Mohon tunggu...
Hanif Rangga
Hanif Rangga Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Psikolog Candidate

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Solilokui - Sebuah Senyum yang Tak Bisa Bertahan Lebih dari Sedetik

30 September 2012   19:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth



...Maaf, aku menyerahkan pekerjaan yang kau harapkan aku lakukan untuk kita rundingkan


Aku ingin berbicara, temui aku di pantai. Kuparkir motorku di rumah Tenri setelah mengirimi mu pesan singkat. Kau menemukanku ketika memotret pepohonan. "Sendirian?" tanyaku, "Iya" sahutmu setelah tersenyum padaku. Aku memukul-mukul pasir, "Duduklah". Kau terdiam sesaat lalu bergerak ketika aku menatapmu, tatapan menunggu kau duduk di sampingku. Kau ingin bertanya sudah berapa lama aku disini bersama kamera kakak ku dan novel yang selalu kubawa belakangan ini, mungkin atau boleh jadi hanya perkiraanku. Karena kau diam saja semenjak duduk di atas pasir bersamaku.

Aku menarik napas tidak seperti biasanya, ada yang perlu kita bicarakan tapi tidak satupun dari kita yang tahu cara memulainya. Lalu aku merubah posisi duduk ku, menghadapmu. "Ehh, Aku ingin berbicara... tentang apa yang telah kita mulai" kau tetap saja menatapi pantai yang sedang surut, semoga saja perhatianmu tertuju padaku. Aku bisa mengerti, maksudku tak apalah kau tidak merubah posisi duduk dan tatapanmu. Aku tahu kau sedang menyimak dan mencoba untuk tidak menarik kesimpulan secepat mungkin.

Kau kemudian mulai bercerita tentang kenangan-kenangan yang kau rindukan, kau tertawa. "Tidak terasa sudah selama ini yah?" tanyamu polos seolah tak ada lagi kalimat lain yang tepat untuk menggambarkannya. "Ah, jangan-jangan mati rasa?" jawabku sedikit bercanda, maksudku apakah yang membuat sebuah penantian tidak terasa seperti yang kebanyakan orang rasa. "Apakah keyakinan yang kuat atau sikap sabar menguatkan penantian ini?" Aku bertanya pada siapapun sepertinya, tapi saat ini aku bertanya untuknya, perempuan yang menemaniku duduk di pantai yang sedang surut.

Mungkin kita butuh waktu, jangan sampai memaksakan diri. "Ada banyak kekhawatiran dalam benak ku dan itu bodoh menurut ku, dan kebodohan adalah hal yang wajar". Aku mengucapkan begitu banyak kalimat-kalimat abstrak. "Kebodohan sepertinya mendewasakan" dan masih banyak lagi yang kukatakan, tapi sebelumnya kuingatkan kepadamu tentang istilah bodoh itu sendiri. Semoga saja kau tidak menggunakan terma bodoh sebagaimana terma yang digunakan orang tua karena tidak sanggup mendidik anaknya dan menyalahkan anaknya, atau marginalisasi seorang guru terhadap beberapa siswa-siswanya, atau pengabaian kepada seorang teman hanya karena buah pikirannya tidak dapat kau terima, atau keyakinan orang lain yang tidak kau rasakan lalu mengambil andil begitu banyak untuk menilainya.

"Sejauh mana kita akan berusaha?"

"Aku butuh kepastian yang tegas!"

"Apa aku cukup berarti untukmu?"

"Aku ingin menikah di usia muda!"

"Kau tahu apa harapan terbesarku?"

"Kita tak pernah menentukan kapan ini berakhir!"

"Aku merindu, tidakkah kau juga?"

"Aku sesak!"

"Mengapa ini begitu berat?"

"Sederhana, hanya saja realitas menyulitkannya!"

"Kau tahu, orang-orang mungkin saja benar"

Ini bukan percakapan kita saat dipantai, ini flooding yang pernah keluar dari pertemuan-pertemuan kita yang lalu dan tidak sampai disitu saja, masih ada lagi yang lain hanya saja aku tak ingin lagi menuliskannya. Karena aku sangat ingin mewujudkan satu flooding yang pernah berucap dari birbir kita, entah apa yang mendorong kita melakukan itu. Mungkin aku tahu alasannya, kaupun pernah mendengar jawaban dariku ketikau kau menanyai itu. "Kaulah perempuan yang menjadikanku pribadi yang terbuka, dan kau menegaskan bahwa kau mampu memahami ku melebihi perempuan-perempuan lain" Ujarku, tapi sepertinya kau berada setelah ibu dan kakak perempuanku, hha.

"Aku ingin menikah denganmu"

Kau tahu, aku berharap bisa membasahi mataku saat membawa lara duka ku kepada Sang Maha, mengecupmu lewat do'a adalah hal terbaik yang bisa kulakukan. Kau tahu meskipun ku tahu kau merasa tidak mampu memahamiku sebaik apa yang telah ku katakan, tapi percayalah pada kata-kataku, kau melakukannya dengan baik. Jika ada hal yang tidak kau pahami, itu bukan karena aku tak ingin berbagi. Maaf,. itu saja.

Adikku yang baik hatinya,

semua yang ku tahu tak bersisa lagi untukmu_^..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun