Mohon tunggu...
Falishach
Falishach Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajarr

Cerita ini, diambil dari sedikit pengalaman di hidupku….

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bingung, Tapi Harus Memilih (Bagian 2)

21 November 2024   12:40 Diperbarui: 21 November 2024   12:41 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Aku menarik napas panjang. Ternyata, game kedua dimulai dengan sesuatu yang sama sekali tidak kuperkirakan---kakak kelas memberi perintah agar kami semua berdiri dan membentuk dua barisan panjang seperti kereta api.
Aku melirik sekeliling dengan cemas. Beberapa teman langsung berdiri dengan semangat, sementara yang lain masih duduk, tampak ragu-ragu seperti aku.

"Kenapa harus berbaris seperti ini? Apa yang akan terjadi sekarang?" pikirku, bingung dan sedikit khawatir.
Aku ikut berdiri, mencoba meniru gerakan teman-teman di sekitarku, meskipun dalam hati aku masih bertanya-tanya. Keringat dingin mulai terasa di telapak tanganku, dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Di belakang saja," pikirku sambil melangkah perlahan ke barisan belakang. Dari sana, aku bisa mengamati tanpa terlalu banyak menarik perhatian.

"Oke, bagus! Semua sudah berdiri dan berbaris?"

Ucap kakak kelas, suaranya terdengar agak tegas dan penuh semangat. Aku yang sudah merasa pasrah akhirnya berdiri di barisan ketiga.
Untungnya, dua teman di depanku cukup tinggi, jadi aku bisa sedikit merasa tenang. Aku mengambil napas dalam-dalam dan bersiap. Game ini ternyata adalah tes kefokusan dan kekompakan yang sudah sering dimainkan sejak SD. Kakak kelas menjelaskan aturan dengan serius. 

"Setiap kali kakak memberi perintah, kalian harus bergerak bersama-sama. Jika kakak bilang maju, kalian maju. Kalian harus kompak!"

Aku yang masih sedikit kebingungan langsung merasakan tekanan. Jika kami salah gerakan, bisa-bisa barisan kami kacau. Aku harus fokus, tapi rasa gugup ini tetap saja tak kunjung hilang.

Barisan kami harus melawan barisan lain, dan masing-masing barisan berisi delapan orang. Rasanya seperti ujian besar---aku hanya berharap bisa bergerak sesuai instruksi tanpa membuat malu.

Akhirnya, kami berhasil! Barisan kami menang! Kami semua tertawa bersama. Tidak ada yang menyadari bahwa meskipun belum saling mengenal, kami sudah merasa seperti teman akrab.
Tawa kami masih bergema ketika terdengar suara adzan dzuhur dari masjid. Itu menandakan akhir dari acara ini.

Aku kira aku akan berjalan ke asrama dengan satu teman, tapi mereka langsung berlarian ke sana. Aku lihat ada dua teman yang sudah terlihat sangat akrab. Aku pikir mereka pasti satu sekolah waktu SD, jadi wajar saja mereka bersama.

Tapi, setelah memikirkan itu, aku baru sadar kalau teman-teman SD-ku tidak ada yang satu SMP denganku. Jadi, aku merasa kalau aku harus bisa mencari teman baru di sini.

Sambil merenung, aku sampai di pintu asrama dan melihat banyak teman-temanku sedang duduk-duduk di teras sambil mengantri untuk berwudhu.
Aku segera melepas kaus kakiku dan menuju antrian, ternyata masih banyak yang kosong. "Syukurlah," pikirku, merasa sedikit lebih tenang.

Setelah mengambil air wudhu, rasa malu kembali muncul. Aku masih canggung untuk berbicara dengan teman-teman baru, jadi aku langsung bergegas menuju tempat acara tadi untuk sholat berjamaah.
Karena langkahku tidak terburu-buru, aku sempat melihat ukiran di gedung yang bertuliskan "Gedung Besar Khodijah." Gedung ini memiliki tiga lantai.

Lantai pertama digunakan untuk menyambut murid-murid baru dan ada beberapa ruang guru. Lantai kedua adalah tempat perempuan sholat dan tempat untuk acara-acara seperti tadi. Di lantai ketiga, ada empat ruangan yang akan dipakai untuk belajar nanti.

"Semoga aku bisa merasa lebih nyaman di sini," pikirku.

Aku langsung menaiki tangga menuju lantai dua dan duduk di barisan pertama. Barisan pertama terasa nyaman dan tenang, jadi aku memilih untuk duduk di sana.

Karena sholat berjamaah dan aku harus menunggu teman-teman yang lain, mataku tiba-tiba tertuju pada seorang teman yang duduk di pojokan. Tanpa aku rencanakan, naluriku berkata untuk mengajaknya mengobrol sambil menunggu.

Tapi... aku hanya menatapnya cukup lama, merasa ragu, sampai akhirnya dia menyadari tatapanku dan perlahan menghampiriku.
Hatiku berdegup kencang, seolah ada ribuan pertanyaan yang muncul begitu saja.

"Haruskah aku yang memulai perkenalan? Atau dia yang duluan? Apa yang harus aku katakan?" Batinku terus berputar, bingung dan cemas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun