Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mahasiswa Terjangkit Virus Bunuh Diri, Saatnya Negara Lebih Peduli

26 November 2023   20:18 Diperbarui: 26 November 2023   20:35 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahasiswa Terjangkit Virus Bunuh Diri, Saatnya Negara Lebih Peduli

Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti

Kasus bunuh diri di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari-Oktober 2023. Angka tersebut telah melampaui kasus bunuh diri pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2022 yang jumlahnya 900 kasus. (Kaltimtoday.co 10/11/2023).

Jika dirincikan, 971 kasus bunuh diri tersebut tersebar di berbagai provinsi di Indonesia dengan provinsi Jawa Tengah sebagai peringkat pertama dengan kasus bunuh diri terbanyak yang mencapai 356 kasus, kemudian disusul oleh Jawa Timur, 184 kasus, Bali, 94 kasus, Jawa Barat, 60 kasus, DI Yogyakarta, 48 kasus, Sumatera Utara, 41 kasus, Bengkulu, 22 kasus, Sulawesi Utara 18 kasus. (katadata.co.id. 18/10/2023).

Mirisnya fenomena bunuh diri ini menyasar kepada sebagian besar mahasiswa yang mana mereka adalah calon pemimpin bangsa. Menurut Kasandra Putranto, seorang Psikolog Klinis, ada beberapa masalah yang dihadapi oleh mahasiswa yang dapat menyebabkan stress tinggi hingga berpikir untuk bunuh diri. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah keuangan, masalah dengan dosen, hubungan akademis, permasalahan dengan teman, masalah percintaan dan gangguan kesehatan. Ia melanjutkan bahwa factor yang dapat memengaruhi orang untuk bunuh diri adalah tingkat depresi yang tinggi, kecerdasan emosi yang renda, tipe kepribadian dan minimnya dukungan sosial. (rejogja.republika.co.id 4/10/2023).

Selain itu kasus bunuh diri di Indonesia bisa mencapai 10.000 dari tahun 2018-2023 dengan korban bunuh diri berkisar pada usia produktif yaitu 10-39 tahun. Angka ini bisa jadi benar karena menurut sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar dari data resmi. Kurangnya data telah menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia menurut sejumlah pakar.

Apalagi baru-baru saja gempar kasus bunuh diri yang dialami oleh mahasiswa berturut-turut selama dua bulan. Mulai dari menabrakkan diri di kereta api, lompat dari gedung tinggi, hingga ditemukan meregang nyawa dengan gas helium di mobil pribadinya. Oleh sebab itu, Kemendikbudristek meminta seluruh kampus di Indonesia untuk menghadirkan lingkungan kampus yang sehat, aman dan nyaman. Namun apakah cukup dengan mewujudkan lingkungan kampus yang sehat, masalah bunuh diri akan tuntas terselesaikan? Apa akar masalah yang sesungguhnya terjadi?

Ada Apa?

Indonesia memang patut berbangga karena mendapat bonus demografi yang maknanya usia produktif jauh lebih banyak populasinya disbanding usia non produktif. Namun apalah guna bonus demografi jika jutaan generasinya masih terkungkung dengan banyak masalah yang berujung pada bunuh diri? Memang setiap manusia tidak lepas dari berbagai masalah di kehidupannya karena ujian akan selalu datang silih berganti di setiap fase kehidupan yang manusia jalani. Namun yang jadi pertanyaannya, bagaimana cara menyelesaikan masalah-masalah tersebut? Mengapa sampai memilih jalan bunuh diri?

Jika kita ingin mengkritisi, sesungguhnya banyak faktor yang menyebabkan mahasiswa di Indonesia terjangkit virus bunuh diri. Pertama, masalah kesehatan mental yang menimpa generasi hari ini. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, lebih dari 30 juta penduduk berusia 15 tahun dan di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan depresi. Banyak diantara pemuda yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan cenderung bergantung pada orang lain alias tak mau bertanggung jawab. Mereka cenderung apatis, putus asa dan mudah mengalami depresi jika ada masalah yang terbilang sepele.

Kedua, gaya hidup yang hedonis dan materialistis. Kebanyakan motif bunuh diri adalah karena korban terjerat pinjol. Gaya hidup hari ini yang serba bebas dan mahal menuntut setiap orang untuk bergaya sesuai trend tak peduli jika kebutuhan ekonomi sulit. Mereka cenderung mengikuti budaya Barat yang permisif dan lebih khawatir dicap ketinggalan zaman jika tidak mengikuti mode atau outfit yang lagi trend hari ini.

Ketiga, biaya kuliah yang tinggi menuntut mahasiswa untuk bekerja paruh waktu demi bisa membayar biaya kuliah, memenuhi kebutuhan dan gaya hidup mereka. Sayangnya, jika mereka tak mampu memenuhinya, mereka bisa depresi berat yang jika tidak segera ditangani akan berujung bunuh diri. Belum lagi tuntutan dari orang tua dan kurikulum perguruan tinggi yang hanya fokus kepada capaian prestasi akademik saja. Mahasiswa disibukkan dengan tugas-tugas, skripsi yang selalu revisi dan bayang-bayang masa depan setelah wisuda. Inilah yang menyebabkan mahasiswa stress, depresi kemudian bunuh diri.

Sejatinya, semua faktor yang telah dipaparkan di atas berpangkal pada pemahaman sekuler liberal yang menjangkiti sebagian besar generasi hari ini. Sejak kecil mereka tidak dididik untuk mengetahui tujuan hidupnya sebagai seorang Muslim. Keluarga yang seharusnya menanamkan pemahaman agama kepada anak, justru lepas tangan dan hanya berfokus memenuhi kebutuhan materi anak. Orang tua sibuk bekerja hingga anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang. Mereka akhirnya tumbuh dewasa dengan tidak memiliki bekal agama, tidak paham tujuan ia diciptakan dan bagaimana semestinya bersikap sesuai apa yang Islam tuntunkan.

Tak cukup dengan itu, kurikulum pendidikan hari ini juga sekuler yang maknanya memisahkan agama dari pembentukan karakter anak didik. Pelajaran agama hanya dua jam sepekan itu pun sekedar teori yang tidak berdampak pada akhlak dan perilaku anak. Akhirnya banyak dari mereka tidak memiliki prinsip yang jelas mengenai batasan dalam berperilaku. Mereka cenderung mengikuti teman atau segala sesuatu yang sedang trend tanpa memfilternya terlebih dahulu apakah hal tersebut dibolehkan agama. Tak ingatkah kita pada kasus siswa SMP di Magetan yang ramai-ramai melakukan self harm (menyakiti diri sendiri) dengan menggunakan benda tajam?

Setidaknya beberapa penyebab itulah yang menjadi pangkal suburnya kasus bunuh diri pada pemuda hari ini terlebih pada mahasiswa. Sungguh kita patut khawatir jika masalah bunuh diri ini tidak tuntas terselesaikan karena pemuda adalah calon pemimpin dan pengisi peradaban. Apa jadinya suatu peradaban jika generasinya mudah rapuh? Tentu peradaban tersebut akan rusak dan hancur. Lalu bagaimana solusinya? Apa yang semestinya dilakukan untuk mencegah kasus bunuh diri tidak terulang kembali?

Saatnya Negara Lebih Peduli

Kehidupan hari ini yang jauh dari agama telah membuat jiwa sebagian besar manusia sibuk mengejar duniawi namun disaat yang bersamaan jiwa mereka gersang dari nilai ruhani. Standar hidup mereka bukan lagi ridho Allah melainkan pencapaian-pencapaian duniawi yang ketika mati pun tidak akan dibawa kembali.

Islam sebagai agama yang komprehensif telah memberikan tuntunan bahwa tujuan penciptaan manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah. (Lihat QS Az-Zariyat ayat 56). Oleh karenanya seorang Muslim akan seantiasa mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua itu dilakukan karena ia paham bahwa hanya Allah yang paling mengetahui yang terbaik buat hamba-Nya. Termasuk juga ketika diri mengalami banyak permasalahan maka seorang Muslim sejatinya paham bahwa hanya bergantung kepada Allah sajalah berbagai masalah akan menemukan solusi. Sebagaimana firman-Nya:

"...Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang kafir." (TQS Yusuf ayat 87).

Seorang Muslim juga paham bahwa bunuh diri tidak akan pernah menjadi solusi atas setiap masalahnya. Itulah definisi keimanan yang kuat, yaitu keimanan yang membuat diri tidak gampang rapuh dalam menghadapi setiap masalah. Keimanan yang kuat ini semestinya dipupuk sejak lahir oleh keluarga, lingkungan masyarakat dan peran negara. Keluarga wajib menjadi benteng bagi anak untuk mendidik dengan pemahaman agama agar anak tidak akan mudah jatuh pada maksiat, menyerah ketika ada masalah dan tidak mengantungkan harapan kepada selain-Nya.

Lingkungan masyarakat yang kondusif juga menjadi benteng kedua setelah benteng keluarga. Ciri masyarakat yang Islami adalah yang senantiasa peduli, tidak individualis dan selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar. Dengan begitu, generasi akan selalu terjaga dari perilaku maksiat dan memiliki rasa malu saat berani bermaksiat karena ditegur oleh masyarakat sekitar.

Terakhir, peran negara yang menjaga semua pihak yaitu keluarga dan masyarakat untuk tetap menegakkan aturan Islam. Negara akan menjaga pemikiran generasi dari pemikiran asing yang merusak dan konten-konten yang berbau syahwat dan materialistis. Negara juga akan mencukupi kebutuhan rakyatnya dengan pengelolaan SDA sesuai syariat sehingga tidak ada lagi rakyat yang bunuh diri hanya karena tak bisa memenuhi kebutuhannya. Selain itu negara juga mewajibkan agar kurikulum pendidikan berlandaskan akidah Islam sehingga menuntut ilmu bukan hanya bertujuan untuk materi ataupun nilai akademik semata melainkan menjadi manusia yang bermanfaat untuk agama dan sesama.

Walhasil, agar persoalan bunuh diri tuntas, butuh semua pihak terlebih negara sebagai benteng utama. Negara mesti menerapkan Islam dalam menyusun kebijakan atau mengatur rakyatnya agar kehidupan Islami terwujud di tengah-tengah umat. Karena hanya dengan negara lah aturan Islam akan berfungsi untuk menjaga umat dari kerusakan dengan adanya beberapa strategi jitu dalam menjaga nyawa manusia. Wallahu 'alam bis shawab.

Sumber: Koran Swara Kaltim Edisi 25 November 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun