Mendengar kata feminisme mungkin yang terlintas adalah demo atau gerakan sosial dari para perempuan untuk kesetaraan gender dan kebebasan dalam segala hal. Bahkan sering disalah artikan sebagai ideologi yang membenci laki-laki.
Bagaimana dengan ekofeminisme?
Paparan dan pengertian tentang ekofeminisme saya baru dengar dalam suatu acara webinar yang diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, dalam rangka Hari Kartini, Hari Bumi, dan Hari Tari.
Tiga peristiwa sekaligus di bulan April yang semuanya bersinggungan dengan perempuan. Kebetulan webinar ini juga diisi oleh 3 perempuan hebat yaitu Antik Bintari, Ramalis Sobandi, dan Saras Dewi.
Webinar dengan judul 'Gerak Perempuan untuk Kehidupan yang Lestari', Sebuah pendekatan Ekofeminisme.
Dalam budaya keseharian perempuan seringkali dikaitkan dengan persoalan keindahan, baik dalam pandangan umum maupun dalam lingkaran perempuan itu sendiri. Mengikuti berbagai gelombang kebudayaan, ‘kecantikan’ atau persepsi keindahan pada perempuan pun turut berevolusi.
Perempuan dan Lingkungan
Sesi pertama webinar disampaikan oleh Antik Bintari, seorang dosen FISIP UNPAD, yang dengan kerenyahannya mempertanyakan, seberapa cantik lingkungan menilai seorang perempuan.
Konsep kecantikan menurut Antik, terbagi menjadi dua paradigma tradisional dan modern. Paradigma tradisional menempatkan perempuan dari sudut pandang budaya yang dikenalkan secara turun-temurun. Kita lihat di pelosok Kalimantan ada suku Dayak yang perempuannya mempunyai kebiasaan bertelinga panjang. Mereka ini memasang logam pada cuping telinganya sehingga menggelambir. Semakin panjang maka semakin cantik.
Sedangkan paradigma modern, standar kecantikan dibawa oleh jenama produk kecantikan dan perawatan wajah. Maraknya iklan, media online, dan media sosial, semakin menggusur berbagai nilai budaya di seluruh pelosok negeri.
Bahwa nilai kecantikan menjadi sama, kulit putih dan mulus bak artis Korea.
Padahal Antik Bintari di akhir paparannya justru menentang adanya konsep kesamaan tersebut. Perempuan harus mempunyai kebebasan untuk memaknai potensi dirinya masing-masing. Cantik adalah bebas dari diskriminasi, penindasan, dan eksploitasi.
Sesi ke 2 menampilkan Ramalis Subandi yang memaparkan kiprahnya berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk mengentaskan stunting. Sebagai pegiat lingkungan banyak kisah-kisahnya tentang upaya pelestarian lingkungan bersama berbagai komunitas.
Sejarah panjang pola asuh masa kecil di keluarga, yang tidak membedakan peran perempuan dan laki-laki, berpengaruh pada penilaiannya tentang kemandirian perempuan.
Menurutnya sesuai dengan kata ‘perempuan’, diambil dari kata per-EMPU-an. Empu berarti mulia, tuan, mahir. Maka perempuan adalah mahluk yang memiliki kemampuan.
Memahami Ekofeminisme
Penyaji terakhir adalah Saras Dewi, seorang dosen Filsafat Universitas Indonesia. Ekofeminisme atau Ekologi Feminisme dijelaskan di sini sebagai gerakan feminis yang berupaya menyatukan tuntutan gerakan perempuan dengan gerakan lingkungan hidup.
Perempuan dalam hal ini diposisikan sebagai individu yang tidak didasari sosio-ekonomi dan struktur konseptual yang dibentuk dari dominasi.
Seperti kita ketahui dalam keseharian banyak aspek kehidupan yang didominasi oleh pria. Contohnya di lapangan pekerjaan, seorang dokter perempuan akan mendapatkan pertanyaan ‘apakah ada waktu 24/7’. Seolah lingkungan meragukan potensi perempuan.
Mama Aleta Baun adalah salah contoh kemandian perempuan. Aleta memperjuangkan lingkungan hidup di Nusa Tenggara Timur mempertahankan gunung yang disakralkan oleh suku adat Molo. Berkat ketangguhannya ia berhasil menyatukan 24 desa adat untuk menjaga alam Molo, sebuah wilayah di Timor Tengah Selatan, NTT
Perjuangannya bersama ratusan perempuan lain memenun di depan pintu perusahan tambang marmet adalah untuk menghentikan kegiatan tambang yang menyebabkan polusi, tanah longsor, penggundulan hutan, dan meracuni sungai.
Perlawanannya selama 11 tahun meyebabkan 2 perusahaan tambang marmer yaitu PT So'e lndah Marmer dan PT Karya Asta Alam berhenti beroperasi.
Penutup
Mama Aleta Baun hanyalah salah satu contoh kekuatan perempuan untuk berkiprah menata lingkungan tanpa harus menunggu komando.
Ketika para perempuan berjuang turun ke lapangan dan melakukan protes, ternyata para suami-suami yang menjaga anak-anak mereka di rumah. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Disinilah makna dari kesetaraan gender yang sesungguhnya, mewujudkan ekofeminisme dalam gerak perempuan untuk kehidupan yang lestari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H