Fakta kehidupan perekonomian dunia saat ini salah satunya adalah bahwa hampir seluruh negara di dunia berhutang. Negara yang tidak berhutang ke IMF salah satunya adalah Korea Utara, itu juga karena masalah politik. Selebihnya, negara yang tanpa hutang itu adalah negara kecil, dengan jumlah penduduk di angka ribuan hingga ratusan ribu penduduk.Â
Beberapa negara yang tidak memiliki hutang antara lain : Macau (tetangga Hong Kong, populasi 557.672 jiwa), Anguila (sebuah wilayah di seberang laut Britania Raya), British Virgin Island (negara terkaya di Kepulauan Karibia), Liechtenstein (berlokasi di perbatasan Austria dan Swiss, populasi 35.000 jiwa), Palau (populasi 21.000 jiwa), Niue (negara kepulauan di Samudera Pasifik Selatan, populasi kurang dari 2.000 jiwa), serta Wallis dan Futuna (komunitas di seberang laut Perancis).
Terkait dengan hutang luar negeri ini, konsep strategi ekonomi Indonesia dengan berhutang ke IMF mengalami pro kontra bahkan sejak jaman Seokarno. Isu tentang penolakan atau penghapusan hutang luar negeri sudah lama ada di Indonesia, umumnya karena adanya argumen-argumen 'kedaulatan politik'. Di masa Soekarno, bahkan pernah menolak hutang dari IMF, dengan kata-kata Soekarno yang terkenal di waktu pidato 17 Agustus 1965 : 'go to hell with your aid'.Â
Perjalanan hutang luar negeri di Indonesia cukup panjang dengan banyak pergolakan politik dan ekonomi. Indonesia sudah 'diwarisi' hutang oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1949. Warisan hutang dari pemerintah Hindia Belanda itu adalah salah satu kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.Â
Penyerahan kekuasaan politik dari Hindia Belanda ke Indonesia itu, disertai pengalihan hutang dari pemerintahan Hindia Belanda. Presiden Soekarno sempat tak setuju dan membatalkan hutang yang menjadi beban bagi Indonesia. Hutang dari pemerintah Hindia Belanda pun tak seluruhnya dibayar.
Pada akhir 1945, 35 negara yang dianggap founding fathers, menandatangani anggaran dasar Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF). setelah  melalui persiapan termasuk ratifikasi di DPR/ Kongres masing-masing negara anggota, akhirnya IMF dinyatakan berdiri dan beroperasi pada 1 Maret 1947.Â
Indonesia yang baru bangkit dari krisis akibat perang melawan Belanda selama masa revolusi, mengajukan permintaan menjadi anggota IMF dan Bank Internasional untuk Rekontruksi dan Pembangunan (IBRD, yang kini menjadi Bank Dunia).Â
Pada pertengahan 1953, Indonesia resmi menjadi anggota IMF. Pada agustus 1956, pemerintah Indonesia memperoleh pinjaman IMF sebesar US$ 55 juta, karena inflasi kembali berkecamuk disebabkan defisit anggaran yang meningkat dan cadangan devisa menurun cepat.
Dua bulan terakhir di penghujung 1962, garis-garis umum IMF sudah diketahui oleh berbagai lingkaran politik di Indonesia. Pada Februari 1963, isu apakah pemerintah akan berbelok ke 'kiri' (mengandalkan bantuan Uni Soviet dan mengefektifkan Kabinet Nasakom) atau mengikuti anjuran 'sayap kanan' masih berada di posisi yang seimbang. Kebijakan 'mengekatkan ikat pinggang' arahan IMF itu mengundang serangan keras, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI). DN Aidit, Ketua PKI menyatakan kalau menyerah kepada bantuan asing hanya akan membawa Indonesia dalam kekacauan ekonomi dan ketergantungan dana asing terus menerus.
Pada 4 Juni 1963, PKI menerbitkan pernyataan yang menyerang para pendukung Regulasi 26 Mei 1963, menjulukinya 'Manipol Palsu', karena berani memajukan program mereka sendiri dengan mengatasnamakan Dekon (Deklarasi Ekonomi). Kampanye melawan Regulasi 26 Mei berlanjut sepanjang Juli-Agustus 1963. Front Nasional, Nahdlatul Ulama, Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia dan sejumlah kelompok mahasiswa bergabung satu suara, sebaliknya TNI memilih diam. Â
Protes terhadap regulasi 26 Mei akhirnya sukses pada 7 September 1963, lewat pernyataan Soekarno yang menyetujui bahwa Regulasi 26 Mei mesti dikoreksi. Saat konfrontasi melawan Malaysia memanas, kelompok oposisi berhasil mendesak supaya Regulasi 26 Mei dicabut pada April 1964. Sutikno (Wakil IMF untuk Indonesia waktu itu), menyampaikan bahwa 'jelas tidak ada harapan untuk stabilisasi'.Â