Mohon tunggu...
Hanif Alwasi
Hanif Alwasi Mohon Tunggu... -

(Masih) aktif di Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia sebagai redaktur artistik. Selain itu, tercatat sebagai anggota perguruan Pencak Silat Merpati Putih.\r\n\r\nSering bercinta dengan senggang sehingga melahirkan puisi.\r\n\r\nPengasuh di blog sendiri, lengkunghanif.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Wanita yang Turun di Pertigaan Pabrik Gula

13 Oktober 2014   17:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:12 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_366148" align="aligncenter" width="512" caption="Ilustrasi/Kompasiana (KAMPRET/Gilang Rahmawati)"][/caption]

Dalam Bis Jogja-Solo aku duduk di jok yang berjumlah dua, entah di baris ke berapa. Tiga baris depanku di jok berjumlah tiga, duduk dengan lembut wanita berkaos kuning. Rambutnya kuncir kuda, ujung-ujungnya coklat. Dia duduk memeluk tas biru. Kaosnya dimasukkan, dikencangkan dengan sabuk yang melingkari celana jeans-nya. Rapi.

Seperti itu pula aku berpenampilan. Kaos aku masukkan, tak lupa aku melingkarkan sabuk pada celana. Tak jarang aku tampil seperti ini sampai komentar turut terlontar dari orang-orang. Mungkin penampilan seperti itu terlihat konyol atau culun. Tapi, aku pikir itu mendidik untuk berani tampil beda. Intinya, aku dan dia tidak janji untuk janji berpenampilan serupa.

Mungkin masih bisa disebut beruntung saat mataku mengendus wajahnya, walau cuma tiga per empat bagian, walau hanya sekali. Seterusnya selama perjalanan tatapannya hanya ke depan.

Mempesona.

Dalam bis selalu ada yang mengasong suara. Bisa tua, muda, pria, wanita, bahkan yang punya kelamin keduanya.

Wanita itu begitu derma. Dua kali pengasong suara yang memainkan kencrung, diberinya uang kertas. Sementara aku cuma uang logam. Sempat aku ragu, wanita seperti dia tak kan rela membagi uang. Siapa bapak dan ibunya?

Lampu merah di pertigaan dekat pabrik gula terpaksa menghentikan semua laju kendaraan. Terpaksa pula aku dicela perpisahan. Wanita itu bergegas menenteng tas kresek ungu, menurunkan kakinya mencium aspal. Perpisahan aku dan dia berjarak kaca dan bahu jalan. Lampu hijau aku nilai kecam. Aku terpaksa menyeret mataku yang tak lelah membuntutinya, yang mungkin menuju istirahat siangnya. Roda-roda mau tak mau harus membawaku menuju Tirtonardi.

Dalam imajinasi yang paling gila, bila wanita itu membaca sepasukan kata ini, aku ingin bertemu di depan toko bakpia di Jalan Solo, Maguwo. Cukup lima belas menit berdiri menunggu bis. Mungkin sembari menunggu kami berbicara tentang apa saja, kecuali keributan politik yang diributkan orang-orang yang tak paham politik di media sosial. Lalu tangan kami melambai menghentikan bis lalu masuk lewat pintu belakang. Terserah di baris berapa kami duduk, yang jelas harus jok berjumlah dua. Entah berapa lama pengasong suara datang ketika kami asik bertutur kisah, pastinya kami telah bertukar uang. Aku kertas, dia logam. Berlaku untuk pengasong suara selanjutnya, sebelum dia turun di pertigaan pabrik gula, lalu aku melaju menuju Tirtonardi menerus ke Purwodadi.

Mungkin wanita itu melambaikan tangan.

(Purwodadi, 9 Oktober 2014)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun