Tradisi adalah adat istiadat, konsep, serta aturan yang terintegrasi kuat dalam sistem budaya pada suatu kebudayaan yang menata tindakan dari manusia dalam bidang sosial dan budaya (Koentjaraningrat, 1984:187).Â
Tradisi mengandung unsur kebiasaan dan nilai yang dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan pembelajaran. Biasanya bersifat turun menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai-nilai yang diturunkan merupakan nilai yang dianggap masih relevan dengan suatu kelompok masyarakat tersebut.
Masyarakat Jawa sangat identik dengan berbagai macam upacara selamatan. Salah satu tradisi yang sampai saat ini masih dipertahankan masyarakat Jawa adalah tradisi nyadran. Tradisi ini merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kata nyadran berasal dari Bahasa Sansekerta yaiu Sraddha yang artinya keyakinan.Â
Nyadran dilakukan setiap menjelang puasa Ramadhan yaitu pada tanggal 15, 20, atau 23 Ruwah. Tradisi nyadran memiliki makna dan nilai yang tinggi bagi kehidupan masyarakat dan budaya bangsa Indonesia khususnya di daerah Solo, Yogyakarta, dan sekitarnya. Begitu pula tradisi nyadran adalah salah satu tradisi yang masih melekat kuat pada masyarakat Jurangjero, Karanganom, Klaten.Â
Masyarakat Jurangjero rutin melaksanakan tradisi nyadran setuap tanggal 20 Ruwah atau tanggal jawa pada tiap tahunnya. Nyadran di Jurangjero dilaksanakan di dua tempat yang berbeda yaitu pada malam 20 Ruwah dilaksanakan di masjid dan di hari berikutnya dilaksanakan di makam Mbah Jurang yang merupakan cikal bakal di Jurangjero. Nyadran di Jurangjero diikuti oleh beberapa generasi mulai dari anak-anak hingga orang tua.
Sebelum dilaksanakan tradisi nyadran, pelaksana mengadakan rapat terlebih dahulu untuk membahas susunan panitia dan dana yang dibutuhkan. Kemudian sebelum hari pelaksanaan tradisi nyadran tiba, masyarakat melakukan gotong royong untuk persiapan sarana prasarana konsumsi dan membersihkan makam serta masjid yang akan digunakan untuk melakukan nyadran.Â
Dalam persiapan ini warga memberikan sedekah berupa snack, nasi bungkus, gula, dan teh. Sedekah tersebut tidak harus bewujud makanan tetapi juga tenaga dan pikiran. Selain itu, terdapat pula sedekah khusus sebagai konsep budaya Mbah Jurang yaitu menu jadah garang tape tambang.
Selanjutnya, pada malam 20 Ruwah dilakukan kegiatan nyadran di masjid Al Fajar Jurangjero yang diselenggarakan oleh takmir masjid. Dalam kegiatan ini masyarakat megadakan doa tahlil, yasin, dan tausiyah. Setelah selesai nyadran di masjid, keesokan harinya dilaksanakan nyadran  di makam Mbah Jurang yang diselenggarakan oleh RT. Prosesi nyadran di makam Mbah Jurang hamper sama dengan  nyadran yang dilakukan di masjid yaitu doa tahlil dan yasin. Hal yang membedakan adalah nyadran di makam terdapat pengajian dan penampilan rebana dari muda mudi.
Masyarakat yang melakukan tradisi nyadran memaknai membersihkan makam merupakan simbol pembersihan diri menjelan bulan suci Ramadhan. Nyadran juga mengingatkan akan kematian dan terus berbuat kebaikan. Bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, nyadran juga dilakukan untuk mendoakan roh leluhur dan pendahulu.
Dari fenomena yang diatas dapat dikaitkan dengan Teori Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Dalam teori ini Berger dan Luckmann (Samuel, 2012) menjelaskan bahwa realitas merupakan ciptaan  manusia yang dilakukan melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial. Berger dan Luckmann menyatakan beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann. Asumsi-asumsi tersebut adalah :
- Â Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
- Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempa pemikiran itu timbul bersifat berkembang dan dilembagakan.
- Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus-menerus.
- Membedakan antara realitas dengan pengetahuan.
Dari keempat point pemikiran Berger dan Luckmann itu, jika dikaitkan dengan tradisi Nyadran bahwa pada dasarnya apa yang diyakini oleh masyarakat berasal dari konstruksi pemikiran masyarakat terhadap realitas sosial yang terjadi. Masyarakat Jurangjero beranggapan bahwa nyadran merupakan tradisi yang harus dilakukan berasal dari nenek moyang terdahulu.Â