Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Benarkah Ada Masjid Radikal?

6 April 2024   21:35 Diperbarui: 6 April 2024   21:35 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Terkait kritik atau merespon tentang pergerakan politik hari ini sejatinya bisa dilakukan dimana saja, tak melulu mesti di Masjid. Justru kritik yang disampaikan oleh rakyat menandakan bahwa rakyat semakin cerdas dan melek politik karena setiap kebijakan yang dikeluarkan penguasa, akan berpengaruh pada kehidupan mereka. Mestinya kritik yang disampaikan menjadi bahan evaluasi bagi penguasa untuk menjalankan kekuasaan dengan baik dan adil. Apalagi kritik yang disampaikan bersifat membangun dan telah dijamin oleh undang-undang yang ada. Namun jika kritik dan aspirasi telah dibatasi bahkan sampai menuduh Masjid sebagai tempat awal muncul nya kekerasan, bukankah benar apa yang disampaikan oleh Wakil Ketua MUI bahwa penguasa saat ini sedang berjalan menuju kekuasaan yang otoriter dan anti kritik?

Oleh karena itu jika hari ini masih ada saja orang-orang yang menggoreng narasi-narasi basi untuk memojokkan Islam, maka dapat dipastikan ada Islamophobia yang mengidap di dirinya selain kepentingan terselubung yang tentu memang sengaja diaruskan mencegah kebangkitan Islam dengan cara menyulut perpecahan diantara umat Islam.

Masjid Bukan Sekedar Tempat Ibadah

Pada masa Rasulullah dahulu masjid bukan hanya digunakan sebagai tempat ibadah melainkan masjid adalah tempat bagi Rasulullah untuk mengatur urusan kaum Muslim, bermusyawarah, memberikan pengajaran terkait Al-Qur'an dan hukum-hukum Islam dan sebagai tempat peristirahatan untuk musafir. Sejatinya pada masa itu masjid adalah tempat sentral yang berfungsi untuk mencerdaskan umat Islam. Hal ini berlanjut hingga generasi setelah Rasulullah yaitu dari masa khulafaur rasyidin hingga kekhilafah Utsmaniyah. Tradisi masjid sebagai tempat sentral ini menjadikan kaum Muslim sangat dekat dan betah di masjid. Maka tak heran ketika pada masa itu masjid justru lebih ramai dibanding tempat-tempat perbelanjaan. Malahan khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu, mengembangkan masjid menjadi sekolah dan menambah bangunan perpustakaan.

Dengan demikian menyebut masjid sebagai tempat awal munculnya aksi radikal dan teror adalah pernyataan yang ahistoris dan menandakan penyampainya minim akan agama dan sejarahnya. Memang kita sepakat bahwa perbuatan atau aksi teror yang mengandung kekerasan adalah perbuatan yang terlarang untuk dilakukan oleh siapapun dan apapun agamanya. Namun menuduh simbol atau ajaran Islam mengajarkan kekerasan, sungguh ini pernyataan yang keliru dan berdosa besar di sisi Allah. Sebab telah banyak ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang mengutamakan persaudaraan dan persatuan (Lihat QS Al Hujurat ayat 11-13, Al Kafirun ayat 1-6 dan sebagainya). Ayat-ayat tersebut berbicara tentang perintah bagi setiap Muslim untuk bersaudara, menghormati perbedaan dan melarang mengolok-olok antar sesama karena Islam memandang bahwa semua kedudukan manusia itu sama di mata Allah dan yang membedakan hanyalah ketakwaan.

Dalam Islam kritik atau muhasabah juga bukan bermakna ujaran kebencian melainkan adalah bentuk kepedulian antar sesama dan wajib hukumnya bagi siapapun. Kritik juga bermakna amar makruf dan nahi mungkar yang diperintahkan dalam Islam (Lihat QS 'Ali Imran ayat 104 dan 110). Oleh sebab itu siapapun yang mendapat nasihat atau kritikan baik kalangan rakyat atau penguasa mestinya ia harus menerima dengan lapang dada dan berintropeksi. Sebagaimana hadits Nabi dari Abu Sa'id al-Khudri ia berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa atau pemimpin yang zalim." (HR Abu Dawud).

Menyampaikan kritik dalam bentuk nasihat atau dakwah juga bisa dimanapun tidak hanya di masjid. Justru jika umat Islam hanya mencukupkan aktivitas dakwah atau kritik di masjid, maka sama saja mereka bersikap sekuler yang hanya menempatkan agama di ranah privat dan individual. Padahal Islam tidak hanya mengatur ibadah dan diri sendiri, melainkan juga mengatur hubungan antar sesama manusia seperti sistem politik, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan pergaulan.

Dengan demikian umat Islam mesti jeli akan narasi-narasi yang mengandung kebencian dan Islamophobia. Narasi-narasi basi nan provokatif ini akan terus ada selama sistem kapitalisme sekuler masih menguasai negeri ini karena memang begitulah tujuan penguasa saat ini yaitu untuk menghadang kebangkitan Islam. Sudah saatnya umat Islam memusatkan pandangannya untuk berjuang menegakkan sistem Islam agar tidak ada yang berani menginjak kehormatan dan kemuliaan Islam dan rahmat Allah turun menghiasi bumi. Wallahu 'alam bis shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun