Seingatku, aku dan kamu sudah sepakat mendayung perahu. Lalu sekejap jadi aneh, aku dan kamu malah beradu punggung. Bagaimana bisa melaju? Perahu cuma diam di lautan.
Setelah kejadian itu, aku dan kamu sepakat untuk membelah perahu. Daripada sama sekali tak melaju. Aku mengayunkan kapak, kamu menangis terisak.
Perahu sudah terbelah. Anehnya, perahu belum juga karam. Aku melaju ke timur, kamu ke barat.
Jarak aku dan kamu makin jauh, dan dari kejauhan aku menatap mentari mengambang di lautan. Kamu dan perahu menghitam, tiada beda siluet dengan bayangan.
Perahu belum juga karam.
Sesaat kemudian aku tercengang. Ada empat biji dayung dalam perahuku. Sejak kapan kamu meninggalkan dayung dalam perahu ini? Lantas kamu melaju dengan apa? Apa kamu tidak tahu kalau mentari akan membakar perahu dan kamu? Harusnya dayung ini yang membelokkan perahu.
Aku tak mungkin menangisi kejadian ini. Begitu juga kamu. Air mata hanya akan membuat karam perahuku dan -mu.
Aku lihat kamu sudah menghilang. Mungkinkah kamu karam? Sementara aku sudah berciuman dengan daratan.
Lagi-lagi aku menahan air mata. Aku tak ingin daratan ini tenggelam.
Beburung baru saja mengabarkan, kamu hidup hanya perahu yang karam. Aku tak perlu melempar dayung ke lautan karena sebenarnya kamu sedang berenang menuju daratan ini.
Air kelapa yang aku teguk tak akan aku habiskan sebelum kamu merangkul daratan. Lekas minum bersama dengan bibir-bibir asin saling bersentuhan.
Setelah itu aku dan kamu menumpahkan air mata dan air kata sepuas-puasnya. Sebelum aku, kamu, dan perahu pelan-pelan karam.
Sleman, 21 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H