Tragedi memilukan yang baru-baru ini terjadi yaitu di mana seorang anak laki-laki berusia 14 tahun tega melukai keluarganya sendiri hingga ayah dan neneknya tewas terbunuh. Meskipun pihak kepolisian masih melakukan pendalaman motif tindakan tersebut, akan tetapi telah banyak beredar isu bahwa hal tersebut terjadi karena sang anak sering dituntut untuk memiliki nilai tinggi, harus giat belajar, dan menjadi orang yang pintar. Apabila memang betul motifnya seperti hal tersebut, maka hal ini mengingatkan kita akan pertanyaan mendasar: Apa sebenarnya makna pendidikan?Â
Dalam masyarakat yang semakin kompetitif, pendidikan sering direduksi menjadi sekedar alat untuk mencapai nilai tinggi, posisi prestisius, atau karier gemilang. Akan tetapi, apakah pendekatan ini telah melupakan aspek terpenting dari pendidikan itu sendiri yaitu pembentukan karakter, kasih sayang, dan harmoni dalam keluarga?
Dari pertanyaan yang timbul tersebut, kita perlu menarik ke zaman saat ini yang sedang terjadi. Dimana di tengah tuntutan zaman, pendidikan sering kali dipersepsikan hanya sebagai jalan menuju kesuksesan material. Orang tua berlomba-lomba menanamkan ambisi besar pada anak, seperti menjadi juara kelas, masuk perguruan tinggi ternama, atau menguasai banyak bidang sekaligus. Namun, dalam prosesnya, hubungan emosional antara orang tua dan anak sering terabaikan hingga maksud dan tujuan orang tua terkadang tidak sampai ke dalam pemikiran sang anak, begitupun sebaliknya.
Apabila saat ini pendidikan hanya diukur melalui pencapaian akademik, anak-anak cenderung merasa terbebani. Beban ini tidak hanya mengikis kebahagiaan mereka, tetapi juga memengaruhi hubungan mereka dengan keluarga. Sebuah survei oleh American Psychological Association menemukan bahwa tekanan akademik merupakan salah satu penyebab utama stres pada anak-anak dan remaja. Maka dari itu, kita perlu merefleksi dari sebuah tragedi yang terjadi baru-baru ini di Jakarta.
Dimana tragedi keluarga ini memberikan pelajaran penting bagi masyarakat luas, khususnya kepada orang tua dan pemerintah. Anak yang terlibat dalam insiden tersebut mungkin merasa terisolasi, tidak dimengerti, atau bahkan tertekan oleh ekspektasi yang berlebihan. Ketika komunikasi di dalam keluarga tidak terjalin dengan baik, anak-anak cenderung menyimpan emosi negatif yang pada akhirnya meledak dalam bentuk perilaku destruktif. Sehingga timbul-lah pertanyaan baru, Bagaimana cara kita sebagai orang tua dapat memastikan bahwa pendidikan tidak hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk pribadi yang sehat secara mental dan emosional? Jawabannya adalah kita sangat perlu mengembalikan esensi dari Pendidikan itu sendiri. Berikut esensi-esensi pendidikan yang perlu kita ingat dan dalami kembali:
1. Pendidikan Bukan Hanya Tentang Hasil, Tapi Proses
Pendidikan seharusnya membantu anak-anak menemukan jati diri mereka, bukan menciptakan tekanan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Orang tua perlu menghargai usaha anak, bukan semata-mata hasil akhir seperti nilai atau penghargaan.
2. Keluarga sebagai Tempat Aman untuk Berbicara
Komunikasi yang terbuka dan sehat antara orang tua dan anak sangat penting. Anak-anak perlu merasa bahwa keluarga adalah tempat di mana mereka bisa berbagi cerita tanpa rasa takut dihakimi. Dengan begitu, mereka dapat mengungkapkan emosi mereka sebelum menjadi masalah yang lebih besar.
3. Mengajarkan Empati dan Kasih Sayang
Pendidikan sejati dimulai dari rumah. Orang tua perlu menjadi contoh dalam menunjukkan empati dan kasih sayang kepada anak-anak mereka. Dengan begitu, anak-anak akan belajar menghargai orang lain dan memahami pentingnya hubungan emosional dalam keluarga.