Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Uang Kuliah Tinggi, Mahasiswa Gigit Jari

23 Juni 2024   20:57 Diperbarui: 23 Juni 2024   20:58 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Uang Kuliah Tinggi, Mahasiswa Gigit Jari

Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag

"Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia." Inilah bunyi dari pasal 28C Ayat 1 dalam UUD 1945.

Lihatlah bagaimana kebutuhan akan pendidikan telah dijamin dalam UUD yang sampai hari ini masih menjadi pedoman dalam aturan negara. Namun bagaimana jadinya jika pendidikan hari ini justru berbiaya tinggi hingga menyebabkan sebagian depresi?

Inilah yang menjadi perbincangan hangat beberapa hari ini di kalangan mahasiswa. Kenaikan biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) di beberapa PTN (Perguruan Tinggi Negeri) top Indonesia telah membuat resah diantara mahasiswa. Tidak hanya kenaikan UKT yang membuat resah, Kemendikbudristek juga telah merilis adanya IPI (Iuran Pengembangan Institusi) atau uang pangkal yang pengelolaannya diserahkan kepada masing-masing kampus. Tentunya IPI digunakan untuk membangun sarana dan prasana kampus

Kenaikan UKT ini kemudian direspon oleh sebagian besar mahasiswa di seluruh PTN Indonesia dengan mengadakan berbagai aksi atau demo yang berujung ricuh. Berbagai sindiran dan slogan pun muncul seperti "orang miskin dilarang kuliah", "UKT Melejit, Ortu Menjerit", "Tolak Komersialisasi Pendidikan", dan sebagainya. Intinya semua sindiran yang disuarakan oleh para mahasiswa bertujuan agar kebijakan-kebijakan tentang pendidikan tidak mengkhianati amanat UUD yang semestinya menjamin setiap rakyat bisa mengakses pendidikan.

Oleh sebab itu, karena desakan yang besar dari mahasiswa yang bergerak secara serentak di sebagaian besar PTN, Kemendikbudristek pun membatalkan kenaikan UKT dan IPI di tahun ini (tahun ajaran 2024/2025). Melalui siaran persnya, Kemendikbudristek menyatakan "Keputusan ini (pembatalan kenaikan UKT), menunjukkan bahwa kami senantiasa mendengarkan aspirasi masyarakat dan selalu menindaklanjutinya secara serius. Kami berkomitmen menyelenggarakan kebijakan pendidikan tinggi yang berkeadilan dan inklusif, serta memastikan agar tidak ada anak Indonesia yang mengubur mimpinya berkuliah di perguruan tinggi negeri karena terkendala finansial."

Mahasiswa Gigit Jari?

Walaupun aksi protes mahasiswa dalam merespon kenaikan UKT telah mendapat titik terang yaitu kenaikannya yang ditunda tahun ini, namun mahasiswa tidak serta-merta bisa tenang. Karena kabarnya Kemendikbudristek hanya menunda kenaikannya di tahun ini. Tidak ada yang bisa menjamin Kemendikbudristek tidak menaikkan UKT di tahun depan.

Anehnya, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengaku telah mengerti kekhawatiran mahasiswa serta mencemaskan kenaikan tersebut hingga memutuskan untuk "menunda" kenaikan UKT di tahun ini. Pernyataan Nadiem tersebut pun menjadi sorotan Akademisi Universitas Mulawarman Kalimantan Timur, Purwadi. Menurut Purwadi, Kemendikbudristek layaknya seperti pemadam yang ketika ada api, maka baru datang menyemprot.

Penolakan yang masif dari berbagai kalangan telah membuat pemerintah menarik ide kenaikan UKT tersebut. Purwadi pun menilai, Pemerintah seringkali mengeluarkan kebijakan coba-coba. Ketika sudah ribut di kalangan masyarakat, pemerintah buru-buru mengevaluasi kebijakannya.

Oleh sebab itu, Purwadi mengatakan bahwa kebijakan coba-coba ini hanya akan merusak nasib masa depan generasi dan akan merusak citra Indonesia Emas menjadi Indonesia Cemas. Purwadi pun menekankan bahwa Kemendikbudristek seakan tidak memiliki rencana yang jelas perihal arah pendidikan Indonesia ke depan. Dia pun meragukan cetak biru Kemendikbudristek dengan adanya isu kenaikan UKT. Karena menurut Purwadi, UKT adalah tugas negara, sehingga negara lah yang mestinya membantu para mahasiswa.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Purwadi bahwa sudah semestinya negara membantu meringankan biaya UKT mahasiswa. Namun nampaknya negara seakan lepas tangan terhadap pembiayaan UKT ini dan menyerahakan mekanismenya kepada masing-masing kampus. UKT yang mahal atau mengalami kenaikan ini tentunya tak dapat dilepaskan dari beberapa faktor. Diantaranya, Pertama, Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 yang berkaitan dengan standar satuan biaya operasional pendidikan kemendibukristek. Kedua, Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 yang juga menyebutkan bahwa pendidikan ditetapkan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing.

Ketiga, Perjanjian GATS (General Agreement of Trade in Services) dari WTO (World Trade Organization) yang merupakan organisasi perdagangan dunia juga menjadi faktor mengapa sektor kebutuhan rakyat salah satunya pendidikan dikapitalisasi. Indonesia pun ternyata telah resmi menjadi anggota WTO. Akibat dari kesepakatan yang dihasilkan dalam WTO ini, negara memandang pendidikan sebagai basis perdagangan yang modalnya bisa diberikan oleh investor asing untuk mendapatkan keuntungan di bidang pendidikan. Inilah yang dapat kita sebut sebagai komersialisasi pendidikan.

Faktor keempat, yaitu adanya kebijakan Kampus Merdeka. Kurikulum Kampus Merdeka menuntut setiap perguruan tinggi untuk membiayai pendidikannya secara mandiri atau bekerja sama dengan industri untuk menjalankan roda ekonomi kampus. Oleh karena itu, tak jarang kita dengar ada cafe kopi di area kampus, minimarket dan sebagainya. Alhasil semua faktor inilah yang semakin menjelaskan kepada kita mengapa UKT semakin mahal dan menunjukkan kepada kita secara terang-terangan bahwa pemerintah seperti lepas tangan dan hanya sekedar membuat regulasi yang ujung-ujungnya tetap menyengsarakan rakyat.

Lantas jika pendidikan telah dikomersialisasi dan mengalami liberalisasi hari ini, tentu dampaknya sangat mengkhawatirkan terhadap mahasiswa. Kefokusan mahasiswa terhadap kuliah akhirnya semakin terkikis. Betapa banyak mahasiswa yang terbagi kesibukannya antara kuliah dan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya beban mahasiswa berlipat-lipat karena mengalami kelelahan mental dan fisik.

Jika sudah begini, wajar kualitas generasi mengalami penurunan karena yang bisa mengakses pendidikan hanyalah orang-orang kaya saja. Lihatlah bagaimana survei jumlah rakyat yang berhasil menempuh pendidikan tinggi dari jenjang S1-S3 hanyalah 8,31%. Jumlah ini lima kali lipat dari negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Bahkan penduduk yang bekerja, didominasi hanya lulusan SD yang berjumlah hingga 51,49 juta penduduk. Lantas, masihkah kita berharap bisa mewujudkan generasi emas di tahun 2045? Sungguh sangat kontraproduktif dengan realita yang terjadi. Lalu bagaimana penyelesaian UKT yang mahal ini? Apakah mungkin di masa depan UKT akan menjadi murah bahkan gratis namun pendidikan tetap berkualitas?

Islam Memuliakan Pendidikan

Ilmu atau pendidikan sangat dimuliakan dalam Islam. Hal ini bisa ditunjukkan pada kalimat ulul albab yang telah diulang sampai 16 kali dalam Al-Qur'an. Ulul albab adalah orang-orang yang mengerahkan akalnya untuk berpikir cemerlang sehingga tertuntun pada keimanan yang mendalam. Seperti dalam firman-Nya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal." (TQS Ali 'Imran ayat 190).

Islam juga menetapkan bahwa mencari ilmu adalah kewajiban yang didasarkan pada sabda Nabi "Mencari ilmu wajib bagi setiap Muslim." (HR Ibnu Majah). Oleh karena itu, Islam menetapkan tujuan pendidikan ada dua yaitu pertama, untuk mendorong setiap Muslim agar menguasasi ilmu-ilmu agama yang wajib untuk dirinya (fardhu 'ain) seperti ilmu aqidah, syariah, fiqih, ibadah, dan sebagainya. Kedua, mencetak pakar dalam bidang tsaqafah atau ilmu-ilmu agama yang dibutuhkan umat seperti ahli fiqih, ahli hadis dan sebagainya. Dalam hal ini hukumnya adalah fardhu kifayah. Termasuk dalam fardhu kifayah juga, Islam mendorong setiap Muslim agar menjadi pakar sains dan teknologi yang dibutuhkan umat.

Dengan demikian kebutuhan pendidikan dalam Islam akan terjamin karena aqidah Islam telah menjadi ruh dalam pendidikan. Oleh karenanya negara wajib memenuhi kebutuhan pendidikan secara merata dan berkualitas mulai dari infrastruktur, fasilitas, tenaga pendidik yang mumpuni serta lingkungan belajar yang mendukung proses belajar dengan baik. Tentunya pembiayaan pendidikan secara cuma-cuma ini didapat dari pertama, warga secara mandiri. Kedua, infak atau wakaf dari orang-orang kaya untuk keperluan pendidikan, ketiga pembiayaan dari negara seperti dari hasil kekayaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Perlu dicatat bahwa dalam Islam, negara haram membebani rakyatnya dengan biaya pendidikan yang tinggi atau menarik pajak dari mereka. Jika ada satu rakyat saja yang kesulitan mengakses pendidikan, maka khalifah akan mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak dan Allah akan mempersulit hisabnya karena kezalimannya di dunia. Alhasil sudah saatnya penerapan Islam menjadi agenda utama bersama agar tercipta kehidupan yang penuh nikmat, generasi 24 karat dan pemimpin yang dicintai rakyat. Wallahu 'alam bis shawab. []

Sumber: Koran Swara Kaltim Edisi 21 Juni 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun