"Kenapa jauh sekali?"
Ujar Lukman memulai percakapan, mengakhiri kebekuan dua insan remaja yang tengah duduk santai menjelang pergantian siang dan malam. Bukan pemandangan yang asing sebetulnya sore itu di tepian rel kereta yang membelah Kabupaten Lampung tengah, melihat muda-mudi bercengkrama melepas lelah setelah seharian bekerja.Â
Sebagian besar mereka, yang pria, adalah pekerja ladang di kebun nanas. Sementara yang wanita adalah buruh pabrik di pabrik pengalengan nanas yang lokasinya tak jauh dari kebun.
Tak terkecuali Lukman dan Anisa, yang harus bekerja paruh waktu selepas sekolah di SMP 3 Terbanggi Besar.
***
Sepulang sekolah Lukman dan Anisa kembali ke rumah sebentar. Meletakan baju dan berganti pakaian. Lukman, dengan topi lebar khas pekerja ladang dan sarung tangan tebal untuk memanen nanas, langsung bergegas mengayuh sepeda menuju kebun.Â
Sementara Anisa mengenakan seragam serba putih dengan logo buah nanas, ciri khas pakaian pabrik, bersama ribuan wanita lainnya berjejer rapih masuk melalui halaman pabrik bertuliskan "PT Nanas Raksasa".
Ayah Lukman adalah penduduk asli Lampung, pekerja ladang sawit sebelum berganti menjadi lahan nanas 15 tahun silam. Sudah lama Lukman sudah memperhatikan ayahnya menjadi peladang.Â
Ladang nanas adalah tempat bermain Lukman sejak kecil, berteman dengan pekerja ladang yang lain, dan menumpang truk nanas kalau ingin berpergian.Â
Tak jarang Lukman ikut dikasih buah nanas kalau sedang musim panen. Ketika sudah dewasa Lukman ikut mendaftar bekerja di ladang nanas membantu ayahnya. Bagi Lukman, inilah kehidupan yang dia ketahui.
Sementara orang tua Anisa adalah pendatang dari Jawa yang ikut program transmigrasi. Berbekal sebidang tanah dari pemerintah, keluarga Anisa memulai hidup baru diluar hiruk-pikuk Jawa yang tak pernah sepi. Namun nyatanya kehidupan di luar Jawa pun tidaklah mudah.Â