan lembaga nirlaba untuk menyediakan pelatihan, peralatan, dan sumber daya lainnya yang dapat meningkatkan kapasitas nelayan dalam mengelola pariwisata biru.
Bahkan pengelolaan sampah dan kebersihan laut saja dapat dijual sebagai bagian dari wisata pesisir yang menarik dengan melibatkan pengunjung secara langsung dalam Coastal Clean Up atau bersih-bersih pantai.
Dengan mengimplementasikan langkah-langkah praktis ini, pengembangan pariwisata biru dapat menjadi solusi yang berkelanjutan untuk mendukung ekonomi nelayan.
Selain itu, pendekatan ini dapat mempromosikan pelestarian sumber daya laut dan memberikan manfaat jangka panjang bagi kedua belah pihak, yaitu komunitas nelayan dan industri pariwisata lokal.
Ekonomi biru akan menjadi sebuah ruang untuk menciptakan berbagai macam inovasi serta kreativitas baru, sebagai roda penggerak peningkatan kesejahteraan yang semakin inklusif.
Transisi Indonesia ke ekonomi biru juga diharapkan mampu menjadi model pengembangan industri berbasis kelautan secara berkelanjutan serta bisa mengurangi ketergantungan ekonomi pada sektor ekstraktif sebagai sumber pembiayaan pembangunan.
Tapi ingat berdayakan dulu nelayan kita, agar mereka tidak menjadi penonton, tapi juga pemain di lautnya sendiri. Ini adalah kesmpatan dan peluang bagi mereka untuk memperbaiki nasib mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya