Dalam lingkup perpajakan, khususnya dalam perpajakan internasional istilah Beneficial Owner sangat sering digunakan. Beneficial Owner sering digunakan oleh negara-negara yang berselisih untuk mengatasi masalah perpajakan internasional. Konsep Beneficial Owner tersebut diharapkan dapat mengurangi praktik-praktik penghindaran pajak oleh wajib pajak.
Tentunya setiap orang menginginkan pengenaan pajak yang rendah atas penghasilan yang diterimanya. Namun, dalam praktiknya mereka menggunakan cara yang keliru yang justru bertentangan dengan peraturan yang berlaku dalam P3B sehingga menyebabkan penerimaan pajak di suatu Negara menjadi tidak optimal.
Untuk mengurangi praktik penghindaran pajak tersebut, salah satu konsep yang digunakan adalah konsep Beneficial Owner. Sebenarnya, apa yang dimaksud Beneficial Owner itu?
Dalam model P3B, Beneficial Owner (BO) pada konteksnya dapat diartikan sebagai pemilik manfaat atau pihak yang memperoleh manfaat P3B.
Istilah BO ini merupakan pihak yang memiliki kebebasan atau keleluasaan atas penghasilan yang diterimanya untuk memperoleh dan menggunakan penghasilan tersebut, tanpa adanya ikatan-ikatan tertentu dengan pihak lain yang dapat menghambat hak untuk menggunakan tersebut.
Istilah Beneficial owner terdapat dalam sistem common law yang membedakan kepemilikan menjadi dua, yaitu pemilik hak secara hukum (legal ownership) dan pihak yang memiliki hak untuk menggunakan atau memanfaatkan, meskipun tidak memiliki hak milik secara legal (beneficial ownership).
Mengutip artikel Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (2012), Beneficial owner dalam sistem common law didefinisikan sebagai “pihak yang memenuhi kriteria sebagai pemilik tanpa adanya keharusan pengakuan kepemilikan dari sudut pandang hukum.”
Dengan kata lain, BO merupakan konsep untuk menentukan pihak mana yang berhak untuk memperoleh manfaat dari P3B. Dengan adanya BO tersebut, diharapkan masalah double taxation ataupun double non taxation dapat diatasi.
Konsep Beneficial Owner dalam OECD Model dinyatakan pertama kali pada tahun 1977 yang pada saat itu membahas Pasal 10 tentang dividen, Pasal 11 tentang bunga, dan Pasal 12 tentang royalti.
Namun, konsep BO tersebut belum dijelaskan secara jelas sehingga dalam penafsirannya juga masih rancu dan belum terdapat keyakinan yang pasti. Definisi BO tersebut tidak dinyatakan secara tertulis dalam pasal-pasal di dalam OECD Model, tetapi hanya tercantum di penjelasan dalam OECD Commentary. Dengan begitu, Negara-negara yang berselisih masih kesulitan dalam menentukan pihak yang menjadi BO atas penghasilan yang diperoleh. Dibutuhkan regulasi lebih jelas untuk menentukan siapa yang menjadi BO yang sebenarnya sehingga pengenaan pajak dapat dilakukan secara tepat dan tidak menimbulkan praktik-praktik penghindaran pajak.
Pengenaan pajak di suatu Negara dilakukan atas penghasilan aktif maupun penghasilan pasif. Atas penghasilan aktif, Negara sumber penghasilan berhak mengenakan pajak utama di negaranya.