Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Adab Meminjam Barang dalam Islam

4 Desember 2022   21:10 Diperbarui: 4 Desember 2022   21:29 2176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adab Meminjam Barang dalam Islam

Oleh : Hanifah Tarisa Budiyanti (Mahasiswi)

Dalam kehidupan sosial, aktivitas meminjam barang biasa dilakukan oleh sesama manusia. Aktivitas ini telah menunjukkan adanya sikap tolong menolong antar manusia dan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan dari sesamanya. Allah Taala berfirman "Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa,..." (TQS Al-Ma'idah ayat 2). Namun terkadang aktivitas meminjam barang ini menimbulkan kesalahpahaman bahkan permusuhan diantara kedua belah pihak karena beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya peminjam barang tidak mengembalikan barang dalam waktu yang lama atau barang tersebut rusak saat dikembalikan.

Oleh sebab itu untuk menghindari permusuhan dan kesalahpahaman antar manusia, Islam telah memberikan aturan dalam aktivitas meminjam barang. Aturan ini berlaku bagi setiap manusia khususnya Muslim yang meminjam barang atau yang dipinjam barangnya. Dalam hukum fiqih Islam, aktivitas pinjam meminjam disebut dengan istilah 'ariyah yang artinya suatu aqad yang berupa wewenang untuk mengambil manfaatnya tanpa merusak nilai barang tersebut.

Hukum-hukum 'ariyah mencakup beberapa hal, diantaranya :

  • Barang yang dipinjam harus sesuatu yang mubah (diperbolehkan), bermanfaat, tidak rusak, tidak habis setelah diambil manfaatnya dan bukan benda yang haram atau mengandung mudharat (keburukan).
  • Jika Mu'ir (yang meminjamkan) mensyaratkan musta'ir (peminjam) wajib mengganti barang yang dipinjam jika ia merusaknya, maka musta'ir wajib menggantinya.
  • Musta'ir harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman saat meminjam atau mengembalikan jika barang pinjaman tersebut harus memakai kuli pengangkut.

Adapun rukun dan syarat 'ariyah adalah seorang Mu'ir berhak meminjamkan barangnya tanpa ada yang memaksa dan barang yang dipinjamkan merupakan milik mu'ir. Begitupun musta'ir berhak menerima pinjaman barang tanpa ada yang memaksa, berhak mengambil manfaat atas barang yang dipinjam tersebut dan ia tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya kepada orang lain.

Maka dengan hal ini perlu diingat bahwa siapapun yang meminjam barang, harus menjaga barang tersebut dengan baik karena barang yang dipinjam tersebut merupakan suatu amanah. Hendaknya saat meminjamkan barang harus ada kejelasan akad (kesepakatan) yang telah disepakati kedua belah pihak. Akad tersebut seperti berapa lama waktu peminjaman dan keadaan barang yang dipinjam harus dengan kondisi seperti semula saat dipinjam. Allah Taala berfirman "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu." (TQS Al-Ma'idah ayat 1). Selain itu, seorang Muslim harus memiliki rasa saling percaya dan tidak boleh ada rasa suudzan (berprasangka buruk) terhadap saudaranya saat meminjam atau meminjamkan barang.

Seorang Muslim juga harus memahami bahwa semua yang ada pada dirinnya baik harta, keluarga dan seluruh anggota tubuhnya merupakan titipan dari Allah. Maka hendaknya seorang Muslim harus menjaga dengan baik semua titipan dari Allah tersebut agar terhindar dari salah satu ciri-ciri orang munafik yaitu apabila diberi amanah ia berkhianat. Demikianlah aturan Islam dalam mengatur aktivitas pinjam meminjam. Sebaiknya manusia memperhatikan dan menjalankan aturan ini agar tercipta pola kerukunan dan adab yang baik antar sesama manusia.

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Tidaklah setiap kalian kecuali sebagai seorang tamu, dan seluruh hartanya adalah pinjaman. Maka sang tamu pun akan pulang dan pinjamannya akan dikembalikan kepada pemiliknya." (Al-Fawa'id karya Ibnul Qayyim rahimahullah, 217). Wallahu'alam bis shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun