Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam Mengatasi Kelangkaan Polemik Bahan Bakar

15 Maret 2024   05:00 Diperbarui: 15 Maret 2024   05:00 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Islam Mengatasi Polemik Kelangkaan Bahan Bakar

Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti (Mahasiswi)

Tidak habis-habisnya penderitaan yang dialami rakyat pada beberapa bulan terakhir ini. Mulai dari kenaikan bahan-bahan pokok, kenaikan pajak, hingga pada puncak penderitaan yaitu kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), pembatasan subsidi hingga penggunaan aplikasi My Pertamina yang menyulitkan rakyat. Pasalnya pada 10 Juli 2022 kemarin Pertamina mengumumkan kenaikan harga BBM non subsidi yang ketiga kalinya akibat dampak perang Rusia dan Ukraina.

Perlu diketahui kebutuhan BBM di Indonesia didapatkan dari impor dan bergantung pada harga minyak dunia sehingga untuk menekan harga dalam negeri, pemerintah masih memberikan subsidi melalui anggaran subsidi dari APBN. Namun pada 2022 anggaran APBN mengalami kenaikan yang semula direncanakan hanya Rp 140 triliun, naik menjadi Rp 280 triliun. Hal inilah yang menjadi penyebab Pemerintah membatasi BBM subsidi dan menaikkan harga BBM untuk mengurangi beban APBN.

Dampak pembatasan BBM subsidi dan kenaikan harga BBM dirasakan di berbagai wilayah dalam negeri termasuk di wilayah Kaltim yang mengalami kelangkaan BBM. Sudah sejak satu bulan terakhir BBM jenis Pertalite mulai langka di Kota Samarinda sehingga para pengendara roda dua dan empat harus rela mengantri panjang hingga memakan badan jalan dan menimbulkan kemacetan demi mendapatkan pertalite. Kondisi ini mau tidak mau memaksa para pengendara untuk merogoh kocek lebih dalam dengan membeli BBM non subsidi yakni pertamax yang harganya cukup mahal.

Adi, salah satu driver online mengeluhkan beratnya kelangkaan BBM subsidi ini sehingga ia terpaksa harus membeli BBM pertamax agar ia bisa bergerak cepat untuk mencari orderan. Ismail, salah satu petugas SPBU mengaku bahwa pasokan BBM selalu ada setiap hari sebanyak 8.000 hingga 16.000 liter yang disalurkan ke setiap SPBU yang ada di Samarinda namun persedian ini terus habis dalam waktu yang cepat bahkan banyak kendaraan yang tidak mengalami kebagian.

Kelangkaan BBM jenis pertalite dan bio solar juga terjadi di wilayah Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Bahkan dari 4 SPBU yang ada di kota Sangatta, stok ketersediaan pertalite dan bio solar hanya tersedia di jam-jam tertentu saja. Menyikapi kelangkaan tersebut, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kutim memberikan solusi dalam mengatasi kelangkaan pertalite dan bio solar di Kutim.

Zaini, Kepala Disperindag Kutim mengatakan "Sudah ada kesepakatan, Disperindag bagian ekonomi setkab Kutim akan mengeluarkan surat edaran terkait BBM bersubsidi dan pertalite ini. Khususnya bagi SPBU tidak boleh menjual solar subsidi dan pertalite kepada pengetap dan pertamini. Selain itu, kami meminta agar Pertamina dann BRI (Bank Rakyat Indonesia) untuk menerbitkan kartu bahan bakar, sebagai kartu kendali konsumsi BBM bersubsidi jenis solar dan pertalite di Kutim." Zaini juga akan menindak tegas dan bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk melakukan penertiban terhadap Pertamini yang ilegal dan menjamur di Kutim.

Salah Kelola Minyak ala Kapitalisme

Problem kenaikan BBM tentu tidak bisa dipandang remeh karena kenaikan BBM justru berakibat buruk bagi permasalahan ekonomi masyarakat. Harga-harga barang dan jasa tentu juga akan ikut-ikutan naik. Problem ini tidak terlepas dari sistem yang mengatur pengelolaan BBM di dalam negeri yaitu sistem Kapitalisme yang dasarnya meniadakan agama. Sistem Kapitalisme yang diterapkan dalam semua bidang seperti di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan SDA (Sumber Daya Alam) menjadikan setiap individu masyarakat bebas menguasai SDA dengan tujuan komersial. Akhirnya hubungan pemerintah dan rakyat hanya sekedar sebagai pedagang dan pembeli bukan sebagai pelayan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun