Perkenalkan, ia seseorang yang menjalin hubungan denganku dalam jangka waktu yang cukup lama. Banyak kenangan yang pelan-pelan harus di lupakan. Aku, mempunyai keegoisan tinggi yang melunturkan kepercayaanku padanya tanpa meneri penjelasan. Pertengkaran-pertengkaran ku mulai. Hal-hal kecil menjadi masalah besar. Dan pada saat itu aku meminta untuk berakhir tanpa mempertimbangkan semua penjelasan dan ia hanya pasrah menerima.
Ia seseorang yang tetap sabar menghadapiku. Ia berusaha untuk meminta maaf, padahal akulah yang salah. Sabar sabar sabar harus berapa kali ku ulang kata-kata yang mengagumkan ini. Ia sosok manusia paling sabar yang pernah ku kenal.Â
Seseorang yang tak pernah mengeluh atas semua masalah yang dia hadapi. Sampai aku mengelus dada "perasaan bagaimana yang Tuhan titipkan padanya". Ia yang berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa melibatkan orang lain.
Saat itu kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa. Namun ia masih bersikap baik padaku. Seseorang yang masih menemaniku, membantuku, mengerti keadaanku tanpa memaksaku kembali padanya. Namun masalah menimpanya, dengan semua yang ia alami tak satupun yang ia ceritakan padaku. Aku mengetahui dari teman dekatnya. Mulai pertanyaan mengganggu pikiranku. Ia yang selalu ada untukku tapi aku bukan siapa-siapa baginya. Haruskah ia yang selalu ku repotkan padahal ia memiliki masalah yang lebih besar dariku.
Aku memutuskan untuk pergi. Kebiasaan-kebiasaan yang selalu ku lakukan bersamanya kini mulai ku coba sendiri. Biarkan ia menyelesaikan masalahnya dulu. Tak ingin ku menyulitkannya lagi dalam masalahku.Â
Waktu mulai ku jalani sendiri, ada beberapa orang yang mendekatiku. Tapi saat itu aku belum tertarik untuk menjalin hubungan lagi. "Namun jika aku berlama-lama sendiri ia pasti masih berharap untuk kembali" pikirku. Sebulan setelah itu ada sesorang mendekatiku lagi. Inilah mungkin waktunya untukku menjalin hubungan baru.
Seharusnya akulah yang harus memberinya dukungan bukan malah pergi meninggalkannya. Yang ku lakukan malah membuatnya hancur-sehancur-hancurnya. Ia kehilangaan orang-orang penting baginya. Ayahnya dan aku. Menyesal. Boleh ku ucapkan sekali lagi "aku benar-benar menyesal"
2 tahun lalu, saat ku mengenalnya dengan kesan awal yang sangat baik. Ia seakan-akan hadir sebagai malaikat penolongku. Waktu itu kami berada di tempat yang sama dan sama-sama pengisi acara dalam sebuah kegiatan organisasi yang kami ikuti.Â
Aku memiliki rasa ketidak percayaan diri saat tampil. Semua orang menyemangatiku. "Kamu bisa, kamu bisa, kamu pasti bisa". Keraguan sedikit-sedikit mulai terkikis. Hatiku mulai tenang.Â
Tapi saat maju dan berdiri di atas panggung hatiku mulai tak karuan. Dengan sangat was-was aku mulai bernyanyi dengan teman duetku. Wanita yang tanpa ragu-ragu bernyanyi bersamaku, lovi namanya.
Usai penampilan pertama, aku mulai ragu untuk meneruskan penampilan kedua. Tapi aku enggan keluar dari panggung. Ingin rasanya ku meneteskan air mata pada saat itu. Semua orang bersorak ayo-ayo, kecuali laki-laki yang berada tepat di depanku. Ia melihatku dengan penuh pengertian. Ya saat itu aku hanya mengenalnya sebagai senior. Saat melihatnya aku seperti memiliki dukungan dari orang terdekatku. Akhirnya ku putuskan untuk menyelesaikan penampilan kedua.
Usai penampilan aku duduk di tempat penonton untuk melihat penampilan-penampilan berikutnya yang diisi oleh senior-seniorku. Rasa takut belum kelar, aku menangis di pangkuan teman dekatku. Tanpa ku sadari ada seseorang yang menanyakan keadaanku.
"Kenapa be?" ucapnya
"Gakppa mas, ini cuma nervous" jawab temanku
"oalah gakpapa fa, acaranya udah selesai" ia mulai mengajakku bicara. Ini pertama kalinya ia mengajakku bicara. Awal aku melihatnya ia tampak cuek dan pendiam.
Ketika itu aku menanyakan hal ini kepada tuhan. " Tuhan benarkah aku jatuh cinta setelah hal buruk menimpaku dulu". Tentangmu dan sebuah kegagalan. Akulah yang membuat semuanya gagal. Tentang rencana-rencana kita, hubungan kita, dan hal kedepannya. Semuanya gagal. Kesempatan berada di awal dan penyesalan memang selalu berada di akhir. Mungkin ia masih memberiku kesempatan lagi. Namun, itu sudah tak ingin ku ulangi kesalahan yang sama. Biarlah ini menjadi tentangmu dan sebuah kegagalan.
Waldi Maftuhul Firdaus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H