Surya mengintip di balik payoda-payoda hitam, berkedip sepanjang hari hingga kelilipan. kaca-kaca langit retak, mengucur air rezeki dan nestapa tanpa henti. payung berbunga segar turut membersamai, kupegang ujung pakaian supaya tak basah. saban hari sehelai demi sehelai masuk keranjang cucian, tiga hari tergantung di tali-tali jemuran. Menjadi bagian cerita tak terhindarkan.
Di akhir penghujung kisah gerimis kala itu, aku berpapasan dengan pedagang asongan. pundaknya berhitung beban, jari-jemari berkakulasi, kaki pedagang itu berembuk dengan peruntungan, begitu juga dengan tubuhnya berkarib dengan ketidakpastian. latahnya tersirat mengucap keberkahan di atas rintik yang mengkultusi tubuhnya yang dingin. ia bermunajat perihal masa depan dan tak lupa ia memuji Tuhan.
Kekuatan isyarat itu mengelus kepalaku lembut nan pelan, berulang-ulang. seperti saat ayah menasehatiku. menjamah tulus hatiku yang penuh genangan hitam dan tempelan perban. Pertanyaan itu muncul menyingkap nurani perlahan, "Sungguh betapa sulit orang lain berperan mencari uang, kecil pun sangat berarti. Mereka demikian keras membanting tulang, lalu sudah sampai mana kebersyukuranku?" Aku menghela napas gusar, belum bisa mengartikan nominal keberhagaan atas pundi uang.
Bandung kala hujan, 02 Maret 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H