Mohon tunggu...
Pratama
Pratama Mohon Tunggu... Bankir - Economist

I'm just observing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seandainya Pandemi Tak Kunjung Usai

19 Juli 2021   14:18 Diperbarui: 19 Juli 2021   14:35 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kata "pandemi" dan "covid" sudah bergaung di telinga hampir 1,5 tahun. Kita dibuat tidak bosan bukan karena pandemi ini semakin menarik, melainkan semakin berbahaya dan semakin banyak menelan korban. Dahulu kita mendengar mereka yang meregang nyawa bukanlah orang yang kita kenal. Belakangan ini kabar duka justru semakin banyak berdatangan dari kerabat terdekat, teman, dan bahkan saudara sendiri. 

Mau merasa jenuh kok ya gak bisa. Mau cuek menganggap covid sudah hilang, tapi sirine ambulan masih sahut menyahut terdengar dari jendela. Terkadang saya berfikir apakah mungkin pandemi ini tidak akan hilang? Belum selesai satu varian, muncul lagi varian yang lain. Sesudah alpha, beta, delta, kapa, entah berapa banyak lagi yang akan muncul. Manusia dipaksa beradaptasi dengan berbagai skema kehidupan baru. Yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan? Bagaimana jika way of life manusia saat ini berjalan seterusnya?

Saya mencoba menebak-nebak bagaimana skenario kehidupan yang mungkin terjadi jika pandemi ini tidak akan hilang. Bagaimana kita akan hidup kedepannya selama masih diberikan nafas panjang.

1. Healthy Lifestyle

Manusia sudah sejak lama meninggalkan gaya hidup sehat yang banyak diajarkan leluhur kita dulu. Dari sisi makanan, industri kuliner yang berkembang pesat menggoda lidah untuk berpetualang mencicipi beragam rasa yang (kebanyakan) tidak menyehatkan badan. Gaya hidup masyarakat urban yang banyak beraktifitas di belakang meja pun membuat jasmani kurang leluasa bergerak sehingga stamina badan tidak optimal. Masa pandemi ini telah memaksa kita untuk kembali hidup sehat. Paling tidak membuat konsumi vitamin meningkat.  Bagi mereka yang lebih serius mulai merubah pola makan yang lebih bergizi dan rutin berolahraga. 

Ke depan produk kesehatan seperti vitamin, masker, hand sanitizer, maupun obat-obatan akan menjadi kebutuhan pokok. Sebaliknya penjualan rokok, makanan fast food, alkohol, bisa jadi akan menurun karena perubahan struktural demand di masyarakat. Akan ada industri yang diuntungkan dan dirugikan dalam perubahan situasi ini.  Semoga saja perubahan ini tidak memunculkan oknum-oknum yang menggerus untung secara tidak sehat. 

2. Vaksinasi Rutin

Terlepas dari kontroversi yang beredar di masyarakat, vaksin akan menjadi hal yang rutin kita peroleh. Jikalau virus selalu bermutasi setiap saat, maka pelindung di tubuh manusia harus selalu di "update" secara berkala. Saya memperkirakan kita akan memperoleh vaksin secara reguler seperti yang kita peroleh saat masih kecil dulu. 

Bagaimana dengan para anti-vaksin? Saya kira ke depan masyarakat akan semakin tercerdaskan dengan berbagai kasus kematian akibat virus. Mau tidak mau pola pikir denial yang saat ini masih ada terhadap vaksin, akan sendirinya menerima (atau dipaksa menerima) kalau vaksin ini ternyata bermanfaat. Atau bisa jadi, para anti-vaksin ini akan hilang secara  "natural"? 

3. Populasi yang Terdesentralisasi

Indonesia menempati urutan keempat negara dengan penduduk terbesar di dunia. Populasi negara kita menyumbang 3,5% populasi penduduk dunia. Selain itu kita juga memiliki pulau yang merupakan pulau terpadat penduduknya yaitu Jawa. Berkaca terhadap historis pandemi yang pernah merajalela selama ini, tingkat penularan sangat cepat terjadi antara human to human termasuk virus Covid-19. Fakta ini cukup menyebalkan bagi kita yang mayoritas penduduknya hidup di pulau Jawa. Kalau virus cepat menular antar manusia, maka mobilitas manusia harus dibatasi agar penularan dapat dikendalikan.

Berbicara soal pembatasan mobilitas rasanya sudah muak masyarakat dibuatnya. Bukan hanya perkara bosan, tapi juga perkara isi perut yang terancam tidak bisa makan apabila pergerakan dibatasi. Tidak bisa bergerak berarti tidak bisa bekerja, dan tidak bisa bekerja berarti tidak bisa makan. Sebagian dari kita yang masih beruntung dapat bekerja dari rumah tanpa pengurangan gaji, mungkin hanya dihadapkan dengan perkara kebosanan saja. Namun sayangnya, previlage itu tidak banyak diperoleh oleh sebagian besar penduduk  Indonesia.

Jikalau pandemi ini berlangsung dengan waktu yang sangat lama, untuk kasus ini pilihannya ada 2: beradaptasi dengan pekerjaan baru yang bisa dilakukan secara remote atau pindah ke tempat baru. Ada kemungkinan, meskipun possibility nya masih rendah saat ini, bahwa masyarakat di Jawa akan migrasi keluar pulau menuju kota yang lebih tidak padat penduduk. Mengapa? agar lebih aman dari penularan virus dan agar pergerakan fisik tak lagi terbatasi. Fenomena ini seperti halnya fenomena transmigrasi zaman orde baru dulu, namun dilakukan atas dasar paksaan pandemi bukan atas kebijakan pemerintah. 

Transmigrasi edisi pandemi ini mungkinkan terjadi karena dukungan jaringan internet yang memudahkan penduduk yang bisa bekerja dari rumah untuk tinggal dimana saja. Tempo hari ada tren "gaji Jakarta, biaya hidup  Jogja" bukan tidak mungkin akan meluas ke berbagai daerah lain. Tinggal bagaimana kita mau berkompromi dengan kehidupan ekonomi sosial yang tentu sangatlah berbeda jika dibandingkan hidup di Jawa.  

Apabila transmigrasi ini betul terjadi, saya kira dampak jangka panjangnya akan sangat baik untuk pemerataan pembangunan di Indonesia yang selama ini banyak terkonsentrasi di wilayah barat. Kepadatan penduduk yang lebih tersebar rata, dengan income yang lebih kompetitif melalui skema work from home, akan menjadi stimulus untuk mendorong perekonomian daerah.

4. Luxury Tourism

Sektor pariwisata menjadi sektor yang paling terpukul dengan adanya pandemi Covid-19. Disaat sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, industri manufaktur, dan keuangan mulai menunjukan arah pemulihan, sektor pariwisata sepertinya masih harus gigit jari. Sebabnya sudah jelas, karena produk jasa pariwisata tidak bisa digantikan secara virtual, sehingga pambatasan mobilitas berdampak sangat signifikan.

Kondisi ini tentu bukanlah hal baik bagi Indonesia yang sedang gencar-gencarnya menggalakkan pariwisata sebagai sumber pemasukan devisa. Destinasi pariwisata unggulan seperti Bali, Jogja, Lombok, Labuhan Bajo, terkena pukulan telak dan masih dalam fase recovery hingga saat ini. Industri penerbangan pun juga terkena imbasnya, dan bahkan salah satu maskapai penerbangan Indonesia tengah menghadapi kondisi finansial yang cukup serius akibat krisis pandemi. Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana pariwisata Indonesia jika pandemi ini tak kunjung usai?

Menarik (sekaligus miris) untuk melihat bagaimana industri pariwisata bertahan ditengah gejolak krisis kesehatan. Sejauh ini belum ada data statistik resmi yang menunjukan berapa banyak hotel yang tutup permanen, berapa jumlah pekerja yang dirumahkan, atau berapa pesawat yang dipaksa dijual untuk menutupi kerugian. Untuk mempertahankan bisnis, banyak hotel yang banting harga untuk menarik minat pengunjung berwisata. Sebagian hotel cukup beruntung mendapatkan pemasukan sebagai fasilitas isolasi pasien Covid-19. Namun perlu disadari, pemberian diskon besar-besaran tersebut tidak akan berlangsung seterusnya. Jikalau cashflow sudah tidak memungkinkan, harga jual harus dipasang ke tarif normal. 

Saat ini demand masyarakat untuk berwisata memang masih rendah, namun bisa jadi akan berangsur meningkat khususnya bagi masyarakat ekonomi kelas menengah-atas yang sudah jenuh akan karantiana. Ditengah supply industri pariwisata yang terbatas dan demand yang mungkin meningkat kedepannya, bukan tidak mungkin pariwisata akan menjadi barang mahal. Hal itu belum lagi didorong oleh meningkatnya biaya operasional untuk menjalankan protokol kesehatan dan berkurangnya tingkat okupansi fasilitas wisata guna mendukung penerapan physical distancing.

5. Berkurangnya Populasi Penduduk?

Meskipun terdengar obvious, sepertinya untuk yang terakhir ini masih perlu pendalaman dari data kependudukan yang akan tersedia kelak. Krisis kesehatan berdampak nyata terhadap kematian ribuan orang yang tidak terselamatkan. Sekilas memang sepertinya populasi penduduk dunia akan berkurang. Namun saya masih menunggu bagaimana dampak krisis pandemi ini berdampak pada jumlah kelahiran yang bisa jadi justru meningkat?

Seperti yang anda tahu, pandemi membuat masyarakat lebih banyak di rumah. Suami dan istri yang sehari-hari sibuk bekerja lebih banyak waktu untuk bertemu dari yang seharunya. Bukan tidak mungkin ini menjadi pemicu meningkatnya angka kehamilan bukan? Pembaca yang budiman pasti sudah mengerti maksud saya ini.

Itulah prediksi saya mengenai apa yang akan terjadi jika pandemi ini berkepanjangan. Bagaimana menurut anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun