Mohon tunggu...
Hanifa Asya Fitri
Hanifa Asya Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Enthusiastic and committed professional with a Bachelor's degree in Psychology and passionate about fostering individual development among children, adolescents, and in the realm of human resource development. Skilled in counseling, psychological assessment, administration, job analysis, organizational support, and data management. Experienced with developing stimulation and psychoeducation programs, also Google Workspace, and Microsoft Office. Strong interpersonal skills with a proven ability to support employee growth and contribute to a positive work environment. Eager to leverage academic knowledge and diverse experiences to interpersonal skills in Human Resources and organizational development.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pengaruh Ageism terhadap Keberlangsungan Hidup Lansia

21 Juni 2024   20:21 Diperbarui: 21 Juni 2024   20:35 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu komponen kedua dari ageism ialah prasangka. Prasangka merupakan perasaan tidak nyaman saat berinteraksi dengan lansia. Palmore (1999) menjelaskan bahwa prasangka terhadap lansia melahirkan stereotip dan sikap negatif. Stereotip adalah keyakinan kognitif negatif tentang lansia, seperti tinggal di panti, kesepian, miskin, dan menyebalkan. 

Sedangkan sikap adalah perasaan negatif terhadap lansia. Prasangka ini tak hanya terjadi antar individu, tapi juga dari kaum muda terhadap masa depan mereka sendiri. Butler (1969) menyatakan bahwa ageisme mencerminkan kecemasan kaum muda/paruh baya, yaitu takut menjadi tua, sakit, cacat, tak berdaya, dan mati.

Sedangkan diskriminasi adalah tindakan seperti menghindari atau mengucilkan lansia. McNamara (2019) menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan usia atau ageisme bersumber dari 3 bentuk. Pertama ialah reverse discrimination, di mana kelompok yang sebelumnya didiskriminasi, kini mendapat keuntungan. 

Contohnya, lansia yang mendapatkan perlakuan khusus karena dianggap tidak bekerja lagi. Kedua ialah unintentional discrimination, yang terjadi tanpa disengaja, seperti berbicara kepada lansia seperti anak kecil atau menghubungkan lansia dengan masalah kesehatan dan kebutuhan bantuan. Dan yang ketiga ialah institutional age discrimination, yang terjadi karena aturan, seperti pensiun di usia tertentu atau batasan usia dalam pekerjaan/kelompok tertentu.

Penelitian tentang dampak ageism terhadap kesehatan mental lansia masih sedikit. Padahal lansia, sama seperti kelompok minoritas lainnya, bisa menjadi korban stigma dan berpotensi mengalami stres serta gangguan kesehatan mental. Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan dampak ageism pada kehidupan lansia secara umum, seperti pelayanan yang kurang baik (Minichiello , 2012), usia subjektif (Hess & Dikken, 2010), dan citra tubuh (Oberg & Tornstam, 2003). 

Hal tersebut tidak semata-mata ada dan muncul begitu saja. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab muncul perilaku ageism tersebut. Salah satunya, disebabkan oleh adanya proses penuaan. Proses penuaan adalah penurunan fungsi organ tubuh dan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri secara perlahan.  

Penuaan merupakan proses alami yang dialami oleh semua orang. Namun, ageism berupa stereotip negatif dan diskriminasi terhadap orang tua masih sering terjadi di masyarakat. Banyak orang tua yang kehilangan kepercayaan diri dan produktivitasnya karena anggapan bahwa penuaan adalah proses yang penuh tantangan (Schafer & Shippee, 2010). 

Hal ini diperparah dengan stereotip negatif tentang lansia yang semakin marak di masyarakat, seperti anggapan bahwa lansia tidak kompeten, tidak produktif, dan menjadi beban bagi generasi muda. 

Ageisme ini dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, baik secara implisit maupun eksplisit, dan memiliki dampak negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan orang tua. Penelitian menunjukkan bahwa lansia yang mengalami ageism, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya. 

Hal ini diperparah dengan adanya internalisasi pemikiran ageism pada diri sendiri oleh lansia, di mana mereka mulai mempercayai stereotip tersebut dan membatasi diri mereka sendiri (Streb dkk, 2008). Paparan stereotip negatif tentang usia pada lansia dapat membuat mereka berperilaku sesuai stereotip tersebut, misalnya menjadi kurang percaya diri dan penurunan tingkat kemandirian, kesehatan dan semangat (Levy & Banaji, 2004). 

Hal tersebut menyebabkan, menurunnya semangat hidup, dan bahkan kesehatan fisik yang lebih buruk (Wurm & Benyamini, 2014). Ageism dapat menjadi stressor kronis bagi lansia karena mereka terus menerus dihadapkan dengan pandangan negatif tersebut. Stereotip negatif ini juga memicu menurunnya harga diri dan kesehatan mental lansia (Orth et al., 2010), dan membuat mereka menjadi lebih rentan terhadap stres, depresi, dan berbagai masalah kesehatan mental lainnya (Emile et al., 2014). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun