Di Indonesia saat ini dalam dunia pendidikan terus mengalami perubahan baik dari sistem pendidikan sampai dengan tenaga pengajar. faktor utama yang mempengaruhi kemajuan pendidikan salah satu nya yaitu keterlibatan para guru, guru atau pengajar merupakan pekerjaan yang mulia. Peran pengajar dalam pendidikan sangat berpengaruh untuk mendapatkan hasil dari peserta didik yang unggul dan berprestasi, dengan memberikan pengajaran kepada peserta didik akan membantu untuk mencerdaskan anak bangsa, memberikan pengalaman agar menjadi manusia yang bermanfaat. Serta bagi para pendidik memberi pengajaran adalah hal yang begitu mulia, bermanfaat dan menjadi amal baik untuk para pengajar. Seorang pendidik harus memiliki tugas mengajar kan ilmu pengetahuan, mempunyai rasa ikhlas dalam memberikan ilmu, menanamkan sikap dan kepribadian yang baik, serta dapat membimbing untuk menjalankan agama dan menanamkan sikap Budi pekerti yang mulia.
Ada beberapa guru atau pengajar honorer di Indonesia. Dan Dapat dikatan dalam pemberian imbalan atau upah kurang diperhatikan, atau minimnya gaji yang di dapatkan. Bahkan sekarang masih banyak pendidik yang mendapat gaji yang minim bahkan jauh dengan kebutuhan yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, menjadikan sedikitnya peminat untuk menjadi guru atau pengajar saat ini, Dan lebih memilih profesi lainnya yang penghasilannya lebih banyak dibanding menjadi seorang pengajar. Namun profesi guru dapat menghadirkan keikhlasan ketika mengajar. Urgensinya lebih pada tujuan yang semata-mata didasarkan pada Allah SWT. Selama peserta didik mengamalkan ilmunya. Mengalirlah pahala bagi mereka. Pandangan ini membuat mereka bertahan dalam lingkup pendidikan. Dedikasi guru memang luar biasa bagi masyarakat.
Secara etimologi, Ikhlas berasal dari bahasa Arab yang berarti "bersih" atau "murni". Secara spiritual dan agama, ikhlas mengacu pada tindakan yang dilakukan dengan ketulusan dan kesucian hati, tanpa motif egois atau pencarian pujian dari orang lain. Ikhlas juga melibatkan pengutamaan keridhaan Allah dan penolakan terhadap kesombongan, riya', dan ketidakjujuran. Dalam Islam, ikhlas digunakan sebagai ukuran keikhlasan seseorang dalam beribadah kepada Allah
تنقية الشئ و تهذيبه
“Mensucikan dan membersihkan sesuatu”.
Dasar kenapa seseorang harus ikhlas ini mengacu pada hadis Rasulullah Saw, beliau bersabda:
ان الله تعالَ لا يقبل الله من العمل الا ماكان له خالصا (رو اه النسائي عن ابِ امامه
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali dikerjakan dengan ikhlas untuk memperoleh ridhanya (Riwayat Nasai dari Abi Amamah)”
Maka dari itu, ikhlas dalam pengertian bahasa dapat diartikan sebagai proses memurnikan sesuatu hanya untuk satu tujuan dan arah tertentu. Dengan kata lain, ketika seseorang melakukan suatu perbuatan semata-mata karena Allah, tanpa adanya motif atau kepentingan lain, serta tanpa mengharapkan imbalan materi atau keuntungan dunia, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan ikhlas. Dalam hal ini, ikhlas menjadi istilah yang menggambarkan ketulusan dan kesucian hati dalam bertindak.
Ikhlas menurut terminologi ulama berarti mengarahkan semua perbuatan kepada Allah tanpa mengharapkan pujian atau penghargaan dari manusia. Abu al-Qasim Al-Qusyairiy mengatakan bahwa seseorang yang ikhlas ingin menegaskan hak-hak Allah dalam setiap perbuatan ketaatannya. Tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada makhluk lain, dan tidak mencari pujian atau penghargaan dari siapapun. Ikhlas merupakan aspek penting dalam ibadah Muslim dan membantu meningkatkan kualitas spiritualitas serta ketaatan kepada Allah. Meskipun sulit untuk dicapai secara sempurna, dengan bimbingan dan peningkatan diri, seseorang dapat mengembangkan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari.
Ikhlas menurut Haris al-Muhasibiy adalah menghapuskan keterlibatan makhluk dalam hubungan antara seseorang dengan Tuhan. Seseorang yang ikhlas hanya menginginkan kedekatan dengan Allah Swt. Dalam kitab ar-Risalah, ustadz Abdul Qasim Al-Qusyairi menjelaskan bahwa ikhlas berarti memberikan segala hal ketaatan kepada Allah, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah saja, bukan kepada makhluk lain. Ikhlas tidak melibatkan berpura-pura kepada makhluk, mencari pujian, atau mendapatkan pengakuan dari orang-orang. Bertujuan hanya kepada Allah. Dalam kata lain, ikhlas dapat diartikan sebagai membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk dan menjaga diri agar tidak ada sifat riya' .
Jika ditanya mengenai ikhlas, salah seorang salaf menjawab dengan nasihat untuk tidak menampakkan amal kepada selain Allah. Dzun Nun juga mengemukakan tiga tanda indikasi ikhlas: kesamaan sikap hati dalam menerima pujian dan celaan dari orang awam; melupakan keinginan untuk mendapatkan pengakuan atas amal yang dilakukan; serta melupakan harapan akan pahala amal di akhirat.
Ikhlas pada hakikatnya adalah kebersihan jiwa. Tidak ada keadaan yang dapat merusak amal ibadah seseorang karena tidak ada lagi elemen alam seperti air, api, angin, dan tanah yang memiliki pengaruh. Jiwa memiliki beberapa aspek yang berperan penting. Pertama, jiwa disebut ruh karena ketika berpisah, jiwa dilepaskan, dan ketika kembali, jiwa diperiksa. Kedua, jiwa disebut Muhammad karena senantiasa memuji Allah di segala waktu. Ketiga, jiwa disebut an-nafs al-mutmainnah karena jiwa itu memurnikan dirinya untuk tunduk kepada Allah. Keempat, jiwa disebut qadiun karena diambil dari nur Muhammad yang berasal dari sifat-sifat Allah seperti keagungan, keindahan, kekuasaan, dan kelengkapan. Jarak jiwa dengan Allah tidak dapat diukur dan kedekatannya tidak terganggu oleh faktor eksternal. Jiwa mencerminkan sifat-sifat Allah yang indah. Tidak ada alam yang melampaui esensi, sifat, nama, dan perbuatan jiwa. Kelima, jiwa disebut mustafa karena dipilih sebagai jiwa yang khusus untuk menghadap Allah, dan senantiasa berseru dan bersyukur kepada-Nya. Allah memerintahkan jiwa pada langkah pertama untuk membawa rahasia-Nya, mengajarkan rahasia iman, Islam, tauhid, dan pengetahuan yang intim tentang-Nya.
Menurut ulama, terdapat dua bentuk ikhlas, yaitu ikhlas dalam pelaksanaan amal dan ikhlas dalam memperoleh pahala. Ikhlas dalam amal berarti melakukan segala amal semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, menghormati perintah-Nya, dan menjawab panggilan-Nya. Seseorang yang menerapkan keikhlasan semacam ini memiliki keyakinan yang kuat dan benar. Sebaliknya, nifaq adalah bentuk taqarrub yang tidak ditujukan kepada Allah SWT. Sementara itu, ikhlas dalam memperoleh pahala berarti bertujuan untuk mendapatkan manfaat di akhirat melalui amal kebajikan yang dilakukan. Dalam hal ini, seseorang berharap untuk memperoleh pahala di akhirat. Sebaliknya, riya' adalah bentuk perilaku di mana seseorang mengharapkan manfaat duniawi sebagai balasan atas amal kebajikan yang dilakukan, baik harapan itu datang dari Allah SWT atau dari manusia.
Amal dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Yang pertama adalah amal yang mencakup dua aspek keikhlasan sekaligus, yaitu dalam menjalankan ibadah hanya karena Allah. Yang kedua adalah amal yang tidak memiliki niat yang ikhlas untuk memperoleh pahala, namun juga bukan merupakan keikhlasan dalam amal itu sendiri. Ini mencakup hal-hal yang diizinkan sebagai persiapan untuk ibadah. Sementara itu, ikhlas dalam amal yang bertujuan untuk mencari pahala terjadi ketika seseorang melakukan ibadah batiniah, tetapi memiliki motivasi untuk mendapatkan keuntungan dunia, seperti penghargaan atau keuntungan materi. Amal ini dianggap sebagai persiapan, keikhlasannya termasuk dalam kategori ikhlas mencari pahala, bukan ikhlas dalam amal itu sendiri. Oleh karena itu, kategori ini tidak dapat dianggap sebagai amal yang mendekatkan diri kepada Allah, melainkan hanya sebagai alat untuk mendekatkan diri semata.
Mengembangkan nilai-nilai keikhlasan dalam mengajar melibatkan langkah-langkah berikut: Pertama, mengerti bahwa amal hanya akan diterima jika dilakukan dengan ikhlas dan tanpa motif lain. Kedua, menyadari bahwa tindakan mengajar memiliki nilai yang besar ketika kita mengabaikan kepentingan dunia dan kembali kepada Allah SWT. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan diri dalam berbagai amal kebaikan di dunia, termasuk kegiatan mengajar. Ketiga, mengerti bahwa Rasulullah Saw sangat mencintai proses belajar dan mengajar. Jika kita mengklaim mencintai Allah, kita harus menjaga agar pengajaran kita tetap ikhlas agar tercatat dalam catatan malaikat dan pada akhirnya berkumpul dengan Nabi dan para sahabat yang lain.(Fauzan, 2021)
Ikhlas adalah konsep penting dalam agama Islam yang mencakup kejujuran, ketulusan, dan niat yang murni dalam beribadah. Allah SWT hanya menerima amal perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas, yaitu semata-mata untuk mencari keridhaan-Nya. Para ulama Islam menjelaskan bahwa ikhlas melibatkan menyucikan niat, menghindari riya', dan memelihara amal agar tidak rusak dengan perasaan sombong atau riya'. Ikhlas adalah keadaan hati yang terpuji, di mana seseorang beribadah hanya untuk Allah SWT, tanpa motif yang lain.
Para ulama menyampaikan definisi yang serupa, meskipun dengan kalimat yang berbeda, dalam menjelaskan ikhlas. Ikhlas berarti mengarahkan semua perbuatan kepada Allah SWT, bukan kepada manusia. Ikhlas melibatkan pemurnian niat dan pembebasan diri dari perhatian dan pujian manusia. Tujuan seseorang yang ikhlas adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari pengakuan atau sanjungan dari orang lain.
Dalam mencapai ikhlas, seseorang harus menjaga amal perbuatan dari pengamatan orang lain, mengabaikan keinginan untuk dipuji atau mendapatkan penghargaan atas amalnya, dan melupakan harapan akan pahala amal di akhirat. Ikhlas juga mencakup memutuskan keterikatan dengan hubungan manusiawi dalam perjalanan seseorang dengan Tuhan. Ikhlas berarti membersihkan perbuatan dari perhatian manusia dan menjaga diri dari perhatian orang lain.
Ikhlas pada hakikatnya adalah kemurnian jiwa. Jiwa memiliki peran yang penting dalam konsep ikhlas dan memiliki berbagai nama seperti ruh, Muhammad, an-nafs al-mutmainnah, qadiun, dan mustafa. Jiwa ini mencerminkan sifat-sifat Allah dan berperan krusial dalam upaya mencari kedekatan dengan-Nya.
Dalam konteks mengajar, nilai-nilai keikhlasan dapat disemai melalui pemahaman bahwa amalan hanya diterima oleh Allah SWT jika dilakukan dengan ikhlas dan tanpa motif lain. Memahami bahwa mengajar adalah pekerjaan yang dicintai oleh Rasulullah juga bisa menjadi motivasi untuk menjaga keikhlasan dalam mengajar. Amalan kebaikan, termasuk mengajar, memiliki nilai yang tinggi dan perlu dilakukan dengan ikhlas agar mencapai nilai-nilai keikhlasan tersebut.(Kedua, 2018)
Hukum menerima upah dalam mengajar bervariasi tergantung pada negara dan lembaga pendidikan. Secara umum, menerima upah sebagai pengajar dianggap wajar dan sah. Regulasi lokal atau kebijakan lembaga pendidikan perlu diperhatikan. Menerima upah adalah bentuk pengakuan dan imbalan atas kontribusi dan profesionalisme pengajar dalam pendidikan.
Upah dalam mengajar, seperti dalam muamalah umumnya, juga dikenal dengan istilah ujroh atau ijarah. Ujroh/upah biasanya harus diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam konteks sewa menyewa maupun upah mengupah. Secara etimologi, ijarah berasal dari kata ajara-ya'jiru yang berarti upah yang diberikan sebagai kompensasi sebuah pekerjaan. Al-ajru merujuk pada upah atau imbalan untuk suatu pekerjaan.
Menurut pandangan ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad yang melibatkan pemberian penggantian atas suatu kemanfaatan. Secara terminologi, ijarah mengacu pada balasan, tebusan, atau pahala. Secara syariat, ijarah berarti melakukan akad untuk mengambil manfaat dari orang lain dengan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan, dengan mempertimbangkan syarat-syarat tertentu pula. Al-ajru berasal dari kata yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah ganti atau upah. Dalam pengertian bahasa, upah berarti imbalan atau pengganti. Jadi, upah merujuk pada pemberian imbalan sebagai bayaran kepada seseorang yang diperintahkan untuk melakukan pekerjaan tertentu, dan pembayaran tersebut diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Hadist yang menjelaskan tentang bolehnya pengajar menerima upah:
فعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ نَفَراً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلاً لَدِيغًا ؟ فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ [أي : مجموعة من الغنم]، فَبَرَأَ ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ ، وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْراً ؟ حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْراً ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : (إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ) رواه البخاري ( 5405 ) .
Artinya: Saya diberitahu oleh Sidan bin Muddzarib Abu Muhammad Al Bahili, yang kemudian menceritakan kepada saya Abu Masyar Al Bashri, yang dikenal sebagai seseorang yang jujur, yaitu Yusuf bin Yazis Al Barra. Dia mengatakan bahwa saya diberitahu oleh Ubaidullah bin Al Ahnas Abu Malik, yang mendapatkan informasi dari Ibnu Abu Mulaikah, yang mendapatkan informasi dari Ibnu Abbas. Mereka menceritakan bahwa beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW melewati sebuah mata air di mana ada seseorang yang terkena gigitan binatang berbisa. Kemudian salah satu penduduk yang tinggal di dekat mata air tersebut datang dan bertanya apakah ada di antara mereka yang memiliki kemampuan pengobatan karena ada seseorang yang terkena gigitan binatang berbisa di dekat mata air tersebut. Salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan surat Al-Fatihah sebagai imbalan diberikan seekor kambing. Orang yang terkena gigitan binatang tersebut sembuh setelah itu. Sahabat tersebut membawa kambing tersebut kepada teman-temannya, tetapi mereka tidak setuju dengan tindakan tersebut dan berkata, "Apakah kamu menerima imbalan atas penerangan dari kitabullah?" setelah mereka tiba di madinah mereka berkata, “wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah.” Maka Rasulullah SAW bersabda:
“sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah.” (HR. Bukhari). (Amiruddin, 2020)
Dalam penjelasan hadist diatas bahwa diperbolehkan nya pendidik menerima upah, serta pengobatan dengan menggunakn ayat Al quran itu diperbolehkan. Dengan berlatar belakang hadist diatas yang di contohkan oleh salah seorang sahabat yang diminta untuk membacakan jampi kepada seorang yang tersengat binatang berbisa dengan surat Al Fatihah lalu dengan izin Allah yang dibacakan tersebut sembuh dan memberikan imbalan seekor kambing untuk ucapan terimakasih, begitu juga sama hal nya dengan upah dalam mengajar sebagai balasan terimakasih. Terdapat beberapa pendapat yang berbeda dari para ulama tentang pemberian upah dalam mengajar, pada Al Asqalaniy dalam fath al Bariy yaitu seorang ulama yang menjelaskan tentang bolehnya pengajar menerima upah dalam pengajaran berdasarkan hadis diatas dan Menurut ulama Hanafiyah, mereka yang melarang menerima upah dalam mengajarkan Al-Quran berpendapat bahwa pengajaran Al-Quran adalah ibadah yang pahalanya hanya berasal dari Allah. Mereka mempercayai bahwa mengajarkan Al-Quran harus dilakukan dengan niat ikhlas semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah, tanpa mengharapkan imbalan materi atau penghargaan dari manusia. Namun, dalam konteks pengobatan atau ruqiyyah (pengobatan dengan membaca ayat-ayat Al-Quran atau doa), beberapa ulama Hanafiyah memperbolehkan menerima upah. Mereka berpendapat bahwa pengobatan atau ruqiyyah melibatkan usaha dan pengetahuan khusus, sehingga penerimaan upah dalam hal ini dianggap wajar.Pandangan ini dapat berbeda di antara ulama Hanafiyah dan ulama dari mazhab lainnya. Setiap ulama mungkin memiliki penjelasan dan argumen yang berbeda mengenai masalah ini, jadi disarankan untuk mencari penjelasan lebih lanjut dari ulama yang diakui atau merujuk kepada sumber-sumber otoritatif dalam mazhab Hanafi.
Menurut Ibnu sahnun, bahwa pemberian upah bagi guru atau pengajar sudah menjadi hal yang lumrah dalam sehari hari, namun tidak diperbolehkan jika seorang guru atau pengajar menerima atau meminta hadiah atau sesuatu kepada anak didiknya untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi boleh seorang pengajar atau guru mendapat upah atau gaji atas profesinya dengan kesepakatan yang sudah disepakati bersama dengan wali murid atau pihak lembaga pendidikan tersebut. Dalam menghadapi siswa guru harus berprilaku adil dalam memberikan mengawasi kegiatan belajar siswa. Dijelaskan dalam “Adab al- Mualimin” tentang upah guru :
Dari ibnu Jurajj berkata : “ apakah aku boleh mengambil upah dari mengajar al-Quran? apakah engkau mengetahui ada seseorang yang membencinya?, Atho menjawab : “ Tidak “. Imam Malik bahkan menganjurkan seorang guru untuk menerima upah atas pengajarannya, bahkan ia mewajibkannya.(Al-qur et al., 2021)
Hadist yang menjelaskan tidak diperbolehkannya pengajar menerima upah
بادة بن الصامت قال: علمت ناساً من أهل الصفة الكتاب والقرآن فأهدى إلي رجل منهم قوساً فقلت ليست بمال وأرمي عنها في سبيل الله عز وجل لآتين رسول الله صلى الله عليه وسلم فلأسألنه فأتيته فقلت: يا رسول الله رجل أهدى إلي قوساً ممن كنت أعلمه الكتاب والقرآن وليست بمال وأرمي عنها في سبيل الله، قال: إن كنت تحب أن تطوق طوقاً من نار فاقبلها.
Yang artinya :
Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Muhammad] dan [Muhammad bin Isma'il] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Waki'] berkata, telah menceritakan kepada kami [Mughirah bin Ziyad Al Maushili] dari [Ubadah bin Nusai] dari [Al Aswad bin Tsa'labah] dari [Ubadah bin Ash Shamit] ia berkata, "Aku mengajari Al Quran dan menulis kepada beberapa orang dari penghuni Ash Shuffah, lalu seorang dari mereka memberiku hadiah sebuah tombak. Maka aku pun berkata, "Ini bukanlah termasuk harta, dan aku gunakan di jalan Allah. Lalu aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menjawab: "Jika engkau suka untuk dihimpit api neraka, maka terimalah." (HR Ibnu Majah).(Fadillah, 2010)
Dalam agama Islam, penting bagi seorang pengajar atau pendidik untuk tidak menerima upah atau hadiah dalam proses pengajaran. Sebagai contoh, ada seorang sahabat bernama Ubadah bin Shamit, yang adalah seorang guru Al-Quran dan mengajar di tempat yang disebut Al-Shuffah. Pada suatu hari, salah seorang muridnya memberikan hadiah berupa sebuah busur panah kepada Ubadah. Ubadah melaporkan kejadian ini kepada Nabi Muhammad SAW dan meminta nasihat beliau tentang hal tersebut. Nabi Muhammad SAW menegaskan larangan menerima hadiah tersebut dan mengancam dengan konsekuensi masuk neraka. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas dan etika dalam pengajaran, serta menghindari konflik kepentingan dalam proses pendidikan.
Ibnu Habib berpendapat bahwa mengubah masalah upah mengajar Al-Quran menjadi upah profesi keguruan atau pengajar adalah diperbolehkan. Baginya, gaji yang diperoleh seorang pengajar hanya merupakan imbalan atas waktu dan tenaga yang diberikan kepada para muridnya. Ibnu Habib tidak melihat gaji sebagai harga dari Al-Quran atau kitabullah.
Tetapi, Al-Ghazali memandang pemberian upah atau gaji kepada pengajar sebagai haram. Al-Ghazali berargumen bahwa seorang guru seharusnya mengikuti ajaran syariat yang diperkenalkan oleh Rasulullah SAW, yang tidak menuntut imbalan dalam mengajar. Menurut Al-Ghazali, tujuan seorang guru seharusnya adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengajarkan ilmu dengan ikhlas. Al-Ghazali juga melarang profesionalitas guru dengan alasan sebagai berikut: a) Al-Quran diajarkan karena Allah, oleh karena itu, menurut pandangan ini, tidaklah pantas bagi seseorang yang mengajarkannya untuk menerima gaji. Pandangan ini didasarkan pada prinsip dalam agama yang seharusnya mengajar itu harus didasari dengan rasa ikhlas di jalan allah. b) Pada masa kebangkitan Islam, para pemimpin kaum Muslimin tidak memberi gaji kepada pengajar di surau atau kuttab. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu tidak ada kebiasaan memberikan gaji kepada para guru.
Pandangan ini dapat mencerminkan sudut pandang dan konteks sejarah tertentu pada saat itu. Namun, pandangan ini tidak dapat dianggap sebagai pandangan yang universal atau mutlak dalam konteks keguruan atau pengajaran Al-Quran di zaman modern. Pendekatan dan pandangan terhadap pemberian gaji kepada guru dapat bervariasi tergantung pada konteks budaya, agama, dan sosial yang berbeda. Alasan tersebut muncul dari kebiasaan yang dilwariskan oleh para ulama salaf. Yang dilakukan oleh para muslim dan termasuk dalam dasar agama.
Adapun Pendapat dari plato dan aristoteles bahwa dalam belajar harus memiliki motivasi yang tinggi dalam mengangkat derajat dan pengabdian dan diniatkan pada saat awal pekerjaan itu dimulai. Dalam hakikatnya manusia bekerja tidak sepenuhnya untuk dirinya sendiri, tetapi ada tanggung jawab yang di emban sehingga mengharuskan seorang itu bekerja dengan orang lain untuk mendapatkan gaji yang dapat memenuhi kebutuhan sandang dan pangan seorang guru, dan sejatinya guru adalah pekerjaan yang mulia sehingga harus diberikan apresiasi atau hadiah dari ilmu yang sudah diberikan.
Berdasarkan pembahasan di atas yang sudah dipaparkan bahwa boleh menerima atau mengambil gaji atau hadiah dalam mengajar atau mengambil upah dari kitabullah, akan tetapi yang tidak diperbolehkan untuk memungut biaya dan memaksa memberikan imbalan kepada murid yang tidak mampu untuk memberikan upah kepada guru, karena dari awal melakukan pengajaran dan menjadi profesi guru harus ada rasa keikhlasan untuk memberikan ilmu kepada para muridnya sejatinya tujuan untuk mencari ridha Allah. Keikhlasan dan upah dalam mengajar saling berkaitan dan penting dalam pendidikan. Keikhlasan adalah sikap tulus tanpa mengharapkan imbalan, sementara upah pengajar memberikan penghargaan dan motivasi. Upah yang layak mendukung kesejahteraan dan kualitas pengajaran. Keadilan dalam memberikan upah penting untuk menciptakan lingkungan yang adil. Keikhlasan dan upah pengajar saling mendukung dalam dunia pendidikan.
Menumbuhkan rasa ikhlas dalam mengajar menurut salah satu guru honorer yang berada di daerah kedung jepara, dengan menerapkan rasa ikhlas dalam mengajar dengan harapan akan diterima amal yang sudah dilakukan dengan rasa ikhlas dan mengharap ridha dari Allah swt. Meskipun upah juga wajib diberikan kepada para guru, namun jika keterbatasan dana dari lembaga sekolah juga sangat berpengaruh dalam pemberikan upah, banyak para guru yang berusaha menutupi kebutuhan dengan mencari sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Faktor yang menjadikan minimnya upah kepada pendidik tersebut adalah minimnya dana yang ada di lembaga tersebut dan banyak pengajar yang belum ikut dalam pelatihan guru bersertifikasi atau masih ada pengajar yang baru mengabdi dalam lembaga tersebut. Perlu diketahui Rasulullah mencintai pekerjaan yang dapat memberikan ilmu yang bermanfaat kepada sesama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI