Adapun soma sebagai material mati yang memiliki dimensi fisik---aspek badaniah dari manusia yang tidak berbeda dengan komposisi material binatang---dihidupkan dari aspek api yang memberi bayang-bayang tersebut kehidupan, atau aspek pneuma (dalam khazanah Stoics) yang sering dipertukarkan penggunaannya dengan logos yang terkandung dalam api (pyr) yang merembes ke segala sesuatu sebagai kausanya. Sebagai entitas yang terbentuk dari materi mati, tubuh memiliki kecenderungan yang dalam wacana hari ini disebut sebagai carnal  yang menunjuk kepada kecenderungan hewani atau apa-apa yang ada hubungannya dengan tubuh sebagai sumber idaman, sensualitas, dan seksualitas atau juga menunjuk kepada materialitas an sich, duniawi dan kesementaraan (kontingensial), dan tidak memiliki makna tetap yang dapat kita temukan padanannya dalam Islam sebagai syahwat.
Jadi, jika kita melihat seseorang itu senewen karena menghadapi kematian, jelas dia bukan filsuf sejati, melainkan philosoma bukan pecinta kebijaksanaan tapi pecinta raga. Tak heran jika orang itu juga pecinta uang (syahwat) dan pecinta kemasyuran (hawa nafsu), salah satu atau keduanya.
Izza. Saya ikut nimbrung ya, atas feedback dari Hanif tadi, terkait Socrates adalah nabi saya kira itu bisa saja demikian adanya. Namun, hal itu belum ada kajian dan penelitian yang mendalam dan serius untuk persoalan tersebut. Adapun yang kedua tanggapan saya atas jiwa pesykhe memang benar apa yang telah disampaikan tadi dan saya juga pernah menjumpai sebuah  keterangan dalam salah satu kitab di situ disebutkan bahwasanya jiwa (ruh) manusia setelah mati akan terangkat ke langit (Arasy) sebelum dimandikan dan ia akan turun kembali setelah fisik jenazahnya telah dimandikan. Dalam pandangan saya di dunia ini Socrates bukanlah sosok ahli kebenaran satu-satunya pengetahuan adalah bahwa ia tidak tahu apa-apa. Hanya saja ia adalah sosok yang senantiasa mengupayakan sebuah kebenaran. Dan kebenaran itu adanya setelah kematian. Jadi mati adalah satu-satunya kebenaran itu sendiri.
Note: ini adalah catatan pertama dari seri diskusi buku sejarah filsafat Bertrand Russell, ada banyak persoalan dan gagasan yang disampaikan dalam diskusi yang tidak sempat dilipat dan diliput ke dalam catatan ini. Oleh karena keterbatan kami. Insyaallah pada diskusi berikutnya akan kami upayakan direkam untuk catatan yang lebih akurat lagi. Semoga kita semua senantiasa menghasrati keilmuan dan kebijaksanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H