Mohon tunggu...
Hanif Novrandhita
Hanif Novrandhita Mohon Tunggu... -

Nubie yang ingin menjadi lebih baik melalui tulisan-tulisan nubie, SEORANG S.STATS BERMIMPI UNTUK MENJADI LEBIH BAIK,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yogyakarta, Ibu kota negara Indonesia

11 Januari 2014   20:25 Diperbarui: 16 Juli 2017   19:13 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluarlah dari zona nyamanmu sehingga engkau akan menikamti kemerdekaan hatimu yang sesungguhnya, mulailah dari hal-hal yang sangat kecil.  berikut cerita yang saya dapat dari sebuah akun twitter.  Saat jogja menjadi ibukota republik ini, padahal jogja sudah merdeka dengan sistem kesultanannya saat itu. Kutipan dari tweet@inisleman " Awal kehidupan negara ini ditandai dgn suasana mencekam yg disebabkan keganasan tentara NICA (Belanda). Tentara NICA kembali ke Indonesia dgn membonceng tentara Sekutu & berhasil menduduki Jakarta pd 29 September 1945. Selama Oktober-Desember 1945 Jakarta menjadi ajang kekerasan & membuat warga takut keluar rumah. Selama 3 bulan itu jatuh korban tak kurang dari 8.000 jiwa orang Indonesia.  NICA juga mendapat perintah utk membunuh para pemimpin Republik ini. Bung Karno & Bung Hatta harus tidur berpindah-pindah. Melihat situasi tsb, Sri Sultan HB IX mengirimkan kurir ke Jakarta & menyarankan agar ibukota dipindah ke Yogyakarta. Keesokan harinya, 3 Januari 1946, dlm rapat diputuskan menerima tawaran Ngarsa Dalem utk memindahkan ibukota pd 4 Januari. Dgn menumpang gerbong kereta yg telah dipersiapkan, para pemimpin Republik beserta keluarga menuju Yogyakarta, Kereta berangkat dari Manggarai & berhenti di rel Pegangsan Timur, tepat di belakang rumah Bung Karno.Dari sinilah mereka memulai perjalanan "hijrah" penuh resiko & mencekam menuju Yogyakarta,Republik dilahirkan dgn penuh resiko. Setiap gerakan revolusioner memerlukan keberanian. Begitulah menurut Bung Karno. Gerbong dibiarkan dlm keadaan gelap & ditaruh di barisan paling belakang utk mengelabui tentara NICA. Para pemimpin Republik beserta keluarga ini menuju Yogyakarta tanpa membawa harta benda, sepeser pun. Akhirnya, 4 Januari 1946 malam sampailah rombongan di Stasiun Tugu & dijenput langsung oleh Ngarsa Dalem, Sri Sultan HB IX. Sejak 4 Januari 1946 malam itulah Yogyakarta resmi menjadi ibukota negara. Selama 4 tahun (4 Januari 1946 - 27 Desember 1949), negara yg masih bayi itu berlindung di Yogyakarta. Sejak pemerintah pusat pindah ke Yogyakarta, kantor-kantor pemerintah pun ikut pindah. Semua pejabat dari tingkat rendah hingga tinggi termasuk para pemimpin Republik hidup kekurangan. Saat itu hanya ada 2 pilihan: setia kpd RI namun hidup kekurangan. Atau berkhianat bekerja dgn Belanda & hidup layak. Sri Sultan HB IX yg melihat penderitaan banyak orang tak tinggal diam. Tanpa ragu beliau membuka peti harta Keraton Ngayogyakarta & membagikannya sbg gaji. Semua pejabat tingkat rendah, tinggi, & keluarga pemimpin termasuk Soekarno-Hatta dibagi uang perak gulden. Yg bertugas membagikan gaji ini adalah Menteri Sosial Kusnan dibantu sekretaris Sri Sultan HB IX. Kemurahan hati Ngarsa Dalem benar-benar melegakan para pegawai yg setia pada perjuangan RI. Beliau juga membiayai keperluan pasukan gerilya, PMI, termasuk pengiriman delegasi perundingan. Ngarsa Dalem "menggaji" para pegawai pemerintahan selama bbrp bulan sblm pendudukan Belanda di Yogyakarta berakhir. Menurut Bung Hatta, jumlah uang yg dikeluarkan Ngarsa Dalem lebih dari 5 juta gulden. Bung Hatta pernah bertanya apakah uang tsb perlu dihitung & diganti negara, namun Ngarsa Dalem tak pernah menjawab. Tak selesai sampai di situ, Ngarsa Dalem juga memberikan cek senilai 6 juta gulden sbg modal awal pemerintahan Republik ini. Beliau memberikan cek tsb sesaat setelah Bung Karno dilantik sbg Presiden RIS di Siti Hinggil pada 17/12/1949. "Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silahkan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta," ujar Ngarsa Dalem sambil berurai air mata. Begitupun dgn para hadirin termasuk Presiden Soekarno. Semuanya terharu. Dgn suara bergetar, Presiden Soekarno berkata "Yogyakarta termahsyur karena jiwa2 kemerdekaannya. Hidupkanlah terus jiwa2 itu". Dari sinilah tampak bagaimana kerendahan hati seorang Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB IX. Seorang Raja Jawa, dlm pidato di depan umum mengakui "kemiskinannya" & mengatakan Yogyakarta tidak punya apa-apa lagi. Hebatnya, beliau tidak mengatakan "Sultan" atau "Keraton", tetapi "Yogyakarta". Sebuah cerminan "manunggaling kawula gusthi" atau bersatunya rakyat & Raja. Penghargaan setinggi-tingginya kpd rakyat jelata yg ikut berjuang merawat & membesarkan negara yg masih sangat muda bernama Indonesia. Maka tidak salah apabila Sri Sultan HB IX disebut sbg penjaga gawang kemerdekaan Republik ini. Demikianlah #CeritaSejarah Yogyakarta Kota Republik & peran Sri Sultan HB IX selama Yogyakarta menjadi ibukota"Sungguh sangat luar biasa bagaiamana negara ini bisa berdiri, lalu apa yang bisa kita lakukan sekarng, hanya bangga dengan sejarah? mari buat sejarah yang luar biasa mulai hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun