Kalian tahu, kan, seperti apa panasnya api? Sejak kecil, aku sudah tahu jawabannya, meski bukan dari pengalaman langsung. Aku lahir dalam keluarga yang sangat taat, yang mengajarkan agama dengan ketat.
Ayahku selalu menekankan pentingnya salat lima waktu, dengan suara tegas yang tak memberi ruang untuk pengecualian. Setiap kali ia bercerita tentang panasnya api neraka, ketakutan yang sangat mendalam menyelimuti diriku.
Aku tak pernah bisa melupakan gambaran itu---api yang lebih panas dari apapun yang ada di dunia ini, membakar tanpa henti. Ketakutan itu seperti bayangan yang tak pernah pergi, terus mengikutiku, mengintai di setiap langkahku, meski aku berusaha untuk mengabaikannya.
Satu kejadian yang tak akan pernah aku lupakan, terjadi saat aku berusia tujuh tahun. Ibu sedang memasak di dapur, dan tiba-tiba minyak panas tumpah mengenai tanganku. Rasa sakitnya luar biasa. Kulitku terbakar, memerah, melepuh. Setiap detik yang berlalu terasa seperti penyiksaan tanpa akhir. Hari-hari setelahnya penuh dengan rasa perih yang tak kunjung hilang, meninggalkan bekas yang bukan hanya terlihat, tapi terasa di setiap gerakan.
Setiap kali aku melihat bekas luka itu, bayangan cerita ayahku tentang neraka datang dengan jelas, mengingatkan betapa mengerikannya tempat itu.
"Sesungguhnya neraka itu adalah tempat yang sangat mengerikan, yang menghanguskan dengan api yang membakar. Mereka akan tinggal di dalamnya berabad-abad," kata ayahku dengan suara berat, yang semakin menambah ketakutan dalam hati kecilku. Aku teringat dengan jelas Surah An-Naba ayat 21-23 yang aku hafal saat kelas 2 SD.
Aku bertanya-tanya dalam hati, Apakah ini akan lebih sakit daripada yang kurasakan sekarang?
Karena ketakutan itu, aku menjalani hidupku dengan ibadah yang terasa terpaksa. Setiap salat, setiap doa, aku lakukan hanya untuk satu tujuan: agar aku tidak merasakan panasnya api neraka itu. Rasanya seperti kewajiban yang tak bisa kuhindari, bukan pilihan.
Hidupku hanya berputar pada ketakutan itu---tak ada kebahagiaan atau kedamaian. Aku merasa terikat pada rasa takut yang mengurungku, seolah-olah hidupku hanya untuk menghindari siksaan yang tak terbayangkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, semuanya mulai berubah. Saat aku memasuki bangku kuliah, aku bertemu dengan teman-teman seagamaku, namun mereka sudah tidak lagi melaksanakan lima waktu salat, hanya ketika ingat atau tidak malas. Pikiran tentang neraka yang dulu begitu menghantuiku mulai memudar perlahan. Aku mulai berpikir, Ah, mana mungkin ada api yang panasnya berlebihan seperti itu?
Seiring waktu, aku mulai mengikuti jejak mereka, menjalani hidup dengan cara mereka---melakukan salat hanya sesuka hati, tanpa merasa terikat kewajiban. Kebebasan itu terasa luar biasa, meski dalam hati, aku sedikit meragukan apakah itu benar-benar kebebasan sejati.
Aku merasa seperti burung yang akhirnya keluar dari sangkarnya, terbang bebas tanpa ada yang mengikat.
Namun, hidup ternyata tidak seindah yang kupikirkan. Ketika aku mulai mencari pekerjaan dan menjalani kehidupan dewasa, masalah datang menghampiri.Â
Aku didiagnosis menderita penyakit asma. Nafasku sesak, dan dunia seakan terasa sempit, penuh dengan ketakutan yang sebelumnya tidak pernah kuhadapi.
Aku baru mengetahui bahwa aku memiliki penyakit ini setelah dokter memeriksaku, dan ia menyarankan agar aku menginap di rumah sakit untuk perawatan. Saat aku terbaring di tempat tidur rumah sakit, rasa hampa menyerang. Rasanya seperti seluruh dunia menghilang.
Dalam kesendirian itu, aku teringat satu hal yang selama ini selalu kuabaikan---salat.
Saat itu, aku belum melaksanakan salat dzuhur, dan tanpa pikir panjang, aku bangkit untuk menunaikannya. Ketika aku mulai salat, tubuhku terasa sangat berat, hampir seperti tak mampu bergerak. Namun, perlahan, di rokaat kedua, tubuhku mulai terasa lebih ringan. Di rokaat ketiga, aku mulai fokus pada bacaan-bacaan yang dulu pernah kuhafal saat SD, dan di rokaat terakhir, aku merasa air mata mengalir begitu saja, tanpa bisa kucegah.
Aku menangis, bukan karena rasa sakit, tapi karena kehangatan yang mulai meresap dalam hatiku. Aku merasa begitu dekat dengan Tuhanku, seolah-olah segala ketakutanku menguap begitu saja. Aku merasa seperti sedang dipeluk oleh-Nya, dan tubuhku yang tadi terasa lelah kini menjadi hangat.
Air mataku terus mengalir, seakan memberiku ketenangan yang luar biasa.
Aku menyelesaikan sholat dengan isakan, dan pertanyaan-pertanyaan itu datang begitu cepat: Kemana saja aku selama ini? Kenapa aku baru merasa hangat sekarang? Apakah ini yang disebut hidayah?
Usai sholat, aku kembali terbaring di kasur rumah sakit, memejamkan mata, berdoa dalam hati, dan memohon ampun. Aku merasa bahwa agama yang aku peluk selama ini adalah tempat yang tepat untukku, dan aku merasa nyaman dengan kepercayaanku.
Rasa takut yang dulu menghantui kini berubah menjadi rasa kedamaian yang tak terlukiskan. Mungkin ini yang dinamakan hidayah---sebuah kedamaian yang datang begitu tiba-tiba, mengubah segalanya dalam sekejap.
"Tabarakallahh Azlan," sela ustadz yang mendengarkan kisah Azlan yang sangat mengharukan, disambung dengan tepukan tangan penuh semangat dari ketiga temannya. Suasana ruangan ngaji itu mendadak terasa hangat dan mengharukan, seolah-olah seluruh ruang dipenuhi dengan cahaya yang menenangkan.
"Istiqomah terus ya Lan," ucap salah satu temannya dengan senyuman lebar sembari menepuk pundak Azlan dengan lembut. Azlan merasa seolah-olah beban yang selama ini dipikulnya sedikit lebih ringan, melihat ketulusan di mata teman-temannya.
Sejak kejadian itu, Azlan mulai memperdalam dan mengenal agama Islam dengan penuh semangat.Â
Kini, ia memiliki tiga teman yang sama-sama belajar agama Islam dengannya, dan seorang ustadz yang dengan sabar siap menjawab segala pertanyaannya. Mereka semua saling mendukung, belajar bersama dengan tekun, dan merasakan kedekatan yang lebih kuat dengan agama yang mereka cintai.
"Nah, ustadz punya quotes nih dari ceritanya Azlan," ucap ustadznya dengan nada misterius, membuat teman-temannya dan Azlan saling memandang penuh rasa penasaran.
 "Apa tuh, ustadz?" tanya mereka serentak, hampir tak sabar ingin mendengarnya.
Sebelum mengucapkan quotes itu, ustadznya menyeruput kopi dengan perlahan, seakan mengumpulkan kekuatan untuk kata-kata yang akan menggetarkan hati mereka.Â
Ia berdehem, kemudian berkata dengan penuh makna, "Sakit adalah tanda Allah rindu kepada hamba-Nya, mengingatkan kita bahwa Dia selalu dekat."
 Senyuman ustadznya merekah dengan penuh kehangatan, dan dalam momen itu, suasana menjadi begitu intim, dipenuhi rasa haru yang mengisi hati keempat muridnya.Â
Mereka sadar bahwa dalam setiap ujian, ada kasih sayang yang tersembunyi, yang mungkin hanya bisa dipahami dengan hati yang lapang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H