"Menurut cerita yang beredar dimasyarakat cekungan yang terdapat di batu tersebut merupakan bekas benturan dari kepala Ki Ageng Mangir Wanabaya dengan Panembahan Senopati. Saat itu Ki Ageng Mangir ingin meminta restu dari mertuanya sendiri yaitu Panembahan Senopati namun sesampainya disana karena tidak menerima restu justru Panembahan Senopati membenturkan kepala Ki Ageng Mangir sampai tewas seketika. Sungguh tragis bukan, kisah asmara dari Ki Ageng Mangir" , ucap Pak Endri, Abdi Dalem Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, yang kurang lebih sudah 20 tahun mengabdi.
Di Masjid Gede Mataram Kotagede bangunan di kompleks ini mencerminkan perpaduan ornamen antara Hindu dan Islam. Hal ini dibuktikan dari pintu masuknya saja sudah terlihat arsitektur yang mirip dengan tempat peribadatan umat Hindu (pura) terdapat sebuah gapura yang berbentuk paduraksa. Dikutip dari Wikipedia Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup sering dijumpai pada arsitektur kuno dan klasik terutama di Jawa dan Bali. Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus.
"Dibangun pada tahun 1640-an pada masa pemerintahan Sultan Agung, hal yang dapat kita petik dalam proses pembangunan tahap pertama ini adalah terjadinya gotong royong  yang terjadi antara masyarakat Islam yang saat itu belum banyak seperti sekarang ini dengan masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Hindu dan Buddha.  Seperti kebanyakan masjid-masjid peningalan kerjaan Islam di wilayah Jawa masjid Mataram Kotagede mempunyai ciri masjid Nusantara seperti: memiliki serambi, atap dari masjidnya berbentuk tumpang  (di masjid Mataram Kotagede sendiri bersusun tiga) dan terdapat kolam yang mengelilingi sekitaran masjid. Nah, dulunya kolam tersebut digunakan sebagai saluran air yang juga berfungsi sebagai tempat aliran air untuk berwudu, namun sekarang oleh masyarakat sekitar digunakan untuk memelihara ikan" , tutur Pak Endri.
Di halaman masjidnya terdapat sebuah prasasti berwarna hijau digunakan sebagai jam penanda waktu shalat serta juga sebagai penanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi masjid ini, sebagai informasi masjid ini mengalami dua tahap pembangunan tahap pertama dibangun pada masa Sultan Agung dan tahap kedua dibangun oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X.
Di dalam ruang utamanya sendiri masih terdapat mimbar yang berbahan dasar kayu berukir dan tentunya bedug yang sudah berusia ratusan tahun. Selain menjadi tempat ibadah, di bagian paling selatan terdapat sebuah sendang yang oleh penduduk sekitar dinamai dengan sendang seliran. Terdiri dari 2 area sendang, yaitu sendang putri di bagian selatan dan sendang kakung  yang berada di bagian barat.
"Sendang seliran ini kalau mau puasa biasanya ada tradisi padusan (tradisi mensucikan diri sebelum bulan Ramadhan), tetapi karena 2 tahun ini masih ada pandemi ramainya sudah tidak seperti duu lagi," ungkap Pak Endri.
Jika kalian suatu saat berkunjung kesini, jangan lupa untuk singgah dan mampir di "Bangsal Dudo" yang merupakan koperasi mandiri yang menyediakan oleh-oleh berupa cinderamata. Bagaimana, menjadi tertarik berkunjung ke tempat bersejarah ini?