Mohon tunggu...
Hanif Rahadian
Hanif Rahadian Mohon Tunggu... Jurnalis - Karyawan Swasta

Seorang sarjana Ilmu Hubungan Internasional, yang memiliki ketertarikan terhadap isu-isu internasional, kebijakan luar negeri, geopolitik, militer, pertahanan keamanan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Geopolitik Laut Cina Selatan, Menjaga Kedaulatan Indonesia di Tengah Dinamika Tak Pasti

31 Mei 2024   20:37 Diperbarui: 3 Juni 2024   01:45 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara rinci menjelaskan tujuan nasional Indonesia sebagai sebuah bangsa besar yang berdaulat. Negara ini didirikan dengan mengemban kewajiban dan amanat untuk dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya, sekaligus dengan misi untuk dapat memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Deklarasi Djuanda tahun 1957 dan artikel 55 dalam United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) 1982 tidak hanya memberikan pengakuan, tetapi juga hak dan kewajiban Indonesia sebagai sebuah negara Negara Kepulauan (Archipelagic State). Negara ini dihuni oleh lebih dari 275,5 juta jiwa penduduk dan menjadi negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih 17.000 pulau yang terletak di garis khatulistiwa. 

Kondisi geografis Indonesia menempatkan wilayah negara ini berada di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, di antara benua Asia dan Australia. Total luas wilayah mencapai 8,3 juta km yang terdiri dari luas daratan sebesar 1,9 juta km dan luas perairan mencapai 6,4 juta km. Indonesia juga berbatasan darat dan laut langsung dengan sepuluh negara yang berada di kawasan. 

Posisi strategis Indonesia di kawasan diperkuat dengan adanya tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yang terbagi atas ALKI I, ALKI II dan ALKI III lengkap dengan Choke point yang berada di Selat Malaka, Selat Sunda, Natuna Utara, Selat Sulawesi dan Selat Lombok. 

Jalur ALKI dan Choke Point yang dimiliki oleh Indonesia merupakan salah satu jalur perdagangan penting dunia, pasalnya ketiga jalur ALKI tersebut dilalui 45% dari total nilai perdagangan dunia. Potensi-potensi gangguan keamanan yang berdampak terhadap jalur ALKI dan Choke Point di Indonesia akan turut mengancam kebebasan navigasi, di mana Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk mengamankan distribusi pangan dan energi ke seluruh dunia yang melewati jalur tersebut. 

Luas dan strategisnya posisi geografis yang dimiliki Indonesia, menganugerahkan negara ini dengan potensi sumber daya alam yang beragam dan melimpah, memberikan jaminan bagi Indonesia untuk dapat bertransformasi menjadi negara yang sejahtera dan maju. 

Namun, potensi-potensi kekayaan yang dimiliki bangsa ini juga memberikan konsekuensi ancaman yang serius. Kekayaan Indonesia menjadikannya rentan terhadap berbagai isu pertahanan dan keamanan di kawasan, termasuk sengketa perbatasan dengan negara lain. Kekayaan Indonesia juga menjadi daya tarik bagi bangsa dan negara lain untuk dapat menguasai dan mengambil manfaat dari Indonesia.

Perkembangan lingkungan geopolitik maupun geostrategis di Indo-pasifik kian dinamis dan terus memanas. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya klaim sepihak Cina atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan (LCS), melalui sembilan garis putus-putusnya yang dikenal dengan sebutan "Nine dash line" (9DL).

 Adanya 9DL di Laut Cina Selatan, menyeret Cina untuk terlibat dalam sengketa maritim dengan sejumlah negara seperti Taiwan, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia dan bahkan Indonesia. Meskipun Indonesia tidak menjadi salah satu claimant state dalam sengketa LCS, namun klaim 9DL tumpang tindih dengan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah Laut Natuna Utara, di mana Indonesia memiliki hak berdaulat. Lebih jauh, rivalitas kuat antara antara Cina dengan Amerika Serikat di Indo-Pasifik, dan ambisi Beijing untuk dapat merebut kembali kepulauan Taiwan, meskipun harus mengerahkan kekuatan militer, semakin memperkeruh keadaan. 

Tensi geopolitik di kawasan Indo-Pasifik, terutama di Asia Tenggara menjadi sekelumit tantangan yang harus mampu dijawab oleh Indonesia. Terkhusus, pada isu sengketa LCS yang dapat diibaratkan sebagai bom waktu, dan dapat meledak kapan saja. Potensi konflik terbuka yang terjadi di antara negara-negara yang bersengketa atau di antara Cina dan Amerika Serikat, akan berdampak ke Indonesia dan mengancam kedaulatan, pertahanan dan keamanan bangsa secara keseluruhan.

Laut Natuna Utara dan Agresivitas Cina 

Voice of America (VoA News)
Voice of America (VoA News)

Laut Natuna Utara, merupakan kawasan perairan Indonesia yang terletak di kabupaten Natuna serta berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Kawasan maritim ini masih menjadi bagian dari ZEE Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982. Indonesia memiliki hak berdaulat sekaligus yurisdiksi di wilayah perairan ini. 

Memanasnya tensi wilayah Laut Natuna Utara, mulanya terjadi akibat banyaknya kasus illegal fishing yang dilakukan oleh berbagai nelayan asing di wilayah ZEE Indonesia, termasuk nelayan yang berasal dari negeri tirai bambu. Namun masalah yang lebih besar muncul, ketika kapal milik Coast guard Cina, justru melakukan 'pengawalan' terhadap kapal-kapal nelayan mereka yang melakukan aktivitas pencurian ikan tersebut, Otoritas Cina bahkan sampai melayangkan protes ketika kapal-kapal nelayan dari negara mereka diamankan oleh TNI-AL.

Singgungan antara TNI-AL dan Coast Guard Cina, memaksa kehadiran Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk berkunjung ke Natuna dan melakukan rapat terbatas di atas kapal KRI - Imam Bonjol (383) pada periode 2016. Langkah ini dimaksudkan guna mengirimkan pesan kepada Cina, bahwa Jakarta tidak main-main dengan kedaulatannya. 

Sayangnya kehadiran Presiden RI ke wilayah Natuna tidaklah cukup untuk menahan agresivitas Cina. Sejak 2021, kapal-kapal milik Cina dari mulai kapal Frigate milik Angkatan Laut, kapal Coast Guard sampai dengan kapal survei Haiyang Dizhi 10 dari Cina masih terus hadir di wilayah perairan Natuna dan ZEE Indonesia.

CSIS / AMTI
CSIS / AMTI

Tidak hanya terus-menerus memperkuat "eksistensi" mereka di LCS dengan kapal-kapalnya, Cina juga disinyalir telah melakukan aktivitas survei maritim secara ilegal serta bertentangan dengan hukum laut UNCLOS 1982. Menurut data Asia Maritime Initiative (AMTI) selama periode 2020-2021, Cina mengerahkan 4 kapal survei yang aktif berkeliling ke seluruh wilayah LCS serta wilayah ZEE sejumlah negara seperti Vietnam, Malaysia, Brunei hingga Indonesia. 

Kegiatan survei tanpa izin oleh kapal-kapal milik Cina ini disebut sebagai respons negara tersebut terhadap beragam upaya eksplorasi sumber daya minyak dan gas yang dilakukan oleh sejumlah Asia Tenggara, di wilayah yang tumpang tindih dengan klaim 9DL Cina.  

Pada tahun 2021, Cina melayangkan permintaan kepada Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran minyak dan gas yang dilakukan di blok Natuna. Cina berpendapat bahwa aktivitas pengeboran sumber daya alam yang dilakukan Indonesia berada di wilayah teritori Cina di LCS.

Cina juga dicurigai melakukan pemetaan dan eksplorasi geografi bawah laut di wilayah Indonesia dengan menggunakan kendaraan bawah laut tak berawak (Unmanned Underwater Vehicle/UUV) atau dikenal sebagai seaglider. Dugaan ini diperkuat oleh penemuan UUV di bulan Desember 2020  Kala itu,  seorang nelayan menemukan Seaglider yang diduga milik Cina di sekitar perairan Selayar, Sulawesi Selatan. Seaglider temuan tersebut kemudian diserahkan kepada TNI-AL dan kedapatan dilengkapi oleh sejumlah kamera dan sensor. 

ANTARA FOTO/M. RISAL HIDAYAT
ANTARA FOTO/M. RISAL HIDAYAT

Sejumlah analis berpendapat, bahwa seaglider yang ditemukan di Selayar, identik dengan UUV Sea Wing atau Haiyi. Sebuah drone bawah laut yang dioperasikan oleh Angkatan Laut Cina. Menurut TNI-AL, alat ini dapat dipergunakan untuk kepentingan sipil maupun kepentingan intelijen dalam militer. Kegunaanya ialah untuk mengumpulkan data oseanografi dan batimetri yang dikirimkan melalui komunikasi satelit. 

Ironisnya, penemuan UUV serupa di wilayah perairan Indonesia tidak hanya terjadi sekali, namun sampai tiga kali. Pertemuan pertama terjadi pada 2019, oleh seorang nelayan di Pulau Tenggel, Kepulauan Riau, dan penemuan ketiga terjadi pada Januari 2020, tepatnya di wilayah perairan Masalembu, Sumenep, Jawa Timur.

Cina pada tahun 2023 merilis sebuah Peta Standar Cina Edisi 2023, yang di mana dalam peta tersebut, sembilan garis putus-putus yang sudah ada sebelumnya, bertambah menjadi 10 garis putus-putus. Peta baru yang dirilis pada Senin 28 Agustus 2023, meningkatkan tensi Cina dengan sejumlah negara, sebab melalui peta tersebut, Cina melakukan klaim sepihak atas wilayah laut negara India, Malaysia dan Filipina. Peta ini disinyalir menabrak garis batas kedaulatan negara-negara tersebut dan lagi-lagi bertentangan dengan prinsip UNCLOS 1982. 

Aksi-Aksi ilegal yang bertentangan dengan UNCLOS 1982 dan terus-menerus dilakukan oleh Cina di wilayah Natuna Utara, memberikan gambaran bagaimana kedaulatan bangsa ini menghadapi tantangan yang tidak main-main.

Dinamika Geopolitik Tak Pasti

Sengketa 9DL di antara Cina dan sejumlah negara Asia Tenggara tidak hanya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tensi geopolitik di kawasan terus memanas. Melainkan, turut dipicu dengan munculnya rivalitas hegemoni yang kuat di antara Cina dan Amerika Serikat (AS). 

Sebagai negara yang mendukung prinsip Indo Pasifik yang Bebas dan Terbuka (Free and Open Indo-Pacific), Amerika Serikat menjadi kompetitor paling kuat Cina di kawasan, baik dari segi ekonomi maupun militer. Kapal-kapal armada Angkatan Laut AS (US NAVY)  ikut memainkan peran memperkuat kehadiran mereka di kawasan Indo Pasifik, termasuk di sekitar kawasan Laut Cina Selatan. 

Rivalitas pengaruh (Influence) di kawasan Asia Tenggara di antara AS-Cina, menjadikan dinamika geopolitik kawasan semakin kompleks. Untuk membendung pengaruh dan aksi militerisasi Cina di LCS, AS memperkuat kerjasamanya dengan negara-negara aliansi yang ada di sekitar kawasan. 

Terbentuknya aliansi militer trilateral di antara AS-Inggris-Australia dengan nama "AUKUS" pada September 2021, yang dimana kerjasama ini memungkinkan Australia untuk mengakuisisi dan mengoperasikan kapal selam nuklir menjadikan kondisi di kawasan kian dinamis. 

Bersamaan dengan hadirnya AUKUS, artinya menambah daftar panjang aliansi militer yang sudah ada dan mengepung wilayah Indonesia, seperti misalnya, Five Power Defence Arrangements (FPDA) beranggotakan negara-negara persemakmuran Inggris seperti Australia, Singapura, Malaysia dan Selandia Baru maupun adanya Australia, New Zealand, United States Security Treaty (ANZUS).

Tidak hanya AS yang berusaha memperkuat influence mereka dengan negara-negara di kawasan. Cina pun melakukan hal yang sama, pada 2022. Cina telah menandatangani kerjasama pertahanan terbaru dengan negara Kepulauan Solomon. Perjanjian kerjasama keamanan di antara kedua negara tersebut, akan memungkinan Cina untuk dapat memposisikan armda angkatan bersenjata nya di wilayah kepulauan Solomon, suatu tindakan yang menjadi alarm bagi Australia. 

Karena kapal-kapal milik Angkatan Laut Cina bisa bersandar di negara tersebut untuk melakukan re-suplai pasokan logistik. Kemudian baru-baru ini, tepatnya pada September 2023, Cina melakukan pendekatan dengan negara Papua Nugini dan menawarkan proposal kerjasama keamanan di antara kedua negara. 

Kehadiran banyak aliansi militer di wilayah Asia Tenggara, menjadi alarm bagi pertahanan dan kedaulatan Indonesia. Pasalnya, Indonesia berbatasan langsung dengan sejumlah negara anggota yang tergabung dalam aliansi-aliansi tersebut. Belum lagi ditambah dengan kemungkinan apabila terjadi konflik terbuka di wilayah LCS yang melibatkan Cina, AS, serta negara-negara aliansi pertahanan yang ada di sekitar LCS, maka dampak dari konflik tersebut akan besar dan tentu menjadi ancaman tidak hanya bagi Indonesia namun juga ancaman keamanan navigasi dan jalur pelayaran di sekitar perairan Indonesia, dikarenakan posisi geografisnya, yang tidak hanya dekat, namun juga menguntungkan sekaligus bernilai strategis bagi banyak pihak.

"Pekerjaan Rumah" Pertahanan Indonesia 

Konflik bersenjata yang melibatkan Rusia dan Ukraina sejak Februari 2022, serta konflik militer di Nagorno-Karabakh yang melibatkan Armenia & Azerbaijan di 2023, serta situasi konflik di Timur Tengah yang saat ini masih berlangsung panas, menjadi bukti bahwa saat ini peperangan konvensional dan konflik militer masih menjadi suatu hal yang sangat relevan hingga saat ini, dan dapat terjadi kapan saja. 

Perang yang terjadi di belahan dunia lain seperti di Eropa, berdampak terhadap kenaikan harga bahan pangan di Indonesia. Kondisi konflik di Timur Tengah, berdampak terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak yang berdampak terhadap banyak negara, gangguan yang terjadi di jalur perdagangan internasional seperti apa yang terjadi di Laut Merah akibat serangan kelompok Houthi terhadap kapal-kapal komersial, menimbulkan gangguan terhadap keamanan jalur pelayaran, perdagangan dan rantai pasok global. Biaya produksi dan biaya operasional membengkak akibat dampak yang ditimbulkan dari adanya ancaman keamanan di wilayah tersebut.

Kondisi konflik bersenjata antar negara di berbagai belahan dunia ini, semestinya menjadi "wake up alarm" bagi Indonesia. Sebagai salah satu negara terbesar dengan kondisi geografis yang bernilai amat strategis, mewajibkan negara ini untuk bisa mengamankan kepentingan nasional serta keutuhan wilayahnya dari berbagai ancaman baik secara domestik maupun eksternal. 

Karena, apabila terjadi konflik bersenjata antar negara-negara besar di kawasan yang berbatasan langsung dengan Indonesia, seperti di Laut Natuna Utara, maka dampak kerugiannya akan dapat sangat dirasakan oleh Indonesia itu sendiri. 

Indonesia memiliki segudang pekerjaan rumah untuk membangun postur pertahanannya. Kondisi ini tidak terlepas dari masih banyaknya, alat utama sistem senjata (Alutsista) yang dimiliki oleh Indonesia, berusia sangat tua dan selayaknya diganti dengan yang lebih modern, berteknologi canggih serta memiliki kapabilitas untuk menjawab tantangan perang masa depan. 

Anggaran Pertahanan Terbatas

"Ambisi" Indonesia untuk melakukan modernisasi alutsistanya melalui program pemenuhan Minimum Essential Force (MEF) menemui sejumlah hambatan. Utamanya terkait dengan keterbatasan anggaran yang ada. Terjadinya pandemi COVID-19 pada 2020, menyebabkan adanya relokasi anggaran sejumlah kementerian termasuk Kementerian Pertahanan selama 2 tahun.  

Padahal, semestinya menurut dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, ditargetkan bahwa pada 2024, program MEF sudah tercapai 100%.  Relokasi anggaran ini menjadi salah satu faktor mengapa target 100% pencapaian MEF Indonesia di tahun 2024, sulit tercapai.

Indonesia memang terus berusaha meningkatkan anggaran Kementerian Pertahanan, di tahun 2024, Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi anggaran mencapai Rp139 triliun. Meskipun begitu, anggaran pertahanan Indonesia saat ini hanya mencapai 0,78% dari total Gross Domestic Product (GDP). 

Untuk negara dengan luas sebesar Indonesia, anggaran pertahanan tersebut masih terbilang sangat minim dan jauh dari optimal. Negara-negara di sekitar Asia Tenggara, menggelontorkan anggaran pertahanan minimal 1% dari GDP mereka. Anggaran pertahanan negara Timor Leste bahkan mencapai 1,2% dari GDP.

Kondisi perang di Eropa juga meningkatkan kesadaran banyak negara akan pentingnya melakukan investasi lebih dan menambah anggaran pertahanannya. Menurut data dari lembaga Think-Tank Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), total pengeluaran militer global pada 2023 mencapai US$2443 miliar, atau meningkat 6,8% dari tahun 2022. Peningkatan ini sekaligus disebut sebagai peningkatan paling tajam dari tahun ke tahun sejak 2009.

Modernisasi Butuh Waktu

Kandidat Presiden terpilih Prabowo Subianto, sejak menjabat sebagai menteri pertahanan Republik Indonesia pada 2019, berambisi mengejar ketertinggalan modernisasi alutsista, terutama untuk TNI-AU dan TNI-AL. Sampai dengan hari ini, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sudah meneruskan dan melakukan pembelian sejumlah alutsista dengan jumlah fantastis. 

Seperti contohnya, Indonesia mengakuisisi sebanyak 42 pesawat tempur Rafale dari Prancis, menandatangani kesepakatan kerjasama pembangunan kapal 2 unit kapal selam Scorpene yang melibatkan galangan kapa PT. PAL Indonesia dan Naval Group serta menandatangani nota Memorandum of Understanding (MOU) dengan Boeing untuk pembelian 24 pesawat F-15 Eagle II dari Amerika Serikat. Ketiga proyek yang sedang diusahakan ini belum termasuk dengan sejumlah proyek kerjasama pertahanan lainnya yang terus dikejar oleh Menhan Prabowo dengan banyak negara lainnya.

ANTARA FOTO/Narda Margaretha Sinambela 
ANTARA FOTO/Narda Margaretha Sinambela 

Meski begitu, perlu diketahui bahwa proses modernisasi maupun peremajaan Alutsista tidaklah memakan waktu yang sebentar, terlebih di tengah adanya perang di sejumlah negara. Sejak terjadinya perang di antara Rusia-Ukraina, banyak negara sadar akan adanya existing threat dari kemungkinan terjadinya invasi oleh negara lain, keadaan ini mendorong banyak melakukan pembenahan terhadap postur pertahanannya sehingga terjadi peningkatan demand terhadap pembelian alutsista dari sejumlah produsen. 

Seperti contohnya, manufaktur pesawat tempur Dassault Aviation dari Prancis, saat ini kebanjiran order untuk jet tempur Rafale dari sejumlah negara, jumlah antrian produksi pesawat Rafale oleh pabrikan Dassault Aviation saat ini mencapai 228 unit. Adanya peningkatan unit produksi pesawat ini sekaligus memperpanjang antrian daripada pesanan pesawat. Kemudian, proses pembangunan kapal selam scorpene di Indonesia, diprediksi akan memakan waktu selama 5 hingga 7 tahun.

Indonesia akan memerlukan waktu beberapa tahun ke depan sebelum alat-alat persenjataan yang coba diakuisisi maupun dibangun tersebut tiba di tanah air. Masalahnya dengan gejolak geopolitik yang sifatnya dinamis serta bertransformasi cepat maka tidak ada yang dapat menjamin bahwa dalam sekian tahun ke depan, Indonesia tidak terlibat atau setidaknya terseret ke dalam pusaran konflik terbuka di kawasan. Kondisi ini yang patut diwaspadai dan disiapkan langkah mitigasinya. 

Kemudian, perlu diingat bahwa negara dengan luas sebesar Indonesia, tentunya akan memerlukan kuantitas alutsista dengan jumlah yang tidak sedikit. Jumlah pesawat tempur dan jumlah kapal perang yang dimiliki oleh Indonesia, masih jauh dari cukup untuk mengamankan bentang luas negara yang mencapai 8,3 juta km.

Sebagai sebuah negara kepulauan di mana wilayahnya dikepung dan didominasi dengan lautan, artinya Indonesia membutuhkan platform kapal yang memiliki kemampuan ocean going. Memiliki tonase berat yang lebih besar serta endurance yang lebih kuat untuk dapat melakukan patroli yang lebih lama di laut. 

Misi kapal-kapal tersebut juga perlu didukung dengan kehadiran pesawat udara, yang mampu terbang ribuan kilometer jauhnya untuk bisa mengeliminasi serangan. Sudah semestinya Indonesia mulai memiliki konsep outward looking dalam upaya modernisasi alutsistanya, tidak lagi terpaku pada konsep inward looking. Segala bentuk ancaman yang datang, haruslah mampu dieliminasi dan dinetralisir, jauh sebelum ancaman-ancaman tersebut memasuki garis pantai dan mendarat di kepulauan Indonesia.

Segala alutsista yang dioperasikan Indonesia nantinya, baik di matra darat, laut dan udara harus mampu terkoneksi antara satu dengan lainnya. Itulah alasan mengapa interoperabilitas perlu dikuasai oleh TNI guna menghadapi perang di masa depan. Karena, penguasaan informasi dan battlespace management yang baik akan menjadi salah satu faktor penting untuk bisa unggul dan memenangkan pertempuran.

Indonesia "Sendiri"

Menganut prinsip Politik Luar Negeri "Bebas-Aktif", menjadikan Indonesia tidak terlibat dalam blok aliansi militer manapun, sehingga Indonesia tidak terikat dengan perjanjian pertahanan dengan negara lain. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang "sendirian". Artinya, Jakarta harus mampu bertumpu secara mandiri dengan segala kapabilitas serta kesediaan sumber daya yang dimiliki untuk dapat mempertahankan wilayah kedaulatannya.

Tanggung jawab yang dipikul negara di sektor pertahanan akan lebih berat, memakan banyak waktu serta biaya yang tidak murah. Itu sebabnya segala sumber daya yang dimiliki oleh negara harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat, yang di mana di dalamnya termasuk untuk kedaulatan negara dan keamanan setiap individu yang hidup di Indonesia. Modernisasi adalah sebuah bentuk investasi jangka panjang yang harus mampu dikejar dan dicapai.

Meskipun Indonesia saat ini masih sangat bergantung dengan industri pertahanan dari negara lain, tapi negara ini juga harus mampu mengoptimalkan segala potensi segenap stakeholder industri pertahanan yang dimiliki, baik dari industri pertahanan yang berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Swasta (BUMS). 

Peningkatan kapabilitas produksi, research and development, sumber daya manusia dan sinkronisasi yang baik antara satu dengan yang lainnya, termasuk Kementerian Pertahanan dan TNI sebagai pemangku kebijakan dan pengguna, akan menjadi hal penting yang diperlukan untuk meningkatkan kapabilitas industri pertahanan dalam negeri di semua sektor. 

Sehingga, harapannya, Badan Usaha Milik Industri Strategis (BUMNIS) di Indonesia nantinya tidak hanya mampu memenuhi segala kebutuhan TNI, namun juga bersaing dengan industri-industri pertahanan negara lain di kancah regional maupun di kancah global atau bahkan menjadi salah satu bagian dari rantai pasok global.

Sebagai negara pendiri dan salah satu yang paling berpengaruh di ASEAN, Indonesia harus mampu menunjukkan kepemimpinannya dalam organisasi di kawasan tersebut serta mengajak negara-negara ASEAN untuk dapat melihat tantangan stabilitas dan keamanan regional sebagai sebuah isu bersama yang harus mampu dibendung. 

Satu poin pentingnya adalah bahwa keamanan dan stabilitas keamanan kawasan, tidak bisa menjadi beban satu negara, melainkan juga seluruh negara yang ada di dalamnya. Membentuk kerangka kerjasama maritim dan melakukan patroli bersama untuk menjawab segala tantangan keamanan baik yang bersifat militer maupun non militer, antar negara-negara ASEAN bisa menjadi opsi.

Amanat Konstitusi

Indonesia perlu memiliki fokus dan roadmap yang jelas, terkait postur pertahanannya dalam di masa depan dengan segala dinamika ancaman yang akan dihadapi. Segala upaya untuk melakukan transformasi pertahanan haruslah berlandaskan kepada Threat-Based Planning. Peningkatan anggaran militer mencapai 1% dari GDP, selayaknya menjadi sesuatu yang harus dapat dicapai secara bertahap. 

Negara ini harus mampu mengamankan kepentingan nasionalnya, dengan segala daya dan upaya yang dimiliki. Terlebih, modernisasi postur pertahanan tidak hanya bertumpu pada akuisisi alutsista, tetapi juga sektor lain seperti meningkatkan dan membangun sumber daya manusia yang memiliki daya saing, menguasai pengetahuan serta pengoperasian perangkat lunak yang disematkan dalam alutsista-alutsista berteknologi canggih. Brainware, Hardware dan Software menjadi hal-hal vital yang perlu dioptimalkan Indonesia, dalam upaya melakukan transformasi dan modernisasi di sektor pertahanan.

Negara ini memang selalu aktif melakukan dialog, negosiasi dan diplomasi dengan negara lain terkait banyak isu internasional. Namun, untuk urusan kedaulatan dan pertahanan bangsa maka sudah barang tentu upaya di meja diplomasi tersebut diiringi dengan daya gentar yang kuat, serta kapabilitas militer yang optimal, sehingga Indonesia akan memiliki daya tawar yang lebih tinggi di meja diplomasi, termasuk untuk isu yang menyangkut kedaulatan negara seperti isu keamanan di Laut Natuna Utara. 

Indonesia memang perlu waktu dan mengoptimalkan postur pertahanan, namun hal tersebut tidaklah menjadi sesuatu yang dapat ditawar. Dinamika geopolitik di dunia akan terus bergerak dan dinamis, dan tidak akan menunggu Indonesia untuk siap terlebih dahulu. 

Terlebih, adanya modernisasi alutsista dan pembentukan postur pertahanan kredibel yang dimaksudkan untuk dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya, mengamankan kepentingan nasional dan menjaga kedaulatannya merupakan amanat konstitusi, dan untuk dapat mencapai target-target yang diharapkan tersebut, diperlukan political will yang kuat dari para stakeholder terkait, termasuk pemangku kebijakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun