Bullying di sekolah masih menjadi masalah serius di banyak negara, termasuk Indonesia. Kasus-kasus kekerasan fisik dan verbal yang dialami siswa tidak hanya berdampak pada kesehatan mental dan emosional korban, tetapi juga bisa merusak lingkungan sekolah secara keseluruhan. Meskipun demikian, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah bullying, namun pada kenyataannya fenomena ini masih kerap terjadi. Salah satu pendekatan yang kini mulai dapat dibicarakan sebagai solusi adalah restorative justice atau keadilan restoratif, yang menekankan pada penyembuhan dan tanggung jawab bersama antara pelaku, korban, dan komunitas sekolah. Namun perlu kita ketahui terlebih dahulu, sejauh mana efektivitasnya dalam konteks pencegahan dan pemulihan bullying di sekolah melalui Restorative Justice?
Apa yang dimaksud Restorative Justice?
Restorative justice adalah pendekatan yang berfokus pada pemulihan hubungan yang rusak akibat kejahatan atau tindakan buruk, termasuk bullying. Berbeda dengan pendekatan hukuman tradisional yang hanya menekankan pada pemberian sanksi, restorative justice melibatkan dialog terbuka antara pelaku, korban, dan pihak-pihak terkait untuk memahami dampak dari tindakan yang dilakukan, memulihkan kerugian yang ada, dan menciptakan rencana untuk memperbaiki hubungan.
Dalam konteks bullying di sekolah, restorative justice memberi kesempatan bagi pelaku untuk memahami sepenuhnya dampak dari tindakan mereka, baik bagi korban maupun lingkungan sekolah. Hal ini diharapkan bisa menumbuhkan empati pada pelaku dan mencegah mereka untuk mengulangi tindakan serupa. Sementara itu, korban bullying juga dapat memperoleh ruang untuk menyuarakan pengalaman dan mendapatkan keadilan dengan cara yang lebih sehat, tanpa perlu melihat pelaku dihukum secara fisik atau diasingkan.
Mengapa Restorative Justice Diperlukan?
Pentingnya restorative justice dalam pencegahan dan pemulihan bullying tidak dapat diabaikan. Hal ini karena memiliki beberapa alasan mengapa pendekatan ini dibutuhkan di lingkungan sekolah adalah:
Mengubah Pola Pikir Pelaku: Sering kali pelaku bullying tidak menyadari betapa besar dampak dari tindakan mereka. Dengan dialog terbuka dalam restorative justice, mereka diajak untuk memahami secara emosional dampak dari perilaku mereka terhadap korban. Proses ini mendorong rasa empati dan tanggung jawab, yang dalam jangka panjang dapat mengurangi perilaku bullying.
Pemulihan bagi Korban: Korban bullying kerap merasa terisolasi dan tidak berdaya. Dengan pendekatan ini, mereka tidak hanya dipandang sebagai "korban," tetapi juga diberikan peran aktif dalam proses penyembuhan. Mereka bisa berbicara tentang bagaimana mereka merasakan dampak dari bullying tersebut dan memberikan masukan terkait cara memperbaiki situasi.
Membangun Komunitas Sekolah yang Lebih Kuat: Dengan melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam penyelesaian masalah bullying, restorative justice membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung, di mana semua pihak merasa bertanggung jawab untuk menjaga kedamaian dan keselamatan bersama. Ini bukan hanya masalah individu antara pelaku dan korban, tetapi juga melibatkan para guru, orang tua, dan siswa lain.
Contoh Kasus di Indonesia
Kasus bullying di sekolah memang menjadi perhatian serius di Indonesia. Salah satu contohnya terjadi di tahun 2023, di mana Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) melaporkan bahwa ada 16.720 kasus bullying yang terjadi di sekolah-sekolah. Kasus-kasus ini tidak hanya melibatkan ancaman fisik, tetapi juga verbal dan sosial, yang berdampak pada kesehatan mental para siswa.
Kasus lain yang cukup menonjol terjadi di Binus School Serpong pada tahun 2022, di mana seorang siswa laki-laki menjadi korban bullying karena perbedaan status sosial. Selain itu, baru-baru ini pun juga terjadi di SMA Binus Simprug Jakarta Selatan. Hal ini menggambarkan bagaimana bullying kerap berkaitan dengan faktor sosial dan bagaimana stigma terhadap maskulinitas turut memperburuk situasi. Banyak pelaku bullying pada dasarnya adalah korban dari bullying sebelumnya, sehingga tindakan mereka sering kali didorong oleh dorongan "balas dendam" terhadap sistem yang dirasakan tidak adil.
Adanya kasus-kasus ini menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah. Selain itu, kasus-kasus ini perlu diperhatikan secara serius baik dari pihak sekolah maupun pihak pemerintah dan pihak-pihak tersebut harus segera memberikan problem solving untuk mencegah terjadinya Bullying yang lebih meningkat lagi di sekolah seluruh Indonesia serta menemukan pemulihan efektif, adil dan memberikan kesembuhan khususnya bagi korban bullying.Â
Adapun saran yang dapat dipaparkan dalam kasus seperti ini yaitu:
Problem Solving: Mencegah Bullying Melalui Restorative Justice
Untuk mengimplementasikan restorative justice secara efektif dalam mencegah bullying, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh sekolah:
Pelatihan bagi Guru dan Siswa: Guru dan siswa perlu diberikan pelatihan khusus tentang cara menjalankan restorative justice. Pelatihan ini harus mencakup teknik komunikasi, cara menyelesaikan konflik secara damai, dan bagaimana menumbuhkan rasa empati antara siswa.
Kebijakan Sekolah yang Mendukung: Sekolah harus memiliki kebijakan yang mendukung penerapan restorative justice. Ini termasuk memastikan bahwa proses restorative bisa dijalankan dengan transparan dan melibatkan semua pihak terkait, bukan hanya sekadar menghukum pelaku.
Keterlibatan Orang Tua: Orang tua harus dilibatkan dalam proses ini. Mereka berperan penting dalam memberikan dukungan moral bagi anak-anak mereka, baik yang menjadi korban maupun pelaku. Dengan keterlibatan aktif orang tua, penyelesaian masalah bullying bisa lebih komprehensif.
Pengawasan dan Evaluasi: Sekolah perlu melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan restorative justice untuk memastikan bahwa metode ini berhasil mencegah bullying lebih lanjut. Evaluasi berkala juga diperlukan untuk mengukur efektivitasnya dan memperbaiki pendekatan jika diperlukan.
Tantangan dan Langkah Ke Depan
Tentu saja, menerapkan restorative justice di sekolah-sekolah di Indonesia tidak mudah. Tantangan yang mungkin dihadapi antara lain kurangnya pemahaman tentang metode ini, resistensi dari pihak sekolah atau orang tua yang lebih condong pada pendekatan hukuman, serta ketidakmampuan sebagian pelaku untuk sepenuhnya meresapi dampak dari perilaku mereka.
Namun, dengan kemauan bersama dari sekolah, orang tua, dan pemerintah, restorative justice dapat menjadi solusi nyata untuk mengatasi bullying di sekolah. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada menghentikan perilaku negatif, tetapi juga mendorong pembentukan karakter yang lebih baik di antara siswa, membangun lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung serta menumbuhkan rasa empati dari pelaku terhadap korban.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa bullying di sekolah merupakan masalah kompleks yang memerlukan pendekatan yang lebih manusiawi dan efektif. Restorative justice memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dengan menekankan pada pemulihan dan pencegahan melalui dialog, empati, dan tanggung jawab bersama. Di Indonesia, pendekatan ini dapat diintegrasikan dalam kebijakan pendidikan, terutama untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan mendukung pertumbuhan karakter siswa. Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa bullying dapat diminimalisir, dan para pelaku mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri, sementara korban mendapatkan keadilan yang layak.
Restorative justice menawarkan solusi berkelanjutan untuk menciptakan budaya sekolah yang lebih positif, di mana setiap individu dihargai, didukung, dan dijaga hak-haknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H