Tahun politik dan warna-warninya. Kita semua selalu mendengar ucapan-ucapan ini melalui media komunikasi sosial dan dari para nara sumber tertentu di layar kaca. Warna-warni tahun politik ini menjadi perbincangan masyarakat luas dari pejalan kaki yang sederhana hingga orang berdasi di coffetaria kelas atas.
Misalnya, fenomena saling lapor dan melapor antar kubu capres dan caleg tentang hal ini dan itu. Saling memfitnah, menyebarkan hoax dan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan kegaduhan public. Para capres berkata-kata tentang issue ini dan itu, selanjutnya orang-orang di sekitarnya memberikan penjelasan namun penjelasan itu makin jauh dari maksud para capres sendiri. Sudah ada tafsiran yang semakin buram dari para penafsir di depan layar kaca.
Orang-orang waras dan rasional berubah total menjadi linglung dan tidak rasional. Orang juga masih belum mampu membedakan mana yang hoax, mana janji yang belum terwujud karena waktunya terbatas untuk mengelola sebuah negara yang memiliki ribuan pulau dan kepulauan nusantara. Kadang gelar akademik bukan jaminan bahwa pribadi itu rasional.
Mengapa fenomena-fenomena ini muncul tepatnya di tahun politik ini? Alasan rasional dan  utamanya adalah orang sedang bermimpi dan mengejar kursi. Semoga mimpi mendapatkan kursi menjadi kenyataan. Semoga mereka mengejar kursi dengan karakter manusia bukan karakter hewan. Artinya ketika mendapat dan memiliki kursi maka hendaknya kursi itu membuatnya semakin menjadi manusia yang berkarakter, berhati nurani bukan tidak berkarakter dan tidak memiliki hati nurani. Orang yang berkarakter akan mengingat janji dan menepati janji, orang yang tidak berkarakter hanya mendapatkan kursi dan selesai.
Pandanglah kaum berdasi di senayan, semua pada lupa sang pejalan kaki yang memilihnya. Semua karena kursi! Aku pernah beraudiensi dengan seorang bupati. Ketika masuk ke dalam kantornya dia tetap duduk di kursi empuknya sedangkan saya duduk di kursi kayu berjarak 4 meter dari mejanya. Ketika pamitan untuk kembali ke rumah saya titip pesan yang membuatnya tersenyum kecut,
"Pak, saya bukan eselonmu, tetapi lain kali bisa tinggalkan kursi empukmu, duduk lebih dekat lagi dengan para tamu karena ada ide cemerlang dan cerdas yang membantumu untuk membangun daerah ini." Hahah.. saya merasa keaslian saya keluar di depan bapa bupati. Kursi adalah simbol kekuasaan. Tetapi orang yang duduk di kursi itu tahu diri bahwa dia adalah pelayan tulen bukan penguasa tulen.
Kunci adalah simbol kekuasaan. Kunci memiliki kuasa untuk membuka pintu kayu dan besi supaya orang dapat masuk ke dalam rumah atau tempat kerja. Orang yang menerima kunci memiliki tugas untuk membuka pintu. Ini berarti ia akan datang paling pertama dan kembali paling terakhir. Kalau sang pemegang kunci terlambat maka efektivitas dan efisiensi akan terganggu beberapa persen. Kalau sang pemegang kunci itu lupa menutup pintu maka orang baik dan tidak baik akan masuk ke dalam rumah. Dampaknya dapat kita duga, bisa baik dan bisa tidak baik.
Kunci bukan untuk menguasai dan menindas. Kunci itu untuk membantu pemegang kunci supaya melayani dengan tulus. Melayani tanpa memiliki niat untuk menguasai, menindas dan merugikan orang lain. Kunci itu membantu orang untuk masuk ke rumah kejujuran, rumah kasih sayang, rumah persaudaraan sejati. Kunci dibuat untuk kebaikan bukan untuk kejahatan.
Pada hari ini kita memandang kursi dan kunci, berusaha untuk memahaminya dan melakukan yang terbaik di dalam hidup bersama. Kursi dan kunci membantu kita untuk hidup berdampingan. Saya mengakhiri tulisan ini dengan mengutip Kartunis Amerika James Thurber. Pernah berkata,
"Masa lalu adalah sebuah kursi tua yang ada di loteng, masa sekarang adalah suara detak yang menyenangkan dan masa depan tidak ada yang tahu." Â
Selamat mencari kursi dan jadilah pemegang kunci yang terbaik.