Hak asasi manusia merupakan isu global yang pengakuannya telah menjadi komitmen dunia internasional. Namun demikian kepedulian internasional terhadap hak asasi manusia merupakan gejala yang relatif baru. Indonesia sebagai bagian dari tatanan dunia internasional telah meratifikasi sebagian besar kovenan-kovenan hak asasi manusia. Konskuensinya dari hal tersebut di atas adalah adanya keharusan untuk menegakkan dan mematuhi hal-hal yang berhubungan dengan hak asasi manusia harus disosialkan melalui pendidikan dan pengajaran yang sistematis dan berprogram, sebab pemahaman dan pengetahuan tentang hak asasi manusia merupakan suatu hal yang bersifat individual dan butuh adanya pemahaman. Oleh karena itu, agar hak asasi manusia menjadi suatu nilai yang dapat dipahami oleh setiap orang diperlukan adanya proses internalisasi yang sistematis dan berprogram melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran.
Hak Asasi Manusia (HAM) sering kali menjadi korban pertama dalam konflik, baik domestik maupun internasional. Konflik bersenjata, perebutan kekuasaan, dan ketegangan politik sering kali menciptakan kondisi yang memungkinkan pelanggaran HAM terjadi. Ketegangan antara hukum dan kekuasaan menjadi tema sentral dalam memahami bagaimana HAM sering kali diabaikan demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Artikel ini akan menguraikan dinamika tersebut, disertai contoh kasus dan upaya penyelesaian yang diperlukan untuk menjamin perlindungan HAM di tengah konflik.
Dalam konteks konflik, pelanggaran HAM mencakup berbagai tindakan yang mencederai hak-hak dasar manusia. Contohnya, genosida yang terjadi di wilayah tertentu, di mana kelompok etnis tertentu menjadi target serangan sistemik. Tidak hanya pembunuhan massal, tetapi juga penyiksaan, pemerkosaan, dan pengusiran paksa menjadi bagian dari taktik yang digunakan dalam konflik untuk melemahkan musuh atau meminggirkan kelompok tertentu. Tindakan ini jelas melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta berbagai perjanjian internasional yang telah disepakati.
Ketegangan antara hukum dan kekuasaan sering kali muncul ketika pemerintah, yang seharusnya menjadi pelindung HAM, malah menjadi pelaku atau mendukung pelanggaran HAM. Sebagai contoh, dalam konflik bersenjata, pemerintah dapat memberlakukan undang-undang darurat yang membatasi kebebasan sipil dengan alasan keamanan nasional. Dalam banyak kasus, undang-undang semacam ini digunakan untuk menekan oposisi politik atau kelompok minoritas, bukan untuk melindungi warga negara secara keseluruhan.
Di sisi lain, upaya untuk menegakkan hukum di tengah konflik sering kali terhalang oleh kepentingan kekuasaan. Aparat penegak hukum, seperti polisi dan militer, yang seharusnya menjaga keamanan dan melindungi hak-hak warga, sering kali terlibat dalam pelanggaran HAM. Ketika aparat ini bertindak atas perintah dari pihak yang berkuasa, independensi hukum menjadi sulit ditegakkan. Hal ini diperparah oleh sistem peradilan yang lemah, korupsi, dan intimidasi terhadap pengadilan serta lembaga hukum lainnya.
Salah satu contoh nyata adalah konflik yang melibatkan pengusiran paksa ribuan warga sipil dari tanah mereka. Pemerintah, bekerja sama dengan korporasi besar, menggunakan aparat keamanan untuk menggusur masyarakat lokal demi proyek pembangunan. Meskipun ada aturan hukum yang melarang pengusiran tanpa kompensasi yang adil, ketegangan antara kekuasaan ekonomi dan perlindungan hukum membuat aturan tersebut tidak efektif. Dalam situasi ini, masyarakat lokal tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga mata pencaharian dan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Dalam konflik internasional, ketegangan ini menjadi lebih rumit karena melibatkan kepentingan banyak negara. Contohnya adalah ketika kekuatan global mendukung salah satu pihak dalam konflik demi kepentingan politik atau ekonomi mereka. Dukungan ini sering kali datang dalam bentuk senjata, dana, atau legitimasi diplomatik, yang justru memperburuk pelanggaran HAM. Selain itu, proses hukum internasional, seperti melalui Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), sering kali terkendala oleh kurangnya dukungan politik dari negara-negara besar.
Meskipun demikian, ada upaya untuk mengatasi ketegangan antara hukum dan kekuasaan guna melindungi HAM di tengah konflik. Salah satu langkah penting adalah memperkuat mekanisme internasional untuk mengawasi pelanggaran HAM. Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amnesty International memainkan peran penting dalam mendokumentasikan pelanggaran, memberikan tekanan diplomatik, dan mendorong penyelesaian konflik secara damai.
Di tingkat nasional, pembentukan komisi independen untuk menyelidiki pelanggaran HAM dapat menjadi solusi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Komisi ini harus memiliki kewenangan untuk mengadili pelaku, termasuk mereka yang berada di posisi kekuasaan. Selain itu, sistem peradilan yang independen dan bebas dari tekanan politik sangat penting untuk menjamin bahwa hukum dapat ditegakkan tanpa pandang bulu.
Pendidikan HAM juga merupakan langkah preventif yang signifikan. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka, peluang untuk melawan pelanggaran menjadi lebih besar. Masyarakat yang sadar akan hak asasi mereka dapat menjadi kekuatan yang mendesak pemerintah dan institusi lainnya untuk menghormati hukum dan HAM.
Peran masyarakat internasional juga sangat penting dalam memastikan bahwa pelanggaran HAM tidak dibiarkan begitu saja. Tekanan diplomatik, sanksi ekonomi, atau intervensi kemanusiaan dapat digunakan untuk mendorong pemerintah atau pihak dalam konflik untuk menghentikan pelanggaran HAM. Namun, langkah-langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memperburuk situasi atau menciptakan penderitaan baru bagi warga sipil.