Belakangan ini, media sosial tengah ramai membahas tantangan pengetahuan umum yang dihadapi sejumlah siswa. Dalam beberapa video yang viral, siswa diminta menjawab pertanyaan dasar seperti akronim MPR atau ibu kota Jawa Tengah.Â
Namun, hasilnya cukup mengejutkan, karena banyak dari mereka kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dapat dijawab dengan mudah.Â
Fenomena ini menimbulkan diskusi publik terkait rendahnya pengetahuan umum di kalangan pelajar, yang seharusnya menjadi bagian dasar dari pendidikan mereka.Menanggapi fenomena ini, Martadi, seorang pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), menyampaikan pandangannya.Â
Menurut Martadi, ada beberapa faktor mendasar yang menyebabkan siswa kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya mereka kuasai. Salah satu faktor utama, menurutnya, adalah kurang optimalnya penyampaian materi pengetahuan umum di sekolah.
Martadi menjelaskan bahwa pengetahuan umum sering kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup di sekolah-sekolah. Guru dan siswa lebih fokus pada mata pelajaran yang dianggap memiliki bobot lebih besar dalam menentukan prestasi akademik, sehingga topik-topik penting dalam pengetahuan umum cenderung diabaikan.Â
Selain itu, ia juga melihat adanya kecenderungan di kalangan siswa untuk menganggap bahwa menghafal pengetahuan dasar seperti akronim atau fakta geografis bukanlah hal yang penting, yang berdampak pada kurangnya motivasi mereka untuk mendalami hal-hal tersebut.
"Kurikulum kita sebenarnya sudah disusun dengan baik secara konsep. Namun, pelaksanaannya di lapangan tidak dikawal dengan baik, sehingga anak-anak kehilangan arah dalam proses belajarnya. Di sisi lain, para guru sering kali mengalami kesulitan karena tidak ada acuan atau rujukan yang jelas untuk mengembangkan metode pengajaran yang efektif," jelas Martadi.
Selain itu, ia juga menyoroti dampak penghapusan Ujian Nasional (UN) terhadap motivasi belajar siswa. Setelah UN dihapus, Martadi melihat adanya penurunan semangat belajar di kalangan siswa.Â
Sebelumnya, UN dianggap sebagai tolok ukur penting yang mendorong siswa untuk belajar secara serius, namun tanpa UN, siswa tidak lagi memiliki motivasi yang kuat untuk menguasai berbagai materi, termasuk pengetahuan umum.Â
Hal ini diperparah dengan fakta bahwa beberapa sekolah mulai berpikir secara pragmatis, hanya fokus pada cara agar siswa dapat lolos ke perguruan tinggi impian tanpa memedulikan kualitas pembelajaran yang diterapkan.
Martadi juga mengkritik fenomena yang ia sebut sebagai "surplus nilai". Dalam upaya untuk meluluskan siswa ke jenjang pendidikan berikutnya, banyak sekolah yang cenderung memberikan nilai tinggi tanpa benar-benar menilai kemampuan siswa secara objektif.Â