Bagai dua mata pisau, begitulah analogi untuk pertumbuhan anak muda Indonesia yang persentasenya sudah mencapai setengah populasi penduduk Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, berdasarkan data dari BPS, total tenaga kerja Indonesia saat ini berjumlah 121 juta jiwa  dan sekitar 7,15 juta  jiwanya adalah pengangguran.
Total pertumbuhan penduduk usia produktif ini bisa menjadi potensi besar bangsa ini, tetapi juga bisa menjadi bumerang karena meningkatnya jumlah pengangguran baru. Tidak usah jauh-jauh, kita bisa lihat di sekeliling kita anak-anak muda yang berseliweran tanpa ada pekerjaan tetap. Alih-alih bisa produktif dan memberi manfaat untuk kehidupan di sekililingnya, kalau untuk kebutuhannya sendiri saja belum terpenuhi.
Hal ini sedikit tidak sangat dipengaruhi karena rendahnya daya saing pemuda kita saat ini. Memang, masih ada anak Indonesia yang mampu bersaing di dunia internasional, tapi jumlahnya sangat sedikit. Jumlah pemuda dengan daya saing tinggi ini pasti akan lebih besar, kalau dari awal pemerintah kita paham betul pentingnya  investasi dini melalui sumber daya manusianya. Tidak lain kata kuncinya di sini adalah peningkatan pendidikan dan kesehatan sebagai kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi.Â
Investasi Kesehatan
Bila dunia pendidikan kita mulai berbenah. Lalu, bagaimana dengan investasi kesehatan kita? Padahal jelas perbaikan di bidang kesehatan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Dalam peningkatan kualitas kesehatan, kita tidak bisa hanya berpuas diri dengan pelaksanaan jaminan kesehatan secara menyeluruh yang saat ini sudah diterapkan. Akan tetapi, secara beriringan yang harus diperhatikan juga dan tidak kalah pentingnya adalah upaya kesehatan masyarakat berupa upaya pencegahan dan promosi kesehatan.
Kesehatan dan Pemuda
Salah satu bentuk kegagalan kita dalam melakukan bentuk pencegahan dan promosi kesehatan adalah meningkatnya persentase remaja perokok kita saat ini. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, persentase remaja perokok dari tahun ke tahun meningkat tajam. Tahun 2010 tercatat perokok usia 15-19 tahun sudah mencapai persentase 20,3%, padahal 10 tahun yang lalu jumlah perokok usia remaja masih berkisar 12,7%. Walau sempat turun 2% di tahun 2013.
Berkaca dari kejadian ini, tidak hanya guru dan orang tua yang seharusnya mengoptimalkan perannya di sini. Akan tetapi, sudah selayaknya, semua pihak harus ikut andil dan membantu menurunkan angka penerus pesakitan karena rokok ini.
Jumlah perokok remaja yang meningkat ini mungkin dari segi bisnis, akan sangat menguntungkan karena bisnis berpikir tentang hari ini bukan masa depan. Asumsinya seperti ini, di saat seorang remaja usia 15 tahun mulai mengkonsumsi rokok, maka dapat dipastikan mereka akan terus merokok karena kecanduan. Akan tetapi beda halnya, kalau kita berpikir dari segi kesehatan, seorang anak yang mulai merokok di usia remajanya, iya akan tumbuh menjadi pemuda yang dari tahun ke tahun produktivitasnya kian menurun dan menjadi genarasi sakit-sakitan.
Peran Pemerintah Aceh
Saat ini, di antara kabupaten/kota di Indonesia yang mempunyai Peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) hanyalah Aceh yang sampai ini belum mengesahkan peraturannya terkait KTR. Padahal amandement terkait hal ini sudah mulai disuarakan dari tahun 2010 oleh pemerintah pusat dimana Jakarta adalah provinsi pertama yang menerapkan Perda KTR di awal tahun 2011.
Bahkan sampai akhir tahun 2014 tercatat bahwa jumlah kabupaten yang sudah memberlakukan Perda KTR mencapai 171 kabupaten dan kota, di antaranya kabupaten di bawah provinsi Maluku, Bali, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, NTB dan DKI . Ironisnya, saat provinsi dan kabupaten kota lainnnya sedang berbondong-bondong menerapkan KTR. Aceh malah tertinggal sangat jauh.
Tidak jelas apakah Pemerintah Aceh menyadari betul pentingnya peraturan tertulis terkait KTR untuk dituangkan dalam Qanun, sebagaimana provinsi dan kabupaten/kota lainnya di Indonesia sudah menerapkannya.
Sebenarnya, lamanya ketok palu untuk Qanun KTR di Aceh ini sudah sangat meresahkan bagi segenap para penggiat pengendalian tembakau di Aceh. Para penggiat pengendalian rokok sadar betul bahwa apabila qanun KTR tidak di sahkan juga, provinsi Aceh akan tertinggal jauh dalam hal pengendalian tembakau.
Maka, kalau sudah begitu, benar adanya seperti yang disampaikan oleh Prof Hasbullah Thabrany, guru besar FKM UI, bahwa masyarakat kita layaknya seekor katak yang diletakkan dalam air yang perlahan-lahan dipanaskan. Selama dalam air tersebut, bahkan katak itu tidak  berusaha meloncat, karena air yang dipanaskan secara perlahan itu, tidak terlihat  dan terdeteksi sebagai hal yang membahayakan baginya. Begitu pula, masyarakat kita karena bahaya rokok yang dirasakan itu terjadi secara perlahan, maka hal itupun tidak disadari bahayanya.
Pemerintah Aceh sudah sangat komit dengan upaya amal ma’ruf nahi mungkar dalam menegakkan syariat islam di Aceh. Lalu, apakah membatasi konsumsi rokok untuk anak sekolah  dan menciptkan udara segar untuk non-perokok bukan sebagai bentuk amal ma’ruf nahi mungkar?
Dibutuhkan peran Pemda yang jelas dalam mengatur regulasi atas pengendalian konsumsi rokok di Aceh ini. Karena hal ini tidak hanya menyangkut kemaslihatan bagi perokok itu sendiri tetapi juga menyangkut kemaslihatan hidup orang banyak, karena dari 1 perokok aktif tersebut akan memberikan dampak yang sangat buruk terhadap 3 sampai 5 orang perokok pasif di sekitarnya.
Berbicara tentang perokok pasif tidak lain yang paling merasakan kemudaratannya di sini adalah perempuan, bayi, anak kecil dan pastinya pemuda bukan perokok. Beberapa waktu lalu, penulis mendapatkan kabar dari seorang kawan bahwa dia didiagnosis terkena pneumoniaalias terdapat flek di parunya sebagai indikasi ada masalah dengan alat pernafasannya. Padahal, penulis tau betul bahkan dia tidak pernah merokok, ternyata kemungkinan besar dia terkena  pneumoniakarena kebiasannya menghirup asap perokok dari para perokok yang ada di komunitasnya.
Seperti yang kita tau bersama bahwa anak-anak dan pemuda adalah cerminan kehidupan bangsa ini kedepan. Apabila hendak melihat Indonesia, dan Aceh khususnya 15 atau 20 tahun ke depan maka lihatlah anak-anak dan pemudanya saat ini. Apakah anak-anak dan pemudanya sudah mampuni atau sekurang-kurangnya apakah telah dipersiapkan untuk menjadi tonggak kebangkitan di masa depan? Maka, jawabnya bisa kita temukan dengan melihat kenyataan yang ada saat ini di depan kita.
Hanifah Hasnur, asisten peneliti di Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (UI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H