UU KUHP Sah, Penguasa Anti Kritik?
Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti (Mahasiswi UINSI Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir)
Sumber : Koran Swara Kaltim edisi 21 Desember 2022
Lagi dan lagi, wakil rakyat beserta jajarannya kembali membuat ulah di tengah himpitan ekonomi dan bencana yang datang bertubi-tubi. Pasalnya tepat pada 6/12/2022 lalu, DPR mengesahkan  RKUHP (Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana) menjadi UU KUHP. Undang-undang ini dinilai bermasalah dan kontroversi karena pasalnya yang banyak menjebak rakyat.
Salah satu pasal yang dinilai bermasalah adalah pasal tentang penghinaan presiden dan lembaga negara. Mengutip dari laman cnnindonesia.com isi pasal tersebut adalah "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden, dipidana paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV." (Pasal 218 ayat 1 RKUHP). Begitupun pada pasal 349 dan 350 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum baik dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara seperti DPR hingga Polri maka dapat dipidana hingga 1,5 tahun dan pidana bisa diperberat jika penghinaan dilakukan lewat media sosial.
Atas dasar inilah aliansi mahasiswa BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) kembali menggelar konsolidasi nasional pada 8/12/2022 untuk menyuarakan penolakan rakyat terhadap UU KUHP. Sebenarnya pada tahun 2019 masyarakat sipil pernah menggelar demo besar-besaran agar RKUHP tersebut tidak disahkan. Walaupun penolakan datang dari berbagai pihak dan saat pengesahannya disebut-sebut hanya 18 orang anggota DPR yang hadir, namun agenda pengesahan UU KUHP ini tetap melenggang bebas tanpa hambatan laksana undang-undang yang lainnya yang juga bermasalah seperti UU Omnibus Law, revisi UU KPK dan masih banyak lagi.
Penguasa Anti Kritik?
Pengesahan RUKHP ini telah menimbulkan polemik dan membatasi hak rakyat dalam menyuarakan aspirasinya. Padahal rakyat berhak mengkritik kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang sekiranya zalim bagi rakyat. Bukankah Negara menganut sistem demokrasi dimana setiap orang bebas menyuarakan pendapatnya? namun dengan adanya pasal ini rakyat dipaksa diam dan hanya berpangku tangan terhadap penguasa yang semakin semena-mena. Kian zalim, rakyat juga dilarang untuk unjuk rasa karena pada pasal 256 KUHP rakyat yang mengadakan unjuk rasa tanpa menunjukkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) bisa dikenakan pidana. Padahal unjuk rasa adalah hak rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Sekilas, pasal larangan penghinaan kepada pemerintah ini seakan telah merepresentasikan bahwa pemerintah anti kritik. Pasal-pasal ini nampaknya juga berseberangan dengan ide pancasila sila keempat yang berbunyi "kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Pertanyaannya, bukankah Negara ini menjadikan pancasila sebagai dasar negara? lalu mengapa kelima silanya tak pernah benar-benar terwujud dalam kehidupan rakyat? ataukah pancasila hanya sekedar formalitas belaka?
Sebenarnya sejak dahulu rakyat tidak pernah menghina pemerintah dari segi fisik ataupun pribadi mereka. Rakyat hanyalah mengadukan dan mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa yang zalim dan membuat mereka menderita. Jika aspirasi rakyat diartikan dengan penghinaan tentu pemerintah telah salah besar dan menjadikan UU KUHP sebagai alat gebuk untuk membungkam rakyat. Padahal setiap menjelang pemilu para calon wakil rakyat berlomba-lomba mencari simpati rakyat. Namun ketika mereka berhasil menduduki kursi kekuasaan, mereka seakan-akan lupa terhadap janji-janji manis mereka saat pemilu. Walhasil rakyat hanya bisa gigit jari sembari menikmati kesesengsaraan yang dilakukan para politisi.
Islam Tidak Anti Kritik
Dalam Islam, kritik atau dakwah muhasabah kepada penguasa wajib dilakukan. Sebagaimana dalam hadis Nabi dari Abu Sa'id al-Khudri ia berkata, Rasulullah shalallallahu 'alaihi wasallam bersabda "jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa atau pemimpin yang zalim." (HR Abu Dawud)
Begitupun dalam hadis yang lain dari Ummu Salamah, Rasulullah shalallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda "Kelak akan ada penguasa lalu kalian melakukan amar makruf nahi mungkar. Siapa saja yang melakukan amar makruf nahi mungkar maka dia telah bebas dari bertanggung jawab di hadapan Allah. Siapa saja yang melakukan nahi mungkar maka dia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang rida dan mengikutinya maka dia tidak akan bebas dan tidak akan selamat." (HR Muslim)
Dalil-dalil di atas telah menunjukkan wajibnya umat Islam melakukan muhasabah kepada penguasa yang memimpin mereka jika penguasa tersebut telah berbuat mungkar seperti berbuat zalim atau mengabaikan hak-hak rakyat dan menyalahi hukum-hukum syariat. Jika umat Islam hanya diam dan tidak melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar maka mereka akan berdosa.
Oleh sebab itu ketika penguasa mendapat kritikan atau koreksi dari rakyatnya semestinya ia harus menerima dengan lapang dada dan berintropeksi. Dalam sejarahnya, Islam tidak pernah membatasi kritik yang dilakukan oleh rakyat kepada penguasa karena umat Islam mendapatkan predikat sebagai umat terbaik jika ia gemar beraktivitas amar makruf nahi mungkar. Allah Taala berfirman "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..." (QS Ali Imran ayat 110). Jika umat Islam tidak melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar maka predikat sebagai umat terbaik akan hilang.
Aktivitas amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa pernah dipraktekkan pada saat Umar bin Khattab menjadi seorang khalifah. Saat itu Umar bin Khattab pernah berpidato terkait larangan memberikan mahar kepada wanita lebih dari 400 dirham karena Rasulullah dan para sahabat tidak pernah memberi mahar melebihi 400 dirham. Selepas Umar berpidato, seorang perempuan Quraisy berdiri dan memprotes pidato umar dengan mengingatkan Umar pada QS An-Nisa ayat 20 yang berbunyi "... kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak sebagai mahar..." Protes yang dilayangkan wanita tersebut membuat Umar segera beristighfar dan kembali berpidato di atas mimbar untuk memperbaiki kebijakannya dengan mempersilahkan para lelaki untuk memberikan mahar kepada istrinya melebihi 400 dirham.
Sikap teladan yang ditunjukkan Umar saat dikritik rakyatnya telah membuktikan bahwa Islam tidak anti kritik dan memperhatikan keadilan bagi rakyatnya baik Muslim maupun non-Muslim. Telah banyak kisah-kisah yang menceritakan keadilan yang diberikan Islam dalam mengurusi rakyat karena khalifah yang dipilih adalah seorang yang bertakwa dan senantiasa mengamalkan hadis Nabi "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnnya." (HR Bukhari)
Dengan demikian, sudah semestinya rakyat menerapkan aturan Islam dalam kehidupan agar tidak ada lagi kebijakan-kebijakan yang menzalimi mereka. Tak usahlah berharap kepada sistem Kapitalisme yang hanya berasas manfaat dan tak pernah menyejahterakan rakyat.
Rasulullah shalallallahu 'alaihi wasallam bersabda "Siapa saja yang diamanahi oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya." (HR Muslim). Wallahu 'alam bis shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H