Benar juga yang dikatakan Bapak. Kalau setiap mau memberi kita berpikir terlalu banyak, dan khawatir pemberian kita bisa disalahgunakan, lantas kapan kita akan memberi pada orang lain?Â
Bukankah saat terbaik untuk memberi adalah ketika hati bergetar melihat sesuatu atau seseorang yang memerlukan sentuhan? Ya, sentuhan hati itulah yang membuat dunia lebih indah. Bukan karena kebanyakan berpikir!
Aku ingat orang bijak pernah berkata, "Jika tak punya apa-apa, yang kita butuhkan bukan berpikir, tetapi semangat. Sebab jika terlalu banyak berpikir kita justru tidak akan kemana-kemana. Kita tidak akan pernah mulai melakukan sesuatu". Berpikir itu baik dan harus, tapi kebanyakan berpikir untuk melakukan hal positif jatuhnya malah kurang baik.
Memberi pun, seperti kata Bapak, aku kira begitu. Tak perlu banyak berpikir. Jika hati bergetar atau timbul hasrat untuk memberi kepada orang lain, bersegeralah! Jangan sampai hasrat atau getaran hati hilang karena terlalu banyak berpikir. Jalankan saja, dan kita pasti akan merasa lebih bahagia.
Rasanya tak ada yang salah dari perkataan Bapak. Kalau ingin memberi ya beri saja. Kalau tidak ingin memberi ya tidak usah memberi. Yang penting jangan terlalu banyak berpikir.Â
Jika terlalu banyak berpikir, jatuhnya justru kita berprasangka. Sudah tidak memberi, malah berprasangka pula. Boleh jadi itu kejahatan yang tak terlihat.
Aku ingat ajaran kiai di pesantrenku dulu. Dengan mengutip sebuah hadits Nabi beliau berkata: "Sebaik-sebaik kalian adalah orang yang (paling bisa) diharapkan kebaikannya  dan (paling sedikit) keburukannya hingga orang lain merasa aman." Jelas kiranya, memberi tak akan membuat kita miskin. Tak akan membuat kita lemah. Sebaliknya, memberi membuat kita lebih kaya, lebih kuat dan lebih bahagia. Dengan memberi, kita bisa menjadi sebaik-baiknya orang.
Setelah lebih dari tiga jam perjalanan dari Depok, kami sampai juga di Monas. Bapak, Ibu, Istri dan anak-anakku segera melebur ke dalam keramaian pengunjung Monas. Hari itu Monas cukup ramai walau tidak seramai akhir pekan atau hari libur.Â
Aku senang akhirnya bisa membawa Bapak dan Ibu melihat-lihat Monas bersama cucu-cucu kesayangan. Wajah tua mereka tampak bahagia. Duduk di rerumputan aku memperhatikan keriangan mereka, sambil menikmati kopi gelas bekas air mineral kemasan.
Pikiranku masih saja merenungkan nasehat Bapak di mobil tadi. Lalu kulihat rambut dua anak perempuanku berkibar-kibar di tiup angin saat berlarian.Â
Mereka akan segera tumbuh besar, beranjak remaja, lalu menjadi manusia dewasa. Banyak kekhawatiran orang tua terhadap masa depan anak-anak.Â