Tanpa demonstrasi di jalan, hanya dialog dengan pihak berwenang, anak-anak satu kelas di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Solo Raya meminta agar pihak sekolah mengganti guru pengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Kami mendengar secara langsung keluh kesah siswa kelas tersebut.
Mereka berpendapat bahwa kelas tidak diselenggarakan dengan semestinya. Mereka masih belum sepenuhnya memahami materi saat ujian dilaksanakan. Sayangnya, pelaksanaan ujian bisa dilakukan hampir pada setiap pertemuan. Sebagai gambaran, kelas dimulai dengan mengerjakan soal ujian. Kemudian nilai standar norma kelas rendah, guru marah-marah, dan mengadakan ulang ujian yang lalu.Â
Ini terdengar seperti sebuah lingkaran setan tanpa henti. Kita boleh menduga bahwa tujuan guru tersebut adalah melatih siswa mengerjakan soal guna persiapan Ujian Nasional.
Ujian Nasional boleh dibilang merupakan hal penting bagi sekolah. Sebagai alat ukur standar nasional, Ujian Nasional seolah menjadi ajang adu gengsi bagi tiap-tiap sekolah pada suatu wilayah tertentu. Jumlah lulusan dan nilai rata-rata nilai ujian bisa menjadi perhiasan sebagai penentu kelas bagi pihak sekolah. Pun setelah ujian nasional tidak lagi menjadi perhiasan primadona setelah pelbagai evaluasi dan keputusan tingkat nasional menyoal status Ujian Nasional.Â
Lingkaran ini akan terus menghadirkan primadona-primadona lain, diantaranya adalah angka siswa yang diterima oleh perguruan tinggi melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), maupun jenis ujian masuk perguruan tinggi negeri lain termasuk sekolah ikatan dinas milik instansi pemerintahan. Hal ini membuat sekolah menjadi sosialita di bidang akademis.
Hal tersebut bukanlah hal yang ramah untuk para siswa. Seolah, siswa dieksploitasi untuk memenuhi hasrat sosial sekolah tanpa memperhatikan kebutuhan dan kemampuan siswa; tidak ada negosiasi di kelas; kelas menjadi tak berarti melainkan---meminjam istilah Paulo Freire---hanya menjadi sebuah bank tempat depositor dan depositoris bertransaksi.
Sebagai sebuah gambaran tentang bagaimana kurikulum (terutama pendidikan bahasa) semestinya dibangun, kita bisa menengok Macalister dan Nation (2010). Pembuatan kurikulum harus mampu melihat kebutuhan, keadaan lingkungan, dengan tetap memegang prinsip-prinsip kerja pendidikan. Setelah itu, barulah kita dapat menyusun pembagian materi dan alokasi waktu, format penyajian dalam kelas, serta pengukuran dan langkah memonitor. Sehingga kita dapat mencapai tujuan dengan tetap terus melakukan evaluasi.
Dari gambaran tersebut, kita bisa membayangkan bahwa ujian merupakan salah satu bagian dalam pengadaan kelas. Ia merupakan bagian dari proses pengukuran dan monitor yang mana bukanlah akhir dari kelas, melainkan salah satu bagian proses untuk menuju tujuan kelas. Menjadikan ujian sebagai dominasi kelas---jika tidak dibilang sebagai satu-satunya---merupakan sebuah cacat praktik dalam pengadaan kelas.Â
Guru harus mau menyadari hal ini dan kembali melihat beberapa prinsip-prinsip kerja yang sehat. Sebagai salah satu bagian kecil, ujian pun harus mampu menjadi alat analisis kebutuhan dan keadaan yang sedang dan terus berlangsung. Selain itu, proses asesmen dan monitor harus mampu memberi timbal balik yang berarti dan membantu, sehingga mereka mampu untuk berkembang.
Guru wajib memahami seluruh hal-hal esensial yang sudah disebutkan di atas. Dengan begitu, selain nantinya ia mampu untuk membayangkan format dan cara penyajian kelas sekaligus praktiknya, ia juga mampu untuk membayangkan arah tujuan kelas.
Sebagai contoh kasus yang terjadi di SMK, guru harus mampu memahami arah kelas. Pada awal wacananya, SMK hadir guna memenuhi kebutuhan industri yang beraneka ragam. Tujuan tiap kelas pun menjadi unik dan spesifik. Itulah yang menjadi tantangan bagaimana kelas di SMK harus diselenggarakan.Â