Kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, baik di sekolah maupun pesantren, semakin marak dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Dimana fenomena kekerasan di dunia pendidikan, baik di sekolah maupun pesantren, ternyata bukanlah kasus terisolasi. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh guru, staf pendidikan, atau teman sebaya di lingkungan sekolah terus meningkat. Menurut laporan KPAI, pada tahun 2020 saja, terdapat 224 kasus kekerasan yang dilaporkan terjadi di sekolah. Kekerasan fisik mendominasi dengan persentase sekitar 54%, sementara kekerasan verbal atau psikologis mencapai 34%. Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan fisik masih dianggap metode lazim oleh sebagian pendidik untuk mendisiplinkan siswa, padahal cara ini jelas bertentangan dengan hukum dan norma pendidikan yang manusiawi.
Salah satu kasus yang mengejutkan adalah seorang siswa yang dihukum karena tidak mengikuti sholat dhuha dan dilempar balok kayu hingga cedera parah bahkan meninggal dunia. Tindakan seperti ini jelas menunjukkan kegagalan dalam membedakan antara disiplin dan kekerasan, di mana pendidik melupakan esensi dari pendidikan karakter yang seharusnya mengedepankan bimbingan dengan kasih sayang, bukan dengan kekerasan fisik. Oleh karena itu, hal ini sangat penting untuk dibahas agar menemukan problem solving mengenai bagaimana pendekatan karakter melalui ibadah dapat dilakukan tanpa memaksa dan tanpa menggunakan kekerasan, serta mengkaji dari prinsip maslahah mursalah dalam Islam dan sudut pandang hukum positif di Indonesia.
Sebelum membahas mengenai pandangan hukum positif di Indonesia, kita perlu mengkaji fungsi dari Pendidikan Karakter melalui Ibadah: Antara Disiplin dan Pemaksaan terlebih dahulu. Dimana pada artikel ini mencoba mengingatkan kembali bahwa sebelum menjalankan suatu keputusan mengenai kebijakan pendidikan karakter untuk siswa, seharusnya guru juga melihat tingkatan maslahah mursalah dan tetap menerapkan kaidah fiqiyyah untuk mencegah hal-hal buruk yang tidak diinginkan terjadi, sehingga apabila dalam melakukan kebijakan pendidikan karakter dan timbul kejadian diluar dugaan, setiap guru telah memegang prinsip yang bijak dan benar sesuai dengan pembentukkan karakter yang ingin digapai.
Perlu kita pahami bersama bahwa maslahah mursalah adalah prinsip dalam hukum Islam yang berfokus pada mewujudkan kemaslahatan umum dan mencegah kerugian. Dalam konteks pendidikan karakter melalui ibadah, prinsip ini menekankan pentingnya pendekatan yang dapat mendatangkan manfaat tanpa menimbulkan mudarat. Mendidik anak melalui ibadah seperti sholat dhuha haruslah dilakukan dengan cara yang bijaksana, bukan dengan kekerasan.
Dimana maslahah mursalah ini memiliki beberapa tingkatan yakni maslahah daruriyah, maslahah hajiyat, dan maslahah tahsiniyah. Pada hakikatnya, guru dalam membentuk karakter siswa melalui sholat dhuha jika dilihat melalui daruriyah khususnya sudah sangat relevan. Namun perlu diingat pula bahwa proses pembentukan karakter ini tidak dapat dicapai dengan cara memaksa, apalagi melalui hukuman fisik yang ekstrem. Dimana sholat dhuha merupakan ibadah sunnah yang semestinya dilakukan dengan penuh keikhlasan, bukan karena tekanan atau paksaan.
Pemaksaan dalam ibadah tidak hanya merusak esensi spiritualnya, tetapi juga dapat menciptakan trauma dan kebencian pada praktik keagamaan itu sendiri. Lebih parahnya, ketika siswa tidak melakukan ibadah tersebut, mereka justru dihukum secara fisik hingga terluka. Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman mendalam tentang metode pengajaran agama yang efektif dan manusiawi.Â
Adapun kaidah fiqiyah yang perlu diperhatikan sebelum guru bertindak atau memberi hukuman pada siswa yakni (menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat). Dalam konteks mendisiplinkan siswa, meskipun guru mungkin bermaksud mendidik karakter siswa melalui ibadah, jika cara yang digunakan menimbulkan kerusakan seperti trauma atau luka fisik bahkan hingga meninggal dunia, maka tindakan tersebut harus dihindari. Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mencapai manfaat yang diinginkan.
Apalagi menggunakan kekerasan fisik sebagai bentuk hukuman untuk kegagalan melakukan ibadah bukanlah bagian dari prinsip maslahah. Sebaliknya, hal tersebut menimbulkan mudarat yang lebih besar bagi siswa, baik dari segi fisik maupun mental. Islam sangat menekankan pentingnya kasih sayang dalam mendidik, sebagaimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan anak-anak dengan penuh cinta dan kelembutan.
Ditambah lagi jika kita melihat pada hukum yang berlaku di Indonesia, yang mana menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, "setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, dan seksual". Pasal 76C menyatakan bahwa: "setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak". Oleh karena itu hukuman fisik, seperti memukul dengan balok kayu hingga menyebabkan luka, jelas melanggar undang-undang ini.
Selain itu, tindakan kekerasan oleh pendidik dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 80 UU Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa: "setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan anak tersebut terluka dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimal Rp100 juta". Dalam hal ini, sang guru yang melempar balok kayu kepada siswa harus dimintai pertanggungjawaban hukum atas tindakannya.
Dari penjabaran tersebut diatas melalui prinsip maslahah mursalah dan hukum positif di Indonesia, maka diperlukan Reformasi dalam Pendekatan Pendidikan Karakter.