Mohon tunggu...
Hanifatul Hijriati
Hanifatul Hijriati Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang suka menghayal

I am an ordinary girl who tries to be an undefeated girl

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bait Cinta di Tepi Bandara

22 Februari 2014   02:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semburat embun  yang membawa mendung di pagi hari tak lelahnya membawa kabar akan turun hujan. Meskipun sudah dua jam aku menanti hujan, hujan tampaknya masih enggan menyentuh tanah. Mendung tetap menggantung seraya menunggu kepastian kapan hujan bersedia menyambangi tanah. Semula aku berharap hujan dapat menjadwal ulang pertemuannya dengan tanah, namun melihat mendung yang terus bergantung dan penuh bimbang aku justru menginginkan hujan turun lebih cepat. Setengah jam lagi aku akan melangkahkan kakiku dan menyambut taksi yang telah kupesan. Samar-samar wajahnya terus tergambar di tiap awan hitam yang berarak. Menuju bandara kuharap hari ini lancar meskipun mendung masih bergelayut.  Harapan terbesarku pula, burung baja yang membawanya tak menunda jadwal terbangnya. Selama aku tak mendapat kabar penundaan keberangkatan seperti yang sudah-sudah aku bisa bernafas lega. Pertemuan kali ini berbeda dengan pertemuan yang sebelum sebelumnya. Pertemuan yang memiliki arti besar dalam hidupku, bukan lagi pertemuan tanpa kepastian. Taksi telah terparkir menantiku. Dengan berjuta langkah ringan aku menyambutnya dan berharap waktu bergegas cepat membawaku pergi menuju bandara.

Ia masih tampak seperti dulu. Tapi ada sedikit perbedaan. Ia lebih tampan. Udara segar dan bersih dari tiap tempat yang ia kunjungi membuat setiap lapisan kulit pada wajahnya lebih bersih. Senyuman khas yang terangkai dari bibir tipisnya takkan pernah luput dari pandanganku.  Gerak tubuhnya memerangkap setiap sudut pandangku untuk tak pernah sedikitpun melesat. Energi dan pikiranku terkumpul menjadi satu untuk tak pernah berhenti menatapnya, melihat setiap inchi perubahan pada dirinya. Dan satu kesimpulanku, ia lelaki tertampan yang pernah kutemui.

“Karenina”, sapanya lembut. Ia tak pernah memanggil nama pendekku dan selalu begitu. Aku menyukainya.

“Reksa”, aku menjawab sapanya dengan kegembiraan yang tak bisa kubendung.

Ia merengkuh tanganku segera dan mengayunkannya. Kami melangkah keluar bandara tanpa harus menunggu lama. Ia hanya membawa ransel di punggungnya tanpa ada bagasi lain yang ia bawa. Ah, mungkinkah akan ada perjalanan lain yang harus ia tempuh? Pikiranku berkelabat. Kumohon jangan dulu aku ingin bersamanya, hatiku berteriak.

“Kita makan yuk? Lama gak mencicipi makanan di kota ini.”, ajaknya selepas membawaku keluar bandara.

“Kamu gak capek?”, tanyaku.

“Berada di pesawat selama berjam-jam cukup membuatku istirahat. Kalaupun ada makanan di pesawat tapi gak membuatku kenyang”, jelasnya.

Mataku berbinar. Tak sabar aku menanti cerita-ceritanya dan terpenting rencana-rencananya ke depan bersamaku.

“Tapi sepagi ini….”.

“Itu ada warung soto yang buka.” Ia menunjuk ke arah sebuah warung soto kecil di pinggir jalan. Kami menghentikan taksi dan turun.

Masih seperti dulu, ia tak canggung untuk makan di warung pinggir jalan. Ia memesan soto khas kota ini yang kupikir ia masih sangat menyukainya.

“Bagaimana kabarmu?”, aku memulai pembicaraan.

“Semuanya begitu menyenangkan.” Ia menyeruput teh hangat yang telah tersedia. Kubiarkan ia menikmati hangatnya suasana pagi hari dipayungi awan mendung yang terus berarak. Ia pasti akan memulai ceritanya dengan letupan-letupan kepuasan tak terhingga yang dapat kulihat di kedua matanya.

“Kau tahu, March, temanku insinyur dari Jerman, bersedia memberikan bantuannya untuk pendirian sekolah di sini.” Ia memulai ceritanya kembali tentang perencanaannya untuk mendirikan sekolah berbasis sience dan teknologi di kota ini. Menurutnya kemajuan teknologi di negeri ini masih sangat tertinggal jika dibanding negeri-negeri yang ia kunjungi dengan hamparan kemajuan teknologi yang tak terukur.

“Masih ingat Danang kan? Dia sekarang di Kemendikbud, posisinya  di Direktorat Jenderal, dia sudah oke untuk mengurus pendaftaran pendirian sekolah. Juka ada Hanung yang sekarang di Sekretariat Negara. Jadi untuk masalah birokrasi dengan pemerintah sudah tidak ada masalah. Pendanaan juga sudah ada yang handle.” Terangnya.

Aku masih mendengarkannya dengan seksama. Rencana-rencanaya dengan mimpi-mimpi besarnya. Ia menyebut semua nama-nama teman SMA yang telah menduduki posisi penting untuk memuluskan mimpinya. Mimpi besarnya untuk mendirikan sekolah dan lembaga riset hampir menjadi nyata. Proyek-proyek penciptaan teknologi baru merangkulnya dengan seorang bos besar pemilik perusahaan mobil ternama di Perancis. Tak lupa ia menceritakan indahnya musim semi di Eropa. Bunga-bunga di Amsterdam, menara Eiffel di Paris. Mimpi besarnya yang telah merekatkan hampir seluruh nadiku untuk dapat terus berharap bersamanya. Aku menyukainya karena ia memiliki mimpi besar untuk berbuat banyak. Ketika ia terus bercerita, pikiranku melayang menuju indahnya benua di luar sana yang baru bisa kulihat melalui televisi. Namun bukan kecanggihan robot-robotnya atau mobil listriknya akan tetapi ia yang menyambutku dengan mawar  musim semi di Eropa. Kemudian ia akan merangkulku menuju rumah impian di atas bukit yang dikelilingi pepohonan dan bunga-bunga musim semi. Bayangan itu semakin dekat ketika aku menatap wajahnya. Cukup Reksa, saatnya mmebicarakan antara aku dan kau, hentak hatiku seketika.

“Reksa, aku ingin memberimu sesuatu.” Kumanfaatkan jeda setelah ia bercerita. Segera aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku.

“Apa ini?,” tanyanya penasaran.
“Bukalah!,” pintaku.

“Kumpulan puisi cinta.” Ia menatapku dengan pandangan penuh heran.

“Ya, itu puisi-puisiku yang dimuat di beberapa media dan yang memenangkan lomba,” terangku penuh semangat.

“Wah, hebat, aku baru tahu kau pandai membuat puisi cinta.” Baru tahu? Yah, apa yang kau tahu tentang diriku setelah sekian lama bersamaku?, sergah hatiku. Padahal, setiap inci dari dirinya tak pernah ada yang luput dari pengetahuanku.

“Aku baca nanti ya..,” ia meletakkan bukuku di samping mangkuk sotonya yang tertinggal kuahnya saja. Ia masih menyeruput teh hangat yang masih tersisa setengah gelas. Setiap tegukan tampak ia begitu menikmatinya. Kuharap pula ia akan segera bergegas membahas tentang mimpi-mimpinya denganku. Tentu pula puisi cintaku memiliki arti bagiku agar ia mengacuhkan pikiranku .

Hingga ia meneguk habis kuah soto, bukuku belum disentuhnya lagi. Hatiku semakin bimbang. Di manakah ia menempatkan diriku? Atau baginya robot-robot jenius hasil ciptaannya memiliki posisi yang lebih penting dariku?.

“Oya aku juga merasakan musim dingin yang luar biasa ketika di Swedia,” ia membuka pembicaraan lagi. Namun, entah mengapa, sejak saat itu aku tidak ingin mendengarkan ceritanya lagi. Hujan mulai turun cukup deras. Aku mulai mengalihkan pandanganku menuju lalu lalang orang dan kendaraan di jalan raya. Tak kudengarkan lagi ia bercerita. Suaranya berubah menjadi serbuan angin kencang yang mengantarkan hujan ke setiap sudut tempat. Pepohonanpun tunduk pada seruan angin untuk mengikuti arusnya. Para pengendara motor tampak mencari tempat berteduh di teras-teras pertokoan yang belum sempat buka. Orang-orang berlarian menggunakan mantelnya. Beberapa anak-anak kecil dengan seragam sekolah berlarian kegirangan. Mungkin bagi mereka hujan adalah seruan untuk bermain. Air adalah gema permainan yang menuntaskan gairah kekanak-kanakan mereka. Tak peduli serbuan hawa dingin menusuk kulit mereka. Luapan kegembiraan layaknya menyambut tamu agung menyalakan sumbu-sumbu kehangatan melalui gerak langkah kaki, tangan dan tubuh mereka. Mereka seolah tak mempedulikan hembusan angin yang meracau di sekeliling mereka. Seperti aku yang masih terduduk lesu di meja makan warung soto pinggir jalan bersama racauan suara yang semakin aku tak ingin mendengar. Hujan di akhir Januari menemani kesenduanku pagi itu.

Honey, what are you doing there?,” seru suamiku, Stephen dari arah belakang rumah.

Aku menemukan kembali buku kumpulan puisi cintaku di dalam kardus buku-bukuku saat aku mengemasi seluruh barangku ke rumah yang baru kuhuni bersama suamiku. Lamunanku sejenak mengenang semua tentangnya. Impian yang kubangun agar aku dapat bersamanya. Aku menyadari bahwa bait-bait cinta pada puisiku tak mampu menggubah keheningan hatinya agar menyala dan merengkuhku. Barisan kata-kata indahku tak bisa menjadikan kobaran energi untuk menghidupkan robot-robot cerdas yang ingin ia ciptakan. Deretan kalimat penuh arti dariku mustahil membangkitkan daya  untuk menghidupkan mobil listrik karya kreatifnya. Aku bergegas menutup bukuku sebelum suamiku menghampiriku. Tapi terlambat.

Stephen menatapku memeluk buku yang sempat menyimpan kenangan tak terduga. Ia tersenyum hangat. Tersisip gurat kecil di sekeliling bibirnya yang tipis menunjukkan ketulusan senyumannya. Mata biru kecoklatannya yang selalu teduh membuatku tak mampu menyimpan rahasia apapun di hadapannya.

It’s your incredible work honey! Just keep it,” ujarnya tulus.

Stephen mengajakku menuju rumah bagian belakang yaitu galeri lukisannya. Ia memintaku untuk menata lukisan-lukisannya dan menempatkannya di setiap sudut yang sesuai dengan jenis lukisan yang ia buat. Ia sangat terisnpirasi dengan Bali. Hampir semua lukisannya menggambarkan keindahan Bali. Beberapa yang lain adalah sketsa gambar berbagai bangunan unik di beberapa tempat. Paling banyak ialah Sydney, kota di mana aku tinggali saat ini. Aku tersentak pada sebuah gambar di kanvas terletak di pojok ruang. Sebuah bandar udara di kotaku. Sketsa itu menggambar setiap detail bangunan. Di bandar udara itulah pertama kali aku bertemu Stephen. Tepat beberapa saat aku melepas kepergian Reksa tanpa pernah berharap ia kembali padaku. Proyek besar yang melibatkannya di Eropa bersama rekan-rekannya tidak memberikan kepastian apapun kapan ia menyelesaikan proyek itu.  Begitu juga hubunganku. Aku memilih mundur dan pergi sejauh mungkin dari ingatan kebersamaanku dengannya. Dengan deru nafas yang tersengal aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar bandara. Beberapa saat wajah Stephen tiba-tiba muncul di hadapanku.

I am sorry. Would you like to show me where the gate is?,” tanyanya dalam bahasa Inggris.

Sure,” aku menjawab dengan spontan. Kami melangkah bersama. Setelah itu baru kuketahui ia baru datang dari Bali dan ingin singgah sebentar di kotaku. Kemudian kuketahui pula profesinya sebagai pelukis profesional.

Aku sangat menghargai usaha keras Stephen untuk mempelajari bahasaku. Tanpa sengaja bait-bait puisi cintaku sampai kepadanya. Ia membaca seluruh isi bukuku dengan bantuan kamus. Lalu dengan selembar kertas kecil ia menuliskan padaku. ‘Bait-bait cintamu telah menghanyutkan aku ke dalam samudra hati dan aku tidak ingin meneruskannya lagi, aku cuma mau bilang will you marry me?’. Aku tersenyum geli membacanya. Aku tak peduli darimana ia memperoleh kata-kata itu atau dari mana ia mempelajarinya, namun hal terpenting bagiku rangkaian kata-kata dalam puisiku telah menggubahnya untuk memahami bahasaku dengan cara yang sangat sederhana. Aku pun ingin menghentikan semuanya dengan cukup mengakatan aku mencintainya dengan tulus.

Stephen terpaku menatapku. Akupun begitu. Tak kusangka setiap detail tempat pertemuanku yang menurutku sangat tidak terduga memiliki arti yang begitu mendalam baginya. Aku terus memperhatikan sketsa bandar udara itu. Sangat kukenal dan begitu akrab.

Where will we put it?,” tanyanya meminta persetujuanku.

“In our room,” jawabku pasti. Stephen mengangguk tanda setuju. Aku melihat binar kebiruan yang begitu jelas dari matanya. Tak mungkin aku mampu menyembunyikan apapun darinya karena begitu jelas ia mampu menyentuh bahasa hatiku. Stephen memiliki mimpi besar untuk membangun rumah di Ubud dan terus berkarya dengan lukisan dan sketsa-sketsanya hingga memeberikan kontribusi pada nilai seni yang tinggi. Begitu juga aku. Memiliki rumah di perbukitan yang dikelilingi pemandangan hijau dan aku dapat terus menuliskan bait-bait cintaku seraya bersenandung dengan nyanyian alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun