Bukan rahasia lagi bahwa pemilihan ketua umum dalam forum permusyawaratan tertinggi partai seperti Muktamar, Munas, Kongres dan semacamnya selalu dipenuhi aroma persaingan yang tidak sehat. Demokrasi liberal di dalam partai telah membuka ruang bagi keperanan uang untuk menentukan pemimpin. Seorang kandidat tak jarang harus keluar belasan bahkan ratusan milyar rupiah untuk menjadi ketua umum partai. Lebih lanjut, apabila uang sudah keluar dan ternyata kalah, maka partai dibelah.
Fenomena umum itu tentu tidak selaras dengan karakter demokrasi Indonesia yang berbasis gotong-royong. Kata orang Jawa, yen ono rembug ya dirembug (kalau ada masalah ya dimusyawarahkan). Tampaknya liberalisasi politik di negeri ini sudah menghancurkan nilai-nilai dan kultur dasar Indonesia yang penuh kebersamaan.Â
Mekanisme voting atau pemungutan suara seolah menjadi satu-satunya mekanisme demokratis yang tersedia. Padahal selain lebih berkarakter Indonesia, aklamasi itu juga demokratis. Permusyawaratan untuk mencapai mufakat itu terasa lebih manusiawi daripada sekedar pertarungan kekuatan. Ujung pemungutan suara adalah kemenangan atau kekalahan, sementara ujung dari aklamasi adalah kebijaksanaan.
Dari pengalaman aklamasi Cak Imin dalam Muktamar PKB 2014 di Surabaya, kita sampai pada kesimpulan bahwa perbedaan itu rahmat, tetapi konflik jelas merusak dan merugikan semua pihak. Dari pengalaman itu juga kita sampai pada kesimpulan bahwa aklamasi adalah mekanisme demokrasi yang khas Indonesia dan patut digelorakan di semua ruang kompetisi politik.Â
Mengutip kalimat Gubernur Jawa Timur Pakde Karwo dalam suatu kesempatan: "Kalau ada 10 orang, 9 di antaranya gila dan hanya 1 orang yang waras, apa iya kita akan ikut yang 9 orang?". Demokrasi adalah jalan dunia yang tak bisa ditolak, tetapi Indonesia memiliki jalan demokrasinya sendiri.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H