Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

IKN Twin Cities, Terlihat Manis atau Miris?

14 November 2024   08:41 Diperbarui: 14 November 2024   08:51 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

IKN Twin Cities, Terlihat Manis atau Miris?

Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag

Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI), mengusulkan konsep Twin Cities, kota kembar atau ibu kota kembar. Usulan ini dikemukakan karena ada dua faktor, yakni belum adanya kejelasan kabar mengenai Keputusan presiden (Keppres) terkait pemindahan Ibu Kota Negara ke Nusantara dalam waktu cepat dan terkait kecukupan anggaran Pembangunan IKN saat ini.

Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono menyatakan dalam beberapa tahun ke depan sebenarnya Jakarta masih menjadi Ibu Kota Negara. Sementara posisi IKN masih berstatus sebagai kota tertentu. Bambang tidak menjelaskan apa yang dimaksud sebagai kota tertentu. Bambang menyetujui usulan ASPI karena yang dimaksud twin cities adalah kota yang menjalankan fungsi hampir bersamaan.

Bambang mencontohkan negara yang menerapkan konsep twin cities adalah Korea Selatan dengan ibu kota Seoul dan ibu kota keduanya, Sejong. Begitu pun Malaysia dengan Putra Jaya dan Kuala Lumpur.

"Konsep ibu kota kembar memperlihatkan satu kota akan berfungsi sebagai ibu kota secara resmi atau de jure, sedangkan kota lainnya menjalankan peran tersebut secara tidak resmi atau de facto. Jakarta bisa tetap berfungsi sebagai ibu kota, de jure dan IKN sebagai ibu kota de facto." kata Adiwan Fahlan Aritonang (Ketua ASPI).

Jokowi pun berpesan kepada Prabowo agar semua kegiatan-kegiatan besar kenegaraan bisa dilakukan di IKN karena di IKN sudah terbentuk kawasan pusat pemerintahan yang siap digunakan.

Terlihat Manis atau Miris? 

Sejatinya, kebijakan pembangunan IKN sejak awal terkesan dipaksakan dan tanpa dukungan dana yang memadai. Buktinya Jokowi pernah memberikan hak guna usaha (HGU) di lahan IKN hingga mencapai 190 tahun dalam dua siklus yang bertujuan untuk menarik investasi sebesar-besarnya. Investasi ini diperlukan karena APBN hanya digunakan untuk p. pembangunan kawasan inti pemerintahan. Sedangkan infrastruktur lainnya, Jokowi berharap kepada investor baik dalam dan luar negeri.

Tampak nyata bukan bahwa pembebanan dana untuk IKN ini belum memadai. Alhasil pemerintah harus mencari tambahan dana melalui para investor. Padahal, jika IKN didanai oleh investor, maka hal ini akan menjadi jalan penjajahan oligarki terhadap penguasaan lahan rakyat di IKN dan sekitarnya. Inilah bentuk penjajahan baru yang jarang kita sadari. 

Belum lagi tentang fakta proyek IKN yang membebani APBN, telah menembus angka 89 triliun. Sungguh dana yang fantastis! Bagaimana dana ini jika dialokasikan untuk memberantas 26 juta rakyat miskin? Tentu lebih dari cukup dan rakyat akan sejahtera.

Namun sayangnya, pemerintah nampak pro kepada oligarki yang menguasai IKN dengan berbagai proyeknya. Proyek-proyek pengusaha seperti adanya rumah sakit dan perumahan yang telah dibangun di IKN, sejatinya bukan untuk rakyat sekitar melainkan untuk warga luar negeri yang bermigrasi ke IKN. Pola pikir pengusaha pastinya mencari keuntungan. Tak heran jika proyek yang dibangun tentu berorientasi mencari keuntungan.

Alhasil wacana twin cities ini hanya bentuk kedok penguasa dalam menutupi kelemahan dan ketidaksiapan pemindahan IKN. Terlihat manis namun sejatinya miris. Harusnya jika sejak awal pemerintah setuju akan proyek IKN, maka pemerintah harus siap menanggung seluruh resikonya. Jika tak siap, maka tak perlu diadakan bahkan sampai mengusulkan twin cities. Hal ini akan dilihat bahwa Pembangunan IKN terkesan dipaksakan dan terburu-buru.

Pemindahan IKN ke Kaltim, sejatinya juga menegaskan bahwa negeri ini semakin dicengkeram oleh sistem kapitalisme sekuler liberar yang mensicayakan hajat hidup rakyat yaitu SDAE, dikuasai oleh oligarki. Dalam sistem kapitalis sekuler, rakyat hanya dianggap sebagai objek yang berfungsi memperkaya APBN beserta jajaran pemerintah. Sementara kekayaan alam yang jumlahnya berlimpah, malah diserahkan secara sukarela oleh negara kepada pengusaha swasta dan asing. Ini jelas akan membawa banyak dampak keburukan bagi rakyat.

Oleh karenanya, rakyat mesti sadar bahwa proyek IKN ini sejatinya tak pernah membawa kemaslahatan yang berarti untuk rakyat. Yang ada, pemerintah hanya sibuk menghambur-hamburkan untuk proyek yang tidak jelas ujungnya, sementara rakyat terus dirugikan dengan dampak-dampak buruk adanya IKN seperti kondisi jalan yang rusak, sulitnya mengakses air bersih, konflik agraria dan sebagainya. Lantas, untuk siapa sebenarnya proyek IKN ini? Bagaimana Islam memandang IKN?

Pemindahan IKN dalam Islam

Islam memandang bahwa pemindahan IKN adalah mubah (boleh) selama pemindahan tersebut membawa kemaslahatan untuk rakyat. Namun jika pemindahan IKN justru malah menyebabkan kerusakan lingkungan dan pemborosan harta negara yang berakibat pada kesejahteraan rakyat, maka pemindahan IKN jelas terlarang. Hal ini didasari oleh sistem politik Islam yang asasnya adalah mengurusi urusan ummat.

Pemindahan IKN juga tidak boleh melibatkan investor asing karena berpotensi mengancam kedaulatan negeri. Jika IKN dikuasai oleh investor, maka dampaknya kebijakan negara akan mudah disetir oleh pemerintah dan rakyat akan terusir dari wilayahnya karena sebagian besar lahan akan dikuasai investor untuk mengembangkan proyek-proyeknya. Tentu ini semakin menegaskan dugaan bahwa IKN sejatinya bukan untuk rakyat melainkan untuk oligarki dan kroni-kroninya.

Dalam sejarah peradaban Islam masa kekhilafahan Abbasiyah, Ibu Kota sempat berpindah-pindah. Pada awalnya Ibu Kota terletak di Damaskus selama 90 tahun lalu berpindah ke Baghdad karena Baghdad adalah lokasi yang strategis dilalui jalur perdagangan antar bangsa Arab.

Pemindahan Ibu Kota dalam Islam tentunya berorientasi pada kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat sehingga tidak akan menghambur-hamburkan harta negara, tidak bergantung kepada investor melainkan pada pos-pos pendapatan negara seperti pengelolaan SDAE, harta rampasan perang, kharaj dan sebagainya, dan pembangunan infrastruktur yang merata.

Oleh karenanya, umat Islam harus sadar akan indahnya sistem politik Islam yang nyata-nyata membawa kesejahteraan untuk rakyat. Pemindahan IKN yang tak berlandaskan aqidah Islam jelas membawa kerugian bagi rakyat. Sementara dalam Islam pemindahan IKN membawa kesejahteraan yang telah tercatat dalam sejarah peradaban Islam. 

Jadi, masihkah kita berharap terhadap sistem demokrasi yang menyengsarakan rakyat dibanding sistem Islam yang menyejahterakan rakyat? Tunggu apa lagi, mari satu kan langkah dengan mendakwahkan Islam kaffah agar sistem Islam segera tegak sebagai konsekuensi syahadat kita. 

Allah Taala berfirman "Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas." (TQS Al-Kahf ayat 28). Wallahu 'alam bis shawab.

Sumber: Lintas Jejaring.com 24 Oktober 2024 (https://lintasjejaring.com/2024/10/24/ikn-twin-cities-terlihat-manis-atau-miris/)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun