Mohon tunggu...
Hanifah Salsabila
Hanifah Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Hani senang membaca, menulis juga sesekali. Ia cukup tertarik dengan isu-isu lingkungan dan suka menonton pertandingan badminton dan bola basket.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Ketika Eksplorasi Alam Semesta Bersinggungan dengan Krisis Iklim

3 Januari 2023   13:45 Diperbarui: 3 Januari 2023   13:52 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misi Artemis I sudah berhasil diluncurkan, bahkan juga sudah kembali ke dan dari orbit Bulan setelah mengalami penundaan kurang lebih tiga bulan dari rencana awal. Pesawat ruang angkasa Orion berhasil melaksanakan misinya yang bertugas untuk mengobservasi Bulan untuk kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan, sekaligus bekal untuk menjadi bahan pertimbangan misi selanjutnya. Di masa yang akan datang, misi Artemis II dan III direncanakan untuk ditumpangi astronaut yang kemudian akan melakukan pendaratan di permukaan Bulan untuk pertama kalinya setelah misi terakhir yang dilakukan Neil Amstrong jauh sebelum teknologi eksplorasi ruang angkasa semaju sekarang.

Manusia memiliki sifat "tidak pernah puas", salah satunya pada kebutuhan ilmu pengetahuan. Ruang angkasa adalah entitas yang terlalu menarik untuk dilewatkan. Berbagai upaya dilakukan manusia untuk meneliti alam semesta dan isinya. Untuk mendapatkan hal se-berharga ilmu pengetahuan tentang tempat yang jauh dari Bumi, banyak pengorbanan yang harus dilakukan, seperti masa depan Bumi, dalam hal ini krisis iklim.

Kalau begitu, apakah eksplorasi ruang angkasa lebih penting daripada masa depan kehidupan manusia di Bumi? Apakah ketika para ilmuwan menemukan planet lain yang layak huni, Bumi akan ditinggalkan begitu saja? Apakah itu adalah opsi terbaik dalam menghadapi krisis iklim Bumi? Lalu, ketika planet baru nantinya kemudian dirusak oleh manusia lagi seperti Bumi, apakah manusia akan pindah lagi? Bagaimana dengan upaya menghentikan laju peningkatan suhu Bumi sesuai Perjanjian Paris?

Setiap pesawat ruang angkasa yang diluncurkan dari Bumi akan melepaskan gas rumah kaca yang berbahaya bagi atmosfer, yaitu black carbon. Menurut Dallas, dalam penelitian berjudul The Environmental Impact of Emissions from Space Launches: A Comprehensive Review (2020), tahap lift off dan early launch pada saat peluncuran pesawat ruang angkasa memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan di Bumi, karena membutuhkan bahan bakar yang banyak untuk meluncur dengan melawan gravitasi Bumi. Bahan bakar yang digunakan umumnya adalah kerosene yang menghasilkan black carbon. 

Selain itu, ketika dibakar, asap hasil pembakaran akan muncul, yang artinya polusi untuk udara di Bumi. Jika membahayakan seperti itu, apakah artinya misi-misi peluncuran pesawat ruang angkasa harus dihentikan? Bagaimana dengan kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan tentang alam semesta?

Belum habis permasalahan polusi, ternyata peluncuran pesawat ruang angkasa tidak hanya tentang eksplorasi alam semesta untuk kebutuhan ilmu pengetahuan. Sebuah perusahaan di Amerika Serikat bahkan membuka program destinasi wisata di ruang angkasa, yang bernama Space Adventures. Kemudian, perusahaan seperti SpaceX dan Blue Origin bekerja sama dengan perusahaan ini untuk mengomersialkan aktivitas peluncuran pesawat ruang angkasa. 

Jika hal itu kemudian bertransformasi menjadi hal yang wajar, emisi karbon yang dikeluarkan oleh kendaraan tersebut akan sangat merugikan banyak orang dan hanya menguntungkan segelintir orang yang menikmati aktivitas eksplorasi ruang angkasa dan pemilik perusahaan yang memberikan kesempatan bagi orang-orang "biasa" untuk bisa melihat Bumi, Bulan, dan segelintir objek ruang angkasa yang terjangkau dari orbit Bumi---tempat destinasi wisata ini berada.

Manusia memang menyukai hal-hal yang "indah", tetapi ketika keindahan itu akhirnya "merusak", apakah manusia bisa mengembalikan sesuatu yang rusak itu kembali ke kondisi sediakala? Telah bertahun-tahun perubahan iklim yang diakibatkan manusia berdampak buruk bagi Bumi. Peluncuran pesawat ruang angkasa, dengan serangkaian persiapan hingga penyelesaiannya melepaskan emisi karbon yang besar. Selain karbon dioksida, zat penyumbang kontribusi terbesar kedua adalah black carbon. Seperti yang disebutkan Dallas, mesin roket, baik yang menggunakan bahan bakar cair maupun padat berpotensi menghasilkan black carbon saat peluncuran.

Perusahaan aerospace milik Elon Musk, SpaceX, telah merancang dan menggunakan roket yang bisa dipakai berulang kali. Hal ini patut diapresiasi. Namun, perlu diingat bahwa SpaceX sudah berulang kali juga meluncurkan roket tersebut, Falcon 9, pada tahun 2022 yang artinya, sudah banyak bahan bakar yang digunakan dan emisi karbon yang dilepaskan. Jika praktik ini terus meningkat, yang akan terjadi berikutnya adalah lapisan ozon yang kian menipis. Artinya pemanasan global makin memburuk.

Untuk seseorang yang mengagumi keindahan alam semesta, adalah suatu kesenangan melihat adanya upaya eksplorasi ruang angkasa yang dilakukan para ilmuwan. Hal tersebut kemudian melahirkan fakta dan pengetahuan baru tentang alam semesta yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Namun, ketika eksplorasi ruang angkasa merujuk pada pencarian planet lain yang layak huni selain Bumi, saya sangat menolak ide tersebut. 

Seperti yang sering digalakkan aktivis lingkungan, saya percaya bahwa tidak ada planet lain sebaik Bumi untuk dihuni oleh manusia. There is no planet B, kata mereka. Kalaupun planet B itu benar-benar bisa ditemukan, bagaimana dengan proses pemindahan umat manusia ke sana? Seperti yang diketahui bersama, perjalanan di ruang angkasa tidak sama dengan perjalanan di permukaan Bumi yang tentu akan menghabiskan waktu, tenaga, dan upaya yang jauh lebih tinggi dan besar. Belum lagi adanya potensi 'pindah planet' lagi jika nanti planet tersebut dirusak oleh manusia.

Ilmu pengetahuan memang penting, tetapi apalah arti ilmu pengetahuan jika manusia tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya dan secara tidak sadar merusaknya? Untuk hidup, manusia butuh lingkungan yang layak dan dapat membantunya. Untuk mengoptimalkan bantuan dari lingkungan sekitarnya, manusia butuh ilmu pengetahuan. Namun, ketika ilmu pengetahuan itu justru menghancurkan lingkungan dan masa depan kehidupan manusia, apakah itu masih bisa disebut penting? Sudah seharusnya manusia belajar untuk menghargai dan menjaga lingkungannya jika ingin terus hidup dan mempertahankan entitasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun