Mohon tunggu...
Falishach
Falishach Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajarr

Cerita ini, diambil dari sedikit pengalaman di hidupku….

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Presentasi Manis Kaila

11 November 2024   11:20 Diperbarui: 11 November 2024   11:31 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bel sekolah berbunyi panjang, menandakan dimulainya pelajaran Bahasa Indonesia. Di kelas 3 SD itu, suasana pagi yang cerah tiba-tiba berubah riuh. Anak-anak berbisik-bisik, mata mereka melirik ke pintu kelas yang belum juga terbuka. Semua tampak menunggu dengan harap-harap cemas, penasaran siapa yang akan menjadi yang pertama untuk maju.
Akhirnya, pintu kelas terbuka lebar. Bu Mila, guru Bahasa Indonesia mereka, masuk dengan senyum cerah yang menular ke semua wajah. "Selamat pagi, anak-anak! Sudah siap untuk pelajaran hari ini?" sapanya sambil melangkah dengan penuh semangat menuju meja pengajaran. Seketika itu juga, suasana kelas yang tadinya gaduh menjadi hening, semua mata tertuju pada Bu Mila, menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
"Kalau kalian ingat," Bu Mila melanjutkan sambil memandang satu per satu muridnya dengan senyum bijak, "minggu lalu kita belajar tentang teks deskripsi. Teks deskripsi adalah teks yang menggambarkan sesuatu secara detail, supaya orang yang mendengarnya bisa membayangkan dengan jelas, seolah-olah mereka sedang melihatnya langsung. Nah, sekarang waktunya kalian mempresentasikan tugas PR kalian!"
Beberapa anak tampak saling melirik, gelisah, berharap ada yang lain yang mau maju duluan. Tapi Bu Mila, dengan senyum lebar, menambahkannya, "Jangan khawatir, kalian hanya perlu mendeskripsikan benda yang sudah kalian pilih, dan teman-teman di kelas harus menebak. Seru kan?"
Suasana kelas seketika berubah sepi. Semua wajah tampak ragu, beberapa teman mulai berbisik di antara mereka. Bu Mila mengernyitkan dahi dan menambahkan dengan suara menggoda, "Oh, iya! Ada hadiah kecil untuk yang berani maju pertama, dan untuk yang bisa menebak dengan benar!"
Kaila, yang sejak tadi diam, tiba-tiba merasa semangatnya menyala. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengangkat tangan setinggi-setingginya, "Saya, Bu!" serunya dengan penuh percaya diri.
Seketika kelas terkejut. Teman-temannya saling bertukar pandang, seakan tak percaya. "Wah, Kaila mau duluan?" bisik seorang teman. Ada yang tertawa kecil, sementara yang lain mengernyitkan dahi, "Kaila berani banget, ya, langsung maju pertama!"
Bu Mila mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, Kaila. Silakan maju."
Kaila, yang merasa jantungnya berdegup kencang, perlahan berdiri. Langkahnya terasa lebih berat dari biasanya, meskipun semangatnya membara. Di depan kelas, ia menatap teman-temannya yang sudah menunggu dengan penuh harap. "Jadi..." Kaila mencoba mengatur napas, "Hari ini aku akan mendeskripsikan sesuatu. Coba kalian tebak, ya, makanan apa ini!"
Kelas langsung terdiam. Semua mata tertuju padanya. Kaila melanjutkan, "Makanan ini kecil, bulat, dan lembut sekali kalau digigit. Di luar, kadang-kadang ditaburi sesuatu yang seperti bedak putih..."
Beberapa teman mulai berbisik, "Kue apa ya?" "Biskuit?" Tapi Kaila belum selesai. "Coba pikirkan, ini bukan kue biasa," katanya, suara sedikit menantang. "Ini lebih kenyal, dan rasanya manis sekali."
Tiba-tiba, Onca, yang duduk di barisan depan, mengangkat tangan dengan cepat. "Saya tahu! Itu pasti kue cubir, kan, Kaila?" jawabnya penuh percaya diri.
Kaila tersenyum, namun menggelengkan kepala. "Hmm, bukan, Onca. Coba pikirkan lagi!" jawabnya dengan nada menggoda. Ia ingin memberi kesempatan bagi teman-temannya untuk berpikir lebih jauh.
Kaila melanjutkan, "Makanan ini juga nggak hanya ada di acara-acara tertentu. Kalian bisa menemukannya di pasar, di kedai kecil, bahkan di toko online!" Ia berhenti sejenak, mengamati ekspresi teman-temannya yang mulai bingung. "Makanan ini biasanya dibungkus dengan daun, ada yang pakai plastik, dan bahkan ada yang pakai kertas. Semua bungkusannya ringan banget, lho."
Kelas semakin tegang. Beberapa anak mengerutkan dahi, berusaha keras mencari jawaban. "Hmm, kenapa ya makanan ini enak banget dan bikin ketagihan?" Kaila menambahkan dengan semangat. "Biasanya kalau kalian makan, ada rasa kenyal dan lengket di gigi, dan manisnya langsung menyebar di mulut."
Teman-teman mulai berbisik lebih keras, beberapa mulai berbicara pelan, saling mencoba menebak. Arbin, yang duduk di dekat jendela, melontarkan tebakannya, "Jangan-jangan ini... es krim?" yang langsung disambut gelak tawa dari teman-temannya.
Namun, di saat kelas mulai mereda, Nila, yang duduk di belakang, mengangkat tangan dengan penuh keyakinan. "Mochi, Kaila! Itu pasti mochi!" serunya dengan penuh antusiasme.
Suasana kelas seketika berubah. Beberapa teman terkejut, tapi Kaila hanya tersenyum lebar. "Betul sekali, Nila! Itu mochi!" jawabnya dengan ceria.
Kelas pun langsung riuh. Beberapa teman tertawa, ada yang merasa lega karena sudah menebak dengan benar, sementara yang lain merasa kecewa karena sudah hampir menebak, tapi takut salah. "Wah, akhirnya mochi juga!" ujar salah satu teman, sedangkan yang lainnya tertawa kecil karena tebakannya ternyata salah.
Bu Mila, yang sejak tadi memperhatikan dengan seksama, mengangguk dengan kagum. "Hmm, mochi, ya? Kenapa Kaila memilih mochi sebagai bahan deskripsi?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Kaila merenung sejenak, seperti mengingat kembali sebuah kenangan manis. Dengan senyum tipis, ia berkata, "Enak banget, kan, mochi itu? Aku sering banget dibelikan mochi oleh orangtuaku, terutama kalau ada acara keluarga. Suatu hari, ayahku tiba-tiba tanya, 'Kaila suka mochi, ya?' Aku langsung bilang, 'Iya banget, Ayah!' Lalu, ayahku bilang, 'Tau nggak sih, ada hikmah di balik si mochi ini?'"
Kaila berhenti sejenak, memandang teman-temannya yang tampak penasaran. "Ayahku bilang, mochi itu kenyal dan lengket, seperti perjalanan hidup kita. Kadang kita merasa terjebak dalam kesulitan, merasa berat, dan ingin menyerah. Tapi seperti mochi yang dibuat dengan sabar, setiap usaha dan perjuangan itu akhirnya akan membuahkan hasil yang manis."
Matanya berbinar, penuh semangat. "Jadi meskipun hidup bisa terasa berat dan penuh tantangan, kita harus tetap berusaha dan nggak boleh menyerah. Hasil manis, seperti mochi yang kenyal itu, pasti datang pada waktunya."
Bu Mila tersenyum bangga. "Kaila, itu penjelasan yang sangat luar biasa," puji Bu Mila. "Tidak hanya menjelaskan mochi dengan sangat baik, tetapi juga bisa mengaitkan makanan ini dengan pelajaran hidup yang sangat berharga. Kalian semua, harap bisa belajar dari apa yang disampaikan Kaila. Kesabaran dan kerja keras itu sangat penting."
Setelah Kaila selesai, Bu Mila melanjutkan dengan senyum lebar, "Karena Kaila berhasil mendeskripsikan dengan sangat baik, Kaila, kamu pantas mendapatkan hadiah ini!" Bu Mila kemudian memberikan sebuah bingkisan kecil kepada Kaila sebagai penghargaan atas penjelasannya yang luar biasa. Kaila menerima hadiah itu dengan senyum lebar dan hati yang penuh rasa syukur.
Kemudian Bu Mila memandang Nila yang dengan percaya diri berhasil menebak makanan yang dideskripsikan Kaila. "Dan karena kamu juga berhasil menebak dengan tepat, Nila, kamu pantas mendapatkan hadiah ini!" Bu Mila memberikan bingkisan kecil kepada Nila. Nila menerima hadiah itu dengan wajah cerah dan penuh rasa bangga.
Setelah itu, Bu Mila menoleh pada Onca, yang tampak sedikit kecewa karena belum berhasil menebak dengan benar. "Onca, kamu sudah mencoba dengan baik. Jangan khawatir, kesempatan berikutnya pasti bisa! Terus berlatih dan percayalah, kamu pasti bisa menebak dengan benar nanti!" ujar Bu Mila dengan senyum penuh semangat, memberikan semangat pada Onca.
"Sekarang, siapa yang ingin melanjutkan presentasi setelah Kaila?" tanya Bu Mila dengan suara ceria. "Jangan ragu, siapa pun bisa melanjutkan! Ayo, siapa yang berani?"
Beberapa teman mulai saling melirik, ada yang mengangkat tangan ragu-ragu, sementara yang lain sudah terlihat lebih percaya diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun