Kedua, gaya hidup yang hedonis dan materialistis. Kebanyakan motif bunuh diri adalah karena korban terjerat pinjol. Gaya hidup hari ini yang serba bebas dan mahal menuntut setiap orang untuk bergaya sesuai trend tak peduli jika kebutuhan ekonomi sulit. Mereka cenderung mengikuti budaya Barat yang permisif dan lebih khawatir dicap ketinggalan zaman jika tidak mengikuti mode atau outfit yang lagi trend hari ini.
Ketiga, biaya kuliah yang tinggi menuntut mahasiswa untuk bekerja paruh waktu demi bisa membayar biaya kuliah, memenuhi kebutuhan dan gaya hidup mereka. Sayangnya, jika mereka tak mampu memenuhinya, mereka bisa depresi berat yang jika tidak segera ditangani akan berujung bunuh diri. Belum lagi tuntutan dari orang tua dan kurikulum perguruan tinggi yang hanya fokus kepada capaian prestasi akademik saja. Mahasiswa disibukkan dengan tugas-tugas, skripsi yang selalu revisi dan bayang-bayang masa depan setelah wisuda. Inilah yang menyebabkan mahasiswa stress, depresi kemudian bunuh diri.
Sejatinya, semua faktor yang telah dipaparkan di atas berpangkal pada pemahaman sekuler liberal yang menjangkiti sebagian besar generasi hari ini. Sejak kecil mereka tidak dididik untuk mengetahui tujuan hidupnya sebagai seorang Muslim. Keluarga yang seharusnya menanamkan pemahaman agama kepada anak, justru lepas tangan dan hanya berfokus memenuhi kebutuhan materi anak. Orang tua sibuk bekerja hingga anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang. Mereka akhirnya tumbuh dewasa dengan tidak memiliki bekal agama, tidak paham tujuan ia diciptakan dan bagaimana semestinya bersikap sesuai apa yang Islam tuntunkan.
Tak cukup dengan itu, kurikulum pendidikan hari ini juga sekuler yang maknanya memisahkan agama dari pembentukan karakter anak didik. Pelajaran agama hanya dua jam sepekan itu pun sekedar teori yang tidak berdampak pada akhlak dan perilaku anak. Akhirnya banyak dari mereka tidak memiliki prinsip yang jelas mengenai batasan dalam berperilaku. Mereka cenderung mengikuti teman atau segala sesuatu yang sedang trend tanpa memfilternya terlebih dahulu apakah hal tersebut dibolehkan agama. Tak ingatkah kita pada kasus siswa SMP di Magetan yang ramai-ramai melakukan self harm (menyakiti diri sendiri) dengan menggunakan benda tajam?
Setidaknya beberapa penyebab itulah yang menjadi pangkal suburnya kasus bunuh diri pada pemuda hari ini terlebih pada mahasiswa. Sungguh kita patut khawatir jika masalah bunuh diri ini tidak tuntas terselesaikan karena pemuda adalah calon pemimpin dan pengisi peradaban. Apa jadinya suatu peradaban jika generasinya mudah rapuh? Tentu peradaban tersebut akan rusak dan hancur. Lalu bagaimana solusinya? Apa yang semestinya dilakukan untuk mencegah kasus bunuh diri tidak terulang kembali?
Saatnya Negara Lebih Peduli
Kehidupan hari ini yang jauh dari agama telah membuat jiwa sebagian besar manusia sibuk mengejar duniawi namun disaat yang bersamaan jiwa mereka gersang dari nilai ruhani. Standar hidup mereka bukan lagi ridho Allah melainkan pencapaian-pencapaian duniawi yang ketika mati pun tidak akan dibawa kembali.
Islam sebagai agama yang komprehensif telah memberikan tuntunan bahwa tujuan penciptaan manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah. (Lihat QS Az-Zariyat ayat 56). Oleh karenanya seorang Muslim akan seantiasa mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua itu dilakukan karena ia paham bahwa hanya Allah yang paling mengetahui yang terbaik buat hamba-Nya. Termasuk juga ketika diri mengalami banyak permasalahan maka seorang Muslim sejatinya paham bahwa hanya bergantung kepada Allah sajalah berbagai masalah akan menemukan solusi. Sebagaimana firman-Nya:
"...Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang kafir." (TQS Yusuf ayat 87).
Seorang Muslim juga paham bahwa bunuh diri tidak akan pernah menjadi solusi atas setiap masalahnya. Itulah definisi keimanan yang kuat, yaitu keimanan yang membuat diri tidak gampang rapuh dalam menghadapi setiap masalah. Keimanan yang kuat ini semestinya dipupuk sejak lahir oleh keluarga, lingkungan masyarakat dan peran negara. Keluarga wajib menjadi benteng bagi anak untuk mendidik dengan pemahaman agama agar anak tidak akan mudah jatuh pada maksiat, menyerah ketika ada masalah dan tidak mengantungkan harapan kepada selain-Nya.
Lingkungan masyarakat yang kondusif juga menjadi benteng kedua setelah benteng keluarga. Ciri masyarakat yang Islami adalah yang senantiasa peduli, tidak individualis dan selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar. Dengan begitu, generasi akan selalu terjaga dari perilaku maksiat dan memiliki rasa malu saat berani bermaksiat karena ditegur oleh masyarakat sekitar.