Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Benarkah Ada Masjid Radikal?

6 April 2024   21:35 Diperbarui: 6 April 2024   21:35 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Benarkah Ada Masjid Radikal?

Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti (Mahasiswi)

Semakin hari, semakin lucu saja tingkah sebagian wakil rakyat di negeri ini. Bagaimana tidak lucu, bukannya sibuk menyelesaikan permasalahan rakyat, mereka justru terus menggoreng isu-isu radikal seperti yang baru saja disampaikan oleh Safaruddin yang merupakan anggota DPR Komisi III Fraksi PDIP. Ia mengatakan bahwa di Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur ada masjid milik BUMN yaitu Pertamina yang setiap hari selama lima kali waktu sholat selalu mengkritik pemerintah. Sebelum itu, Safaruddin juga menyinggung persoalan karyawan BUMN yakni PT KAI yang terpapar paham radikalisme. Pernyataan Safaruddin tersebut kemudian ditanggapi oleh BNPT (Badan Penanggulangan Pencegahan Terorisme) yang mengusulkan agar semua tempat ibadah di Indonesia dikontrol langsung oleh pemerintah sehingga tidak menjadi sarang radikalisme.

Mengutip dari Detiknews (6-9-2023), Kepala BNPT, Rycko Amelza Dahniel menyatakan dalam rapat agar perlunya pemerintah memiliki mekanisme kontrol terhadap tempat-tempat ibadah yang digunakan untuk penyebaran paham radikalisme. Menurut Rycko, siapa saja yang menyampaikan konten-konten di tempat ibadah, mestinya konten tersebut dikontrol agar tempat-tempat ibadah tidak dijadikan alat untuk menyebarkan ajaran kekerasan, kebencian, mengolok-olok golongan, pimpinan, bahkan menghujat pemerintah. Rycko pun membandingkan di negara-negara lain yang konten isi ceramahnya telah berada di bawah kontrol Pemerintah seperti di Arab Saudi, Oman, Qatar, Maroko, Singapura, dan sebagainya.

Tak pelak penyataan anggota DPR dan BNPT tersebut menuai banyak kritikan dari masyarakat hingga tokoh agama. Pasalnya pernyataan tersebut dinilai absurd karena kepedulian rakyat kepada penguasa dengan bentuk mengkritik pemerintah justru disebut radikal bahkan ujaran kebencian. Rakyat juga bertanya-tanya mengapa saat dikritik, pemerintah tidak langsung berbenah ,melainkan menganggapnya sebagai hujatan?

Ace Hazan Syadzily, yang merupakan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap usulan BNPT tersebut. "Saya kira berlebihan jika tempat ibadah dikontrol Pemerintah atau aparat pemerintah. Kalau ada satu atau dua kasus di mana rumah ibadah diduga digunakan untuk mengkritik pemerintah, ya tidak perlu dikhawatirkan. Mengkritik kan tidak harus dimaknai tindakan radikalisme." Tukas Ace.

Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas juga menyayangkan usulan yang disampaikan BNPT. Menurutnya cara berpikir dan bersikap yang disampaikan Kepala BNPT tersebut jelas tidak baik dan tidak benar karena jika usulan tersebut disetujui oleh pemerintah, maka kepemimpinan yang saat ini berkuasa nampak mengarah kepada corak sistem pemerintahan yang tirani dan lebih mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) yang artinya memberikan perizinan keimigrasian hanya terhadap mereka yang tidak membahayakan keamanan negara dan ketertiban umum.

Narasi Basi Radikalisme

Sungguh menyesakkan dada rasanya setiap kali mendengar pernyataan-pernyataan yang selalu memojokkan Islam. Bagai kaset kusut narasi-narasi yang disampaikan terus berulang dan seakan menuduh simbol atau ajaran Islam seperti jilbab, cadar, larangan bersalaman dengan yang bukan mahram bagi perempuan, jenggot, dan yang sekarang adalah masjid, dinilai diskriminatif, mengandung kekerasan dan intoleran. Mirisnya pernyataan-pernyataan provokatif tersebut kerap disampaikan oleh seseorang yang dipandang berpendidikan dan menjadi wakil rakyat. Lalu ada apa dengan penguasa saat ini? Mengapa seakan Islam yang dituduh penyebab berbagai persoalan yang menimpa rakyat? Apapun masalah yang terjadi di negeri ini seperti korupsi, pergaulan bebas, pengangguran, kemiskinan, dan lain sebagainya, penyebabnya adalah Islam! Tidak ada yang lain.

Padahal akar masalah terjadinya kerusakan moral dan sulitnya ekonomi yang hari ini marak terjadi sesungguhnya disebabkan oleh sistem kapitalis sekuler liberal yang diterapkan penguasa hari ini untuk mengatur negara. Sistem kapitalis yang berasas sekuler telah meminggirkan peran agama dalam mengatur kehidupan sehingga negara bebas diatur oleh siapapun asalkan mempunyai modal (kapital) yang besar. Akibatnya seluruh kekayaan alam negara boleh dimiliki individu yang berakibat negara menjadikan seluruh kebutuhan rakyat seperti kesehatan, keamanan, pendidikan dan lain-lain menjadi alat bisnis selain pajak dan utang yang juga untuk menopang pendapatan negara.

Kalau negara sudah diatur sistem kapitalis sekuler liberal ini maka rakyatnya pun juga mengidap virus sekuler dan liberal sehingga dalam menjalani kehidupan mereka lebih mementingkan kepentingan duniawi dan mengabaikan aturan agama. Bahkan tak jarang agama justru dijauhi dan diangggap pengekang kebebasan mereka. Naudzubillah.

Terkait kritik atau merespon tentang pergerakan politik hari ini sejatinya bisa dilakukan dimana saja, tak melulu mesti di Masjid. Justru kritik yang disampaikan oleh rakyat menandakan bahwa rakyat semakin cerdas dan melek politik karena setiap kebijakan yang dikeluarkan penguasa, akan berpengaruh pada kehidupan mereka. Mestinya kritik yang disampaikan menjadi bahan evaluasi bagi penguasa untuk menjalankan kekuasaan dengan baik dan adil. Apalagi kritik yang disampaikan bersifat membangun dan telah dijamin oleh undang-undang yang ada. Namun jika kritik dan aspirasi telah dibatasi bahkan sampai menuduh Masjid sebagai tempat awal muncul nya kekerasan, bukankah benar apa yang disampaikan oleh Wakil Ketua MUI bahwa penguasa saat ini sedang berjalan menuju kekuasaan yang otoriter dan anti kritik?

Oleh karena itu jika hari ini masih ada saja orang-orang yang menggoreng narasi-narasi basi untuk memojokkan Islam, maka dapat dipastikan ada Islamophobia yang mengidap di dirinya selain kepentingan terselubung yang tentu memang sengaja diaruskan mencegah kebangkitan Islam dengan cara menyulut perpecahan diantara umat Islam.

Masjid Bukan Sekedar Tempat Ibadah

Pada masa Rasulullah dahulu masjid bukan hanya digunakan sebagai tempat ibadah melainkan masjid adalah tempat bagi Rasulullah untuk mengatur urusan kaum Muslim, bermusyawarah, memberikan pengajaran terkait Al-Qur'an dan hukum-hukum Islam dan sebagai tempat peristirahatan untuk musafir. Sejatinya pada masa itu masjid adalah tempat sentral yang berfungsi untuk mencerdaskan umat Islam. Hal ini berlanjut hingga generasi setelah Rasulullah yaitu dari masa khulafaur rasyidin hingga kekhilafah Utsmaniyah. Tradisi masjid sebagai tempat sentral ini menjadikan kaum Muslim sangat dekat dan betah di masjid. Maka tak heran ketika pada masa itu masjid justru lebih ramai dibanding tempat-tempat perbelanjaan. Malahan khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu, mengembangkan masjid menjadi sekolah dan menambah bangunan perpustakaan.

Dengan demikian menyebut masjid sebagai tempat awal munculnya aksi radikal dan teror adalah pernyataan yang ahistoris dan menandakan penyampainya minim akan agama dan sejarahnya. Memang kita sepakat bahwa perbuatan atau aksi teror yang mengandung kekerasan adalah perbuatan yang terlarang untuk dilakukan oleh siapapun dan apapun agamanya. Namun menuduh simbol atau ajaran Islam mengajarkan kekerasan, sungguh ini pernyataan yang keliru dan berdosa besar di sisi Allah. Sebab telah banyak ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang mengutamakan persaudaraan dan persatuan (Lihat QS Al Hujurat ayat 11-13, Al Kafirun ayat 1-6 dan sebagainya). Ayat-ayat tersebut berbicara tentang perintah bagi setiap Muslim untuk bersaudara, menghormati perbedaan dan melarang mengolok-olok antar sesama karena Islam memandang bahwa semua kedudukan manusia itu sama di mata Allah dan yang membedakan hanyalah ketakwaan.

Dalam Islam kritik atau muhasabah juga bukan bermakna ujaran kebencian melainkan adalah bentuk kepedulian antar sesama dan wajib hukumnya bagi siapapun. Kritik juga bermakna amar makruf dan nahi mungkar yang diperintahkan dalam Islam (Lihat QS 'Ali Imran ayat 104 dan 110). Oleh sebab itu siapapun yang mendapat nasihat atau kritikan baik kalangan rakyat atau penguasa mestinya ia harus menerima dengan lapang dada dan berintropeksi. Sebagaimana hadits Nabi dari Abu Sa'id al-Khudri ia berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa atau pemimpin yang zalim." (HR Abu Dawud).

Menyampaikan kritik dalam bentuk nasihat atau dakwah juga bisa dimanapun tidak hanya di masjid. Justru jika umat Islam hanya mencukupkan aktivitas dakwah atau kritik di masjid, maka sama saja mereka bersikap sekuler yang hanya menempatkan agama di ranah privat dan individual. Padahal Islam tidak hanya mengatur ibadah dan diri sendiri, melainkan juga mengatur hubungan antar sesama manusia seperti sistem politik, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan pergaulan.

Dengan demikian umat Islam mesti jeli akan narasi-narasi yang mengandung kebencian dan Islamophobia. Narasi-narasi basi nan provokatif ini akan terus ada selama sistem kapitalisme sekuler masih menguasai negeri ini karena memang begitulah tujuan penguasa saat ini yaitu untuk menghadang kebangkitan Islam. Sudah saatnya umat Islam memusatkan pandangannya untuk berjuang menegakkan sistem Islam agar tidak ada yang berani menginjak kehormatan dan kemuliaan Islam dan rahmat Allah turun menghiasi bumi. Wallahu 'alam bis shawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun