Tahu buku ini kurang lebih tahun 2017. Saya mengetahui Leila S. Chudori karena membaca Kumpulan cerpennya yang berjudul Malam Terakhir. Dari sinilah saya mencari tahu buku-buku kak Leila yang lain, dan saya menemukan novel Laut Bercerita. Judulnya bikin penasaran.Â
Saat membaca judulnya saya mengira bahwa buku ini mengisahkan tentang kekayaan laut Indonesia yang memiliki berbagai macam keanekaragaman hayati dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir. Warna sampul buku pun berwarna biru dengan latar belakang laut dengan ikan yang berenang di dalamnya.Â
Sempat mengira juga buku ini bertemakan petualangan. Kebetulan juga kan saya sangat tertarik dengan buku bertema petualangan. Ada satu gambar yang terlewat di mata saya, yaitu gambar kaki yang di rantai.Â
Entah mengapa gambar itu tidak menjadi fokus saya, hanya gambar laut dan ikan yang berenang yang menjadi daya pikat sehingga melupakan gambar kaki dirantai yang menggambarkan isi dari buku ini.
Dua tahun berlalu, dan saya masih mengira bahwa novel tersebut adalah novel petualangan. Akhirnya Bulan September 2019 Saya berhasil membeli buku ini di International Book Fair yang diadakan di JCC Senayan, Jakarta. Hampir saja buku ini lupa tidak terbeli lagi. Saya membeli dengan harga diskon hehehe.
Ternyata buku ini menceritakan perjuangan mahasiswa di masa orde baru. Sungguh isi dalam buku ini di luar ekspektasi. "Jadi ternyata maksud gambar kaki yang dirantai di dalam laut seperti itu" gumam saya. Laut adalah nama salah satu tokoh dalam novel, Biru Laut itulah namanya.Â
Lelaki pemberani yang menjadi tokoh utama dalam novel. Jadi maksud judul "Laut Bercerita" adalah si Laut, yang merupakan tokoh utama novel menceritakan kisah yang Ia dan teman-temannya alami.Â
Dan maksud gambar kaki yang dirantai adalah Laut si tokoh utama yang dibuang ke laut oleh penyekapnya dalam kondisi masih disandera. Sedih. Itulah yang Saya rasakan saat membaca buku ini. Sangat sedih dan membuat Saya tahu betapa kejamnya zaman orde baru saat itu.
Penulis membagi sudut cerita menjadi dua, di awal halaman pembaca akan disajikan cerita dari sudut pandang Biru Laut, sang tokoh utama. Lalu sudut pandang kedua berasal dari Asmara, adik dari Biru laut. Dalam sudut pandang Biru Laut, diceritakan bagaimana perjuangan Biru Laut dan Teman-temannya yang pada saat itu semua mahasiswa untuk berjuang menuntut pemerintah atas segala kekacauan-kekacauan yang terjadi di Indonesia.Â
Penulis menceritakan bagaimana Biru Laut dan teman-teman mahasiswanya membentuk sebuah organisasi Winatra, Taraka, dan Wirasena. Organisasi ini terdiri dari mahasiswa dengan berbagai latar belakang yang mempunyai persamaan tujuan dan cita-cita untuk menjadikan Indonesia menjadi lebih baik.Â
Organisasi ini lahir dan tumbuh di Yogyakarta. Namun rencana tersebut ternyata tidak disukai oleh pemerintah yang menganggap mereka sebagai organisasi berbahaya dan selalu berusaha menggagalkan setiap kegiatan mereka. Sampai pada akhirnya satu persatu aktivis ditangkap dan disekap. Mereka diintrogasi, dikurung, bahkan disiksa secara tidak manusiawi.Â
Mulai dari diinjak dengan sepatu bergerigi, disetrum agar mau mengaku, di tendang, dipukul, ditelakkan diatas es batu besar, hingga sebagian dari mereka dibunuh dan sebagian dikembalikan dengan kondisi trauma berat. Tidak terbayangkan. Betapa kejamnya oknum yang menangkap mahasiswa ini.
Sudut pandang Asmara, adik Laut bercerita mengenai rasa kehilangan dan kesedihan dari pihak keluarga. Bagaimana mereka menunggu ketidakpastian karena orang tersayang tidak kunjung kembali serta keberadaan mereka yang entah dimana. Pada bagian ini terasa sangat menyayat hati ketika orang tua yang terus berharap dalam ketidakpastian tentang nasib anak-anak mereka.Â
Begitupun orang tua Laut, ibu masih tetap memasak setiap minggu dan menunggu anaknya datang ke rumah serta bapak yang selalu menyetel lagu favorit Laut dan selalu menyediakan 4 piring di meja makan untuk Bapak, Ibu, Laut, dan Asmara.Â
Namun yang mereka tunggu-tunggu tak kunjung datang juga. Keinginan mereka para keluarga korban hanya satu, berharap anak, suami, kerabat mereka kembali dengan selamat, jika memang sudah meninggal mereka ingin menguburkan jenazah dengan layak.Â
Namun hingga saat ini hanya beberapa mahasiswa yang kembali. Mahasiswa yang hilang tak kunjung kembali  dan tidak diketahui dimana keberadaannya.
Melalui buku ini saya menjadi tahu sedikit perjalanan sejarah Bangsa Indonesia di masa orde baru. Penulis menceritakan dengan jelas dan penuh emosi. Keberadaan para tokoh dijelaskan secara rinci dan tidak bertele-tele, sehingga saya sebagai pembaca bisa langsung membayangkan situasi yang diceritakan.Â
Buku ini penuh emosional, bisa membuat siapapun yang membaca meneteskan air mata, banyak cerita sedih menyayat hati yang akan kita temui. Akhir dari buku ini pun juga sangat menyayat hati. Mereka para mahasiswa adalah pahlawan sejati, tanpa mereka kita tidak mungkin bisa menikmati kebebasan seperti sekarang. Peristiwa ini menjadi salah satu peristiwa terkelam yang pernah dialami bangsa ini.Â
Dari sinilah saya ingin lebih menggali dan belajar mengenai sejarah bangsa Indonesia. Saya sangat merekomendasi buku ini untuk dibaca oleh generasi milenial untuk mengetahui sebagian kecil sejarah bangsa ini.Â
Dari buku ini saya belajar bahwa aksi-aksi mahasiswa terhadap pemerintah merupakan alarm pengingat bagi para penguasa bahwa ada yang salah dengan kebijakan atau sikap yang mereka lakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H