Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bagaikan Ngontrak di Tanah Sendiri

11 Mei 2024   05:13 Diperbarui: 11 Mei 2024   05:26 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaikan Ngontrak di Tanah Sendiri

Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag

Isu lahan di IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara masih terus bermasalah. Bagaimana tidak disebut bermasalah, jika lahan seluas 2.086 hektare yang masih dihuni oleh masyarakat, terancam akan diambil pemerintah untuk pembangunan IKN. Hal ini diungkapkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2024). AHY menyebut lahan seluas dua ribu hektare tersebut memang masih dihuni oleh masyarakat setempat sehingga pemerintah perlu melakukan pembebasan lahan melalui sejumlah mekanisme, salah satunya dengan ganti rugi.

Presiden Joko Widodo kemudian memberikan arahan terkait proses pembebasan lahan itu harus menggunakan pendekatan yang baik (humanis). Tidak boleh ada satupun masyarakat yang menjadi korban dan merugi tanpa perlindungan. Sebagai informasi, pembayaran ganti rugi lahan proyek strategis nasional (PSN) termasuk IKN akan dilakukan oleh Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). AHY juga telah berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan terkait pengalihan lahan warga untuk PSN ini.

Walaupun pembebasan lahan ini telah dijamin akan mendapatkan ganti rugi, namun tetap saja banyak masyarakat lokal yang merasa keberatan. Begitupun dengan berbagai pertimbangan lainnya seperti kondisi lahan dan lingkungan di sekitar wilayah IKN. Pakar UGM Dr. Kei Otsuki, Associate Proffessor dari Utrech University mengatakan "Rencana tata kota di IKN memang telah dirancang dengan batasan-batasan teritorial yang jelas. Sayangnya, secara geografis hal ini belum dipertimbangkan.

Menurut Kei, proses pemindahan ibu kota seharusnya tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Harus ada beberapa pertimbangan yang penting untuk diperhatikan seperti pergerakan tanah, perkembangan lahan, pembagian energi, sumber daya dan hal lain yang sangat dipengaruhi kondisi lingkungan. Oleh karenanya perlu adanya perencanaan dan pertimbangan berbasis probabilitas masa depan. Kei pun mengungkapkan bahwa sebagai pusat administrasi negara, IKN belum sepenuhnya siap baik dari segi pembangunan dan sosial.

Tidak kesiapan ini dilihat dari beberapa masalah yang diperkirakan akan terjadi, khususnya dalam konteks lingkungan yang merupakan eksistensi dari hutan mangrove. Menurut Kei, jika IKN sepenuhnya sudah menjadi ibu kota, dikhawatirkan hutan mangrove akan berubah fungsi, bahkan hilang. Begitupun dampak lainnya yaitu urbanisasi yang menyebabkan pusat-pusat industri, kantor perusahaan, bahkan masyarakat pun akan berbondong-bondong ke IKN yang mengakibatkan membludaknya jumlah populasi. Adanya urbanisasi tentunya akan memberikan efek "perluasan" yang tidak terkontrol, bahkan berpotensi merusak masyarakat lokal.

Bagai Ngontrak di Tanah Sendiri

Isu perampasan lahan tak hanya terjadi di wilayah IKN melainkan telah meluas hingga berujung konflik antar masyarakat dengan pemerintah atau pemodal besar yang ingin membangun industri atau menggali potensi tambang di wilayah yang umumnya masih dihuni oleh penduduk setempat. Ironinya, para pengusaha tersebut sering menggunakan tangan kekuasaan untuk mewujudkan keinginan mereka yang serakah dengan mengatasnamakan investasi, Proyek Strategis Nasional (PSN), dan regulasi. Akibatnya, tak jarang lahan yang sudah dihuni warga selama ratusan tahun bisa dirampas begitu saja oleh mereka. Wajar saja jika masyarakat sering mengeluh dengan mengatakan tinggal di Indonesia sudah seperti 'ngontrak' di tanah sendiri. Lahan mereka selalu digusur dan mereka terancam menjadi gelandangan.

Sejatinya sebab utama tak berujungnya konflik agraria ini adalah penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme memiliki prinsip bahwa penguasaan dan pengelolaan lahan dan produksi mesti menggunakan pandangan kapitalis. Kapitalis memandang bahwa masalah ekonomi disebabkan karena kelangkaan. Oleh karenanya para pengusaha kapitalis akan meningkatkan produksi sebanyak-banyaknya. Begitupun tanah yang mereka anggap sebagai salah satu faktor produksi juga harus dikuasai sebanyak-banyaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun